Cari Blog Ini

Senin, 09 Mei 2011

Pemikiran Jurgen Habermas

Pemikiran Filsafat “Teori Kritis ” Jürgen Habermas

Pendahuluan
Jurgen Habermas adalah sosok filsuf pewaris pemikiran Madzhab Frankfrut. Pemikiran-pemikirannya cukup rumit dan sarat dengan rujukan metafora tapi sangat filosofis. Narasi besar pemikirannya bertumpu pada usaha pencarian sebuah teori yang secara memadai merumuskan syarat-syarat nyata perwujudan sebuah masyarakat yang bebas dari penindasan. Ia mencoba mengembangkan sebuah teori kritis. Madzhab Habermas ini terkenal dengan “Teori Kritis” atau “Teori Kritis Masyarakat” yang melemparkan sebuah kritikan serius terhadap konsep teori Positivisme dan menyebut positivisme itu sebagai saintisme karena mengadopsi metode ilmu-ilmu alam untuk menggagas unified science. Dikatakan bahwa positivisme hanya berpura-pura bertindak objektif dengan mengatakan bahwa ilmu pengetahuan adalah bebas nilai, padahal ia menyembunyikan kekuasaan dengan mempertahankan status Quo masyarakat dan tidak mendorong perubahan.
Jika dirunut ke awal sejarahnya, memang titik tolak teori kritis sejak Horkheimer adalah berasal dari persoalan paham positivisme yang salah dalam memandang keberadaan ilmu-ilmu sosial, positivisme menganggap bahwa ilmu-ilmu sosial bebas nilai (value-free), terlepas dari praktek sosial dan moralitas, yang dapat dipakai untuk prediksi, bersifat objektif dan sebagainya. Anggapan semacam itu mengkristal menjadi suatu kepercayaan umum bahwa satu-satunya bentuk pengetahuan yang benar adalah pengetahuan ilmiah dan pengetahuan semacam itu hanya dapat diperoleh dengan menerapkan metode ilmu-ilmu alam pada ilmu-ilmu sosial. Anggapan seperti itu disebut saintisme (scientism) yang berarti “Science’s belief in it self. That is the convicton that we can no longer understand science as one form of possible knowledge, but rather must be identify knowledge with science”.
Menanggapi kenyataan itu, madzhab Frankfrut memberi alternative dengan “teori kritis” nya sebagai teori yang memihak praxis emansipatoris masyarakat. Di kemudian hari kemudian Habermas merumuskan teori itu sebagai dasar epistemologisnya dengan menyatakan bahwa ilmu pengetahuan sangat berhubungan dengan kepentingan kognitif, sehingga posisi ilmu pengetahuan tidak pernah bebas nilai, ilmu pengetahuan akan sangat dipengaruhi oleh sosial politik (ideologi), kekuasaan, dan kepentingan, termasuk juga oleh kelompok teori kritis yang didorong oleh kepentingan emansipatoris.
Teori kritis juga mampu membongkar kedok rasionalitas pencerahaan yang disebut rasionalitas instrumental itu telah gagal mencapai tujuan emansipatifnya yaitu membebaskan manusia dari perbudakan serta membangun kehidupan masyarakat independent yang bebas untuk mengatur kehidupan sosialnya sendiri. Kegagalan teori kritis generasi pertama lebih disebabkan terperangkap atas teori filosofis Karl Marx yang mereduksi manusia hanya sebagai makhluk pekerja.
Kemudian Jurgen Habermas muncul sebagai pembaharu Teori Kritis dengan memperbaharui konsep paradigma komunikasi. Hal ini begitu nampak dengan langkah-langkah Habermas yang melakukan dialog-dialog Habermas dengan Foucoult tentang kekuasaan, dengan Parson tentang krisis sosial, dengan Popper mengenai falsifikasi dan yang terakhir bagaimana Habermas merumuskan hermeneutika kritis yang mengadopsi psikoanalisa untuk menggabungkan explanation dan understanding yang mengarah pada metode refleksi diri.

Sejarah Intelektual
Jurgen Habermas dilahirkan pada tahun 1929 di Dusseldorf Jerman. Ia mempelajari filsafat di Universitas Got tingen dan Bonn dan mulai bergabung ke dalam Institute Fur Sozialforschung pada tahun 1956, yaitu lima tahun setelah Institut itu didirikan kembali di bawah kepemimpinan Adorno. Waktu itu ia berusia 27 tahun dan mengawali karier akademisnya sebagai asisten Theodor Adorno (seorang filsuf Jerman terkemuka di Institute for social Research) antara tahun 1958-1959. Gelar Ph.D, didapatkannya setelah berhasil menyelesaikan dan mempertahankan disertasinya yang berjudul Das Absolut und die Geschichte (Yang Absolut dan Sejarah) yang kemudian diterbitkan menjadi buku pada tahun 1954 dan berisi tentang pertentangan antara yang Mutlak dan Sejarah dalam pemikiran Schelling.
Sementara ia melibatkan diri di dalam kesibukan-kesibukan Institut, ia mempersiapkan sebuah Habilitations-schrift yang berjudul Strukturwandel der Oeffentlichkeit (perubahan dalam Struktur Pendapat Umum, 1962), dan menjadi salah satu karya yang termasyhur diantara karya-karya awalnya sebagai anggota Institut. Habilitation itu dilaksanakan di Mainz pada tahun 1961, sementara pada tahun itu juga memberikan kuliah di Universitas Heidelberg sampai pada tahun 1964, dan setelah mengakhiri tugas mengajarnya, ia kembali ke Universitas Frankfurt dan menggantikan kedudukan Horkheimer dalam mengajar sosiologi dan filsafat.
Satu hal yang penting dalam memahami posisinya sebagai pemikir marxis adalah peranannya di kalangan mahasiswa Frankfrut. Seperti halnya Adorno dan Hokheimer, Habermas melibatkan diri dalam gerakan-gerakan mahasiswa kiri Jerman (new left) , meskipun keterlibatannya hanya sejauh sebagai seorang pemikir Marxis. Ia terutama menjadi popular di kalangan kelompok yang menamakan dirinya Sozialistischer Deutsche Studentenbund (Kelompok Mahasiwa Sosialis Jerman). Dalam hal ini ia mendapat reputasi sebagai pemikir baru yang diharapkan dapat melanjutkan tradisi pemikiran Horkheimer, Adorno dan Marcuse. Namun sejak tahun 1970-an, hubungan baiknya dengan gerakan ini mengendur sejak gerakan ini mulai melancarkan aksi-aksi dengan cara kekerasan yang tidak dapat ditolerir, seperti para pendahulunya, Hebermas juga melontarkan kritikannya kepada gerakan-gerakan itu, ia mengecamnya sebagai gerakan “revolusi Palsu”, “bentuk-bentuk pemerasan yang diulangi kembali”, “Picik” dan kontraproduktif.
Namun Konfontrasi itu agaknya membuka tahapan baru dalam posisi Habermas sebagai pemikir neo-Marxis. Pada tahun 1970 ia mengajukan pengunduran diri dari Frankfrut dan bergabung pada Institut lain, yaitu Max Planck Institute zur Erfoschung der Lebensbedingungen Wissenshaftlich-technischen Welt (Institut Max Planck Untuk Penelitian Kondisi-Kondisi Hidup dari Dunia Teknis-Ilmiah) di Starnberg bersama dengan C.F.von Weizsacker, bahkan Jurgen Habermas pada tahun 1972 sempat menjabat sebagai direkturnya. Di tempat inilah ia diangkat sebagai professor filsafat dan pensiun tahun 1994. Di tempat ini, ia juga memiliki keleluasaan untuk mengembangkan dasar-dasar teori kritisnya yang berbeda dengan gaya, isi dan jalan dari pendahu-pendahulunya, seperti Adorno, Hokheimer dan Marcuse dan juga sangat berbeda warna dengan pemikir marxis pada umumnya. Hal itu nampak dari karya-karya terpenting Habermas, seperti :

a. The Structural Transformation of the Public Sphere: an Inquiry into a Category of Bourgeois Society (1962) diterjemahkan oleh Thomas Burger bersama dengan Frederick Lawrence, Cambridge, Polity Press, 1989
b. Theorie und Praxis / Theory and Practice (1963), diterjemahkan oleh John Viertel, Boston, Beacon Press, 1973
c. Erkenntnis und Interesse / Knowledge and Human Interest, (1968), diterjemahkan oleh Jeremy J. Shapiro, Boston, Beacon Press, 1971
d. Toward a Rational Society: Student Protest, Science and Politics (1968-9), diterjemahkan oleh Jeremy J. Shapiro, Boston, Beacon Press, 1970
e. On the Logic of the Social Sciences (1970), diterjemahkan oleh Shierry W. Nicholsen dan Jerry Stark, Cambridge, Mass, MIT Press, 1988
f. Legitimation Crisis (1973), diterjemahkan oleh Thomas McCarthy, Boston, Beacon Press, 1975
g. Communication and thr Evolution of Society (1976), diterjemahkan oleh Thomas McCarthy, London, Heinemann, 1979
h. Theorie des Kommunikativen Handelns /The Theory of Communication Action. Volume 1 Reason and Rationalization on Society (1981), diterjemahkan oleh Thomas McCarthy, Boston, Beacon Press, 1984
i. Theorie des Kommunikativen Handelns / The Theory of Communication Action. Volume 2 Lifeworld and System : a Ctitique of Functionalist Reason (1981), diterjemahkan oleh Thomas McCarthy, B: aoston, Beacon Press, 1987
j. Der Philosophische Diskurs der Moderne / The Philosophical Discourse of Modernity (1985), diterjemahkan oleh Frederick Lawrence, Cambridge, Polite Press, 1987.

Fragmen Pemikiran Habermas
Untuk memahami pemikiran Jurgen Habermas terlebih dahulu harus dipahami latar belakang yang mempengaruhi teori-teori pemikirannya. Bisa dipastikan bahwa Habermas sangat dipengaruhi oleh warisan intelektual Mazhab Frankfurt yang terkenal dengan Teori Kritisnya, sejak tahun 30-an Habermas sudah tertarik dan mengkaji gaya karya-karya Hokheimer dan Adorno. Ternyata dikemudian hari teori Mazhab Frankfrut ini tidak saja menentukan gaya pikir dan isi teori-teorinya namun lebih jauh Habermas juga melakukan semacam pembaharuan atas kelemahan teori kritis itu terutama dengan melihat pesimisnya pendahulunya dalam memandang dunia modern. Disebut Teori Kritis karena mazhab pemikiran ini dikenal sangat getol mensosialisasikan suatu gaya berpikir analisis.
Kritik adalah konsep kunci untuk memahami Teori Kritis. Kritik juga merupakan suatu program bagi Mazhab Frankfrut untuk merumuskan suatu teori yang bersifat emansipatoris tentang kebudayaan dan masyarakat modern. Kritik-kritik mereka diarahkan pada berbagai bidang kehidupan masayarakat modern, seperti seni, ilmu pengetahuan, ekonomi, politik dan kebudayaan pada umumnya yang bagi mereka telah menjadi rancu karena diselubungi ideologi-ideologi yang menguntungkan pihak-pihak tertentu sekaligus mengasingkan manusia individual di dalam masyarakatnya. Habermas dikenal sebagai pembaharu tradisi intelektual yang dirintis oleh Max Horkheimer, sepanjang yang dirumuskan habermas ada enam tema dalam program teori mereka :a) bentuk-bentuk integrasi sosial, b) Masyarakat postliberal c) Sosialisasi dan perkembangan ego, d) media massa dan kebudayaan massa, e) psikologi sosial protes dan f) Teori seni dan kritik atas positivisme.

Habermas dan Para Pendahulunya
Jauh sebelum menggabungkan diri di dalam Institut, Habermas telah membaca karya-karya Hokheimer dan Adorno di tahun 30-an, antara lain Traditionelle und Kritische Theorie, tetapi juga karya mereka yang diterbitkan sertelah perang, Dialektik der Aufklarung. Buku-buku tersebut sangat mempengaruhi gaya dan alur pemikiran-pemikiran Habermas selanjutnya.
Dialektik merupakan kritikan terhadap pemikiran positivisme yang (menurut Marcus, 1964) dinyatakan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang setelah penemuan metode empiris-eksperimental sebagaimana dituntut oleh positivisme, telah berubah menjadi ideologi dan menimbulkan model berpikir satu dimensi. Dari penelusuran dan analisis terhadap pemikiran modern (pencerahan) itu, mereka menyimpulkan bahwa pencerahan telah menghasilkan “rasionalitas bertujuan” (Zweckrasionalitat) yang ujung-ujungnya menimbulkan bentuk positivisme, saintisme serta teknokratisme. Buku dialektik tidak hanya memikat hatinya, melainkan juga menggugah minatnya untuk memperdalam permasalahan pokok yang dibahas di dalamnya, yaitu masalah rasionalitas dan pencerahan, yang oleh Adorno dan Horkheimer dihadapi secara pesimistis. Hal ini dinyatakan sendiri oleh Habermas, yang oleh Bertens dinyatakan :

“ Buku itu (Dialektik) membuat saya berani untuk membaca Marx secara sistematis dan tidak hanya secara historis. Teori Kritik Mazhab Frankfrut- tak ada tandingannya waktu itu. Membaca Adorno membuat saya berani membahas secara sistematis apa yang secara historis dipaparkan oleh Lukacs dan Korsch : Teori reifikasi sebagai teori rasionalisasi menurut Weber. Sudah sejak saat itu, masalah saya adalah teori tentang modernitas, suatu teori mengenai patologi modernitas dari sudut pandang realisasi-realisasi yang bercatat –dari rasio dalam sejarah”

Dialektik der Aufklarung, bertendensi pada keinginan untuk mencerahkan, memberikan cahaya dan pengertian, atau ingin membebaskan manusia dari prasangka, kepercayaan-kepercayaan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, takhayul, penipuan dan kebohongan , yang berujung menjadi jembatan keprihatinan antara Habermas dan para pendahulunya dalam menyusun Teori Kritisnya. Seperti kita ketahui, para pendahulunya memandang pencerahan telah membuahkan Zweckrationalitat (Rasionalitas Tujuan), sumber dari berbagai bentuk saintisme, positivisme, teknokratisme dan barbarisme gaya baru.
Pandangan mereka mengenai rasionalitas modern itu tak lain merupakan radikalisasi teori rasionalisasi Max Weber dan dapat dipandang sebagai teori rasionalisasi versi Teori Kritis setelah banyak mendapat inspirasi dari Lukacs. Seperti yang kita ketahui dari kritik-kritik mereka teori rasionalisai tidak hanya menyangkut analisis atas berbagai macam bentuk rasionalitas dalam sejarah, melainkan juga perwujudan rasionalitas itu dalam berbagai bentuk kehidupan politik, ekonomi, sosial, kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Habermas juga meminati masalah rasionalisasi ini sebagai masalah kemanusiaan pada umumnya. Keprihatinannya terhadap masalah ini mendorongnya untuk memikirkan kembali permasalahan rasionalitas dan proses rasionalisasi itu dengan membuat analisis baik atas rasio manusia maupun perwujudannya di dalam praxis hidup sosial.
Satu hal yang membedakannya dari para pendahulunya menghadapi rasionalisasi adalah sikapnya terhadap masalah ini. Jika para pendahulunya menghadapi rasionalisasi secara pesimistis sebagai jalan tunggal menuju perbudakan gaya baru, Habermas menemukan aspek-aspek positif dari proses itu sehingga dalam arti tertentu masih ada harapan real yang dapat ditempatkan dalam konteks rasionalisasi. Meskipun demikian, tidak seperti Adorno dan Horkheimer, Habermas menolak teori Marx sebagai teori, seperti juga pesimisme kultural yang ada pada generasi pertama dari Mazhab ini. Habermas yakin bahwa generasi pertama mazhab ini keliru saat mengacaukan “rasionalitas sistem” dengan “rasionalitas aksi”. Memang Jurgen Habermas sangat menekankan signifikansi rasionalitas dalam pemikiran filsafatnya. Hal ini menjadi sumbangannya yang paling berharga bagi perkembangan teori sosial kontemporer. Ia disebut-sebut sebagai teoritikus sosial anggota Mazhab Pemikiran Frankfurt paling representative. Habermas merupakan generasi terkini dari para pengikut Mazhab ini. .
Sama seperti para pendahulunya, Habermas hendak membangun sebuah “teori dengan maksud praxis”, maka dalam banyak hal Habermas tidak dapat meninggalkan teori warisan dari Mazhab Frankfrut pendahulunya. Disini Habermas menghadapi masalah positivisme dalam ilmu-ilmu tentang masyarakat dan aplikasinya sebagai teknologi sosial. Jika para pendahulunya menolak sama sekali pemikiran modern tersebut, Habermas melihat segi-segi positifnya. Unsur-unsur modernitas, seperti teknologi, ilmu-ilmu empiris dan positivisme sendiri sebagai cara berpikir, merupakan faktor yang penting bagi salah satu dimensi dari praxis hidup manusia, yaitu kerja. Dengan jalan itu manusia berhasil membebaskan diri dari alam eksternalnya. Meskipun Habermas menerima cara berpikir positivistis dan teknologi dalam konteks kerja, ia bersikap tegas terhadapnya apabila diterapkan dalam konteks interaksi sosial. Di sini seperti para pendahulunya, ia mengecam positivisme sebagai “ideologis” dan saintisme karena positivisme mengkalim diri sebagai pengetahuan sejati yang meliputi segala bidang, termasuk kehidupan sosial manusia.
Dari segi isi dan latar belakang pemikiran-pemikirannya, Habermas tetap berakar pada tradisi idealisme Jerman seperti para pendahulunya, khususnya transendentalisme Kant, Idealisme Fiche dan Hegel, dan materialisme Marx. Sebagaimana lazimnya Mazhab Frankfrut, Habermas juga mengintegrasikan psikoanalisis Freud ke dalam teori kritisnya. Bahkan perhatiannya terhadap psikoanalisis nampak mencolok bila dibandingkan dengan para pendahulunya. Dengan Habermas, teori Kritis mendapat wawasan baru yang diperoleh dari tradisi Anglo Amerika, yaitu Lingustic-analysis dari Wettgenstein, Searle dan Austin. Jadi melampaui para pendahulunya, ia mencoba mengintegrasikan pemikiran analitis ini ke dalam pemikiran dialektis Teori Kritisnya. Perhatiannya terhadap aspek linguistis manusia dapat dijumpai pula sejak karya-karya awalnya, sekurang-kurangnya dalam bentuk rencana untuk mengarahkan pemikirannya kepada tradisi analitis itu. Beberapa kalangan menilai bahwa telah terjadi “linguistic Turn” dalam pemikiran Habermas Apapun mau disebut, minatnya terhadap analisis bahasa dapat dimengerti dalam konteks pemahaman baru Teori Kritisnya mengenai komunikasi sebagai salah satu dimensi dari praxis.
Selain filsafat analistis, Habermas juga dipengaruhi oleh para pemikir pragmatis Amerika, seperti Pierce, Mead, dan Dewey. Dari aneka tradisi filsafat yang melatarbelakangi ini, ia mencoba mengintegrasikannya sebagai suatu teori yang integral dan sistematis. Watak sistematis dari teori-teorinya itulah yang secara tajam membedakannya dari para pendahulunya yang terkenal sebagai antisistem.
Bidang-bidang yang menjadi pusat pengolahan Teori Kritisnya tidak terbatas hanya pada psikologi sosial ataupun ilmu-ilmu social seperti para pendahulunya. Pemahamannya mengenai praxis memungkinkannya untuk menyentuh wilayah-wilayah pengetahuan yang sebelumnya tidak disinggung oleh para pendahulunya. Tentang luasnya kemungkinannya mempelajari bidang-bidang itu, B. Thompson memujinya:

“Sebagai pemikir social terkemuka di Jerman dewasa ini, Habermas mengolah orientasi teoritis yang relevan bagi wilayah disiplin-disiplin yang luas, dari politik dan sosiologi ke filsafat, psikologi dan linguistic. Karnyanya menyatakan pemahaman yang menakjubkan atas berbagai tradisi intelektual dan kaya akan gagasan-gagasan orisinil….Habermas menonjol sebagai pemikir dengan bidang dan pandangan yang luas sekali”

Habermas juga tidak menutup mata terhadap perkembangan ilmu-ilmu sosial dewasa ini meskipun teori-teori itu berkembang dari tradisi pemikiran yang bagi intelektual Marxis kerap dicap sebagai “Ilmu-Ilmu Borjuis”. Misalnya, dengan minat yang cukup besar sebelum melontarkan kritiknya, ia mencoba menelaah teori fungsionalisme structural dan teori sistem Parsons. Perkembangan metodologi lainnya juga tidak ia lewatkan, misalnya diikutinya perkembangan dalam lapangan etnometodologi dan berbagai ilmu social fenomenologis dan hermeneutis. Dalam beberapa kesempatan ia terlibat dalam diskusi hangat dengan beberapa filsuf lain, antara lain dengan Gadamer.
Akhirnya melalui pengetahuan ensiklopedisnya, Habermas mengerjakan suatu Teori Komunikasi Masyarakat sebagai jalan baru bagi Teori Kritis. Pihak-pihak kiri yang memegang teguh “jalan konfliknya” pernah menuduhnya sebagai seorang Marxis yang “sesat” dan “bekerja” demi ilmu-ilmu borjuis. Tuduhan seperti ini dapat dipahami karena Habermas memberi tempat sentral bagi konsensus di dalam kritik ideologinya. Dari sudut generasi pertama, Teori Komunikasi itu justru menjadi alasan yang selayaknya untuk menempatkan Habermas sebagai pembaharu. Bersama para sahabatnya (Clauss Offe, Alberch Wellmer, Klaus Eder, dan Rainer Dobert), pada tempatnyalah Habermas dipandang sebagai Generasi Baru Teori Kritis atau Generasi Kedua Teori Kritis.

Kritik terhadap Sains
Teori ini berkembang tahun 30-an di Jerman yakni di Institut Sosial forschung di Frankfurt, sehingga sering juga disebut aliran Frankfurt. Tokoh-tokoh terkemuka dari teori ini adalah Horkheimer, Adorno, dan Marcuse. Sebenarnya teori ini berasal dari―Teori Kritik Masyarakat yang intinya adalah bermaksud membebaskan masyarakat dari manipulasi ilmuwan moderen. Teori tersebut mengambil inspirasi dari pemikiran Karl Marx, namun tidak mengikuti Marx yang dianggap radikal-revolusioner.
Salah satu unsur utama dari teori kritis adalah keyakinan bahwa di balik selubung objektivitas sains tersembunyi kepentingan kekuasaan. Kepentingan ini diyakini bersifat ekonomis, kapitalis, dan dehumanis. Karena itu, penganut teori kritis ingin membuat semacam pencerahan (enlightenment/aufklarung) dengan mengungkap tabir yang menutupi maksud yang tidak manusiawai dari perkembangan sains. Perihal selubung kepentingan dalam sains sebenarnya sudah dikemukakan sejak lama oleh filsuf Yunani Francis Bacon.
Teori kritis mencapai kejayaan pada tahun 60-an di Eropa dan menjadi inspirasi sebuah gerakan masyarakat dan mahasiswa. Sayangnya, gerakan ini berkembang menjadi gerakan anti masyarakat industri dan kapitalis, sehingga sering disebut ―Neo Marxisme. Sejalan dengan gagalnya Marxisme paham teori kritis juga memudar. Perkembangan dunia ternyata tidak sesuai dengan pengandaian (presumsi) Marx bahwa manusia adalah makhluk berkebutuhan, dan hal ini merupakan peluang untuk dimanipulasi oleh kapitalisme dengan kedok perkembangan sains.
Salah satu pandangan penting dari hasil penelitian Habermas adalah bahwa tidak masuk akal untuk menyimpulkan secara umum tentang kepentingan di belakang setiap ilmu (sains). Hal inilah yang membedakan Habermas dengan tokoh-tokoh teori kritis. Habermas membagi ilmu pengetahuan ke dalam tiga kelompok dengan masing-masing kelompok kepentingan, objek, dan ciri yang khas. Dari sini terlihat bahwa Habermas juga meninggalkan teori tradisional yang menganggap bahwa sains bebas dari semua kepentingan.
Kelompok ilmu pertama adalah ilmu –ilmu empiris-analitis seperti ilmu alam. Tujuan ilmu-ilmu ini adalah penguasaan alam untuk pemenuhan kebutuhan manusia, jadi tetap memiliki kepentingan. Kelompok kedua adalah ilmu-ilmu historis- hermeneutis seperti ilmu sejarah. Tujuan kelompok ilmu ini adalah pengungkapan makna, pengorganisasian objek untuk kepentingan perluasan intersebjektivitas sehingga diperoleh peningkatan saling pengertian untuk tujuan tindakan bersama. Kelompok ketiga adalah ilmu-ilmu tindakan seperti ilmu ekonomi, sosiologi, politik, serta ilmu-ilmu reflektif seperti ideologi, psikoanalitik dan filsafat. Tujuan kelompok ilmu ini adalah untuk membantu manusia dalam bertindak. Lingkungan kelompok ilmu ini adalah kekuasaan.
Perbedaannya dengan Marx. Seperti dikatakan Habermas, tujuannya selama bertahun-tahun adalah ―mengembangkan program teori yang dipahami sebagai rekonstruksi materialisme historis. Habermas mengambil titik tolak Marx (potensi manusia, spesies makhluk, ―aktivitas manusia yang berperasaan ) sebagai titik awal sendiri. Akan tetapi, Habermas mengatakan bahwa Marx telah gagal untuk membedakan antara dua komponen analitik yang berbeda—kerja (atau tenaga kerja, tindakan rasional purposif) dan interaksi (atau aksi komunikatif) sosial (atau simbolik). Menurut pandangan Habermas, Marx cenderung mengabaikan yang disebut belakangan dan hanya membahas pada kerja.
Seperti dikatakan Habermas, problem dalam Karya Marx adalah―reduksi tindakan spesies manusia yang dimunculkannya sendiri (self-generated) menjadi sekedar usaha (labor). Jadi, Habermas mengatakan, ―saya mengambil perbedaan antara kerja dan interaksi sebagai titik awal saya. Disepanjang tulisannya, karya habermas memuat perbedaan ini, meski ia cenderung menggunakan istilah tindakan (kerja) rasional-purposif dan tindakan komunikatif (interaksi).
Dibawah nama ―tindakan rasional-purposif Habermas membedakan antara tindakan instrumental dengan tindakan strategis. Keduanyamelibatkan pencarian kepentingan diri yang diperhitungkan. Tindakan instrumental melibatkan satu aktor tunggal yang secara rasional memperhitungkan cara terbaik untuk mencapai tujuan. Tindakan strategis melibatkan dua dan atau lebih individu yang mengoordinasikan tindakan rasional purposif dalam mencapai tujuan.Tujuan dari kedua tindakan itu adalah penguasaan instrumental.
Habermas paling tertarik pada tindakan komunikatif, dimana :
”Tindakan agen-agen yang terlibat dikoordinasikan bukan melalui perhitungan egosentris untuk mencapai keberhasilan, tetapi melalui tindakan untuk mencapai pemahaman. Dalam tindakan komunikatif, partisipan terutama tidak berorienta pada keberhasilan mereka sendiri; mereka mengejar tujuan individual mereka bahwa kondisi di mana mereka bisa mengharmoniskan rencara tindakan mereka berdasarkan definisi situasi bersama (Habermas, 1984)
Tujuan tindakan rasional purposif adalah untuk mencapai tujuan, sedangkan tujuan dari tindakan komunikatif adalah mencapai pemahaman komunikatif . Jelas ada komponen pembicaraan (speech) yang penting dalam tindakan komunikatif. Akan tetapi, tindakan itu lebih luas ketimbang ―tindakan berbicara atau ekspresi nonverbal yang ekuivalen.

Kritik atas Rasionalitas
Menurut Habermas, rasionalitas-yakni, kemampuan berpikir logis dan analitis-lebih dari sekedar kalkulasi strategis bagaimana mencapai beberapa tujuan yang telah dipilih. Alih-alih, rasionalitas merupakan sebentuk “tindakan komunikatif” yang diorientasikan untuk mencapai kesepakatan atau konsensus dengan orang lain. Jadi menurutnya,adalah suatu hal yang sangat penting bahwa dalam menggunakan bahasa berarti kita berpartisipasi di dalam apa yang menurut Habermas disebut “Situasi pembicaraan yang ideal” atau “komunikasi dialogis-emansipatoris bebas kekuasaan”. Dalam situasi seperti ini masyarakat akan mampu menghindari penggunaan klaim-klaim politik dan moral dan mendasarkan diri semata pada rasionalitas.
Dalam pandangannya Habermas mengukur rasionalitas itu dengan mengajukan kriteria tentang pandangan dunia terhadap dinamika sebuah masyarakat dan menjelaskan proses-proses belajar mana yang mengembangkannya. Jika Karl Marx menemukan adanya hubungan lurus antara perkembangan alat-alat produksi, terhadap masyarakat, namun bagi Habermas tak ada garis lurus antara perkembangan teknologi dengan pemahaman diri masyarakat, melainkan sebaliknya, yaitu perkembangan alat-alat produksi itu datang belakangan. Magnis-Suseno mencontohkan dengan keberadaan agama islam, bahwa agama islam itu tidak lahir karena adanya cara produksi masyarakat Arab waktu itu, melainkan karena terjadi perubahan politik dan ekonomi masayarakat Arab dalam abad ke-7 masehi.
Di dalam karya-karya selanjutnya Habermas mengalihkan teori tindakan komunikatifnya pada domain politik dan hukum. Ia membela “demokrasi deliberatif”, dimana suatu hukum dan institusi pemerintah akan lebih menjadi sebuah refleksi dari diskusi publik terbuka dan bebas. Habermas mengasumsikan bahwa banyak kepercayaan barat,misalnya, legitimasi hak milik pribadi-mau tidak mau harus direvisi jika mereka terus menerus mempersoalkan diskusi yang tidak dipaksakan dan tidak dibatasi oleh persamaan dan kebebasan manusia. Dalam demokrasi, Habermas mengandaikan bahwa setiap orang, baik laki-laki dan perempuan, akan semakin menyadari perwujudan kepentingan mereka yang harus disertai dengan otonomi (self-governance) dan tanggung jawab, dan mereka hanya akan bersedia menyepakati sesuatu hanya jika argumen-argumennya bisa dinalar secara lebih baik.
Seperti anggota mazhab Frankurt lainnya, Habermas mengkritik bahwa masyarakat barat kontemporer nyata-nyata mempromosikan sebuah konsepsi rasionalitas terdistorsi yang mengandung impuls-impuls destruktif yang hanya berujung pada dominasi-sebagai contoh, dominasi sains dan teknologi atas alam. Teori Marx tidak relevan lagi untuk menganalisis situasi kapitalisme lanjut dimana ada peralihan dari kapitalisme privat ke kapitalisme Negara, dimana Negara yang ditopang oleh teknologi memeainkan peran yang signifikan untuk memperkuat dan mempertahankan industri-industri besar. Hal ini melemahkan otonomi dan kemampuan kritis masyarakat. Impuls ini, menurut mazhab Frankfurt, telah diepitomkan dalam cita-cita agung sejak zaman pencerahan abad ke-18.
Namun Habermas juga merintis sebuah upaya untuk mempertahankan apa yang yang ia lihat sebagai aspek-aspek yang lebih konstruktif dan emansipatoris dari jaman pencerahan itu. Walaupun atas pikiran-pikirannya itu Habermas banyak mendapatkan kritik. Sebagian dari kritik-kritik itu mengklaim bahwa “situasi pembicaraan idealnya’ itu tidak dapat divalidasi oleh pengalaman praktis. Dengan begitu tetap tidak akan ada sebuah standar yang pas untuk menilai legitimasi hukum dan institusi. Ada juga yang mencermati bahwa teori demokrasi deliberatifnya muncul lebih menyerupai sebuah aturan bagi rasionalitas daripada aturan bagi manusia. Lebih dari filsuf pasca periode perang Jerman lainnya, bagaimanapun Habermas telah berhasil memposisikan gagasan-gagasan Mazhab Frankfurt ke tengah-tengah kancah arus utama perbincangan pemikiran kontemporer mutakhir.

Kritik atas Paham Positivisme
Konsep ilmu pengetahuan dan kepentingan adalah konsep sentral yang dikemukakan Habermas dalam melakukan kritikan terhadap paradigma psoitivisme, akibat klaim teori positivisme yang menganggap bahwa ilmu pengetahuan adalah bebas nilai, seperti halnya yang terjadi pada ilmu-ilmu alam. Para pendukung positivisme menganggap bahwa ilmu-ilmu sosial bersifat kontemplatif dan affirmatif, oleh karena itu metode yang dipakai ilmu-ilmu alam tidak berbeda dan dapat diterapkan dalam ilmu-ilmu sosial. Artinya jika ilmu-ilmu sosial ingin diterima sebagai ilmu pengetahuan harus dapat menghasilkan hukum-hukum umum dan prediksi-prediksi ilmiah seperti didalam ilmu-ilmu alam.
Bagi positivisme sebuah riset sosial harus menghasilkan deskripsi dan penjelasan-penjelasan ilmiah yang tidak memihak dan tidak memberikan penilaian apapun. Seorang ilmuwan dan peneliti harus mampu meninggalkan rasa perasaannya, harapan-harapannya, keinginan-keinginannya dan penilaian-penilaian moralnya atau singkatnya segala kepentingannya itu untuk mendekati objek penelitian sosialnya sehingga diperoleh “pengetahuan Objektif” tentang kenyataan sosial atau fakta sosial.
Hokhiemer dan Adorno telah mengembangkan pendekatan kritis dan materialistik itu menjadi kritik menyeluruh terhadap masyarakat industri barat, semakin maju masyarakat industri modern menjadi masyarakat konsumsi berlimpah serta berhasil melarutkan pertentangan-pertentangan antar kelas sosial mengakibatkan masyarakat itu semakin bersifat total. Hal ini dalam pandangan teori kritis masyarakat sebagai akibat dari dominasi prinsip dasar kapitalisme yaitu prinsip tukar.
Akan tetapi kekuasaan halus prinsip tukar itu juga semakin total sehingga setiap usaha-usaha untuk pembebasannyapun justru semakin memperkuatnya. Akibatnya Horkheimer dan Adorno bersikap semakin pesimistik. Berbeda dengan gaya berfilsafat Habermas yang tidak mengikuti gaya berfilsafat kedua gurunya yang pesimistik itu, habermas tidak pesimistik, ia tidak mencurigai teknologi dan ilmu pengetahuan modern. Sebaliknya Habermas menganggap teknologi dan ilmu pengetahuan sebagai “aktor produktif terpenting” dalam bagian kedua abad ke-20.
Dan untuk mengembangkan serta memantapkan teori kritis masyarakat secara teoritis justru memakai teori-teori ilmu pengetahuan yang paling canggih. Refleksinya atas salah satu unsur terpenting teori kritis masyarakat klasik ialah hubungan antara perumusan teori dengan kepentingan ideologis yang berhasil membawa Habermas untuk membedakan antara ilmu-ilmu empiris di satu pihak dengan ilmu-ilmu historis hermeneutis di lain pihak. Menurutnya distorsi ideologis terjadi apabila kepentingan yang memberikan arah dasar kepada ilmu-ilmu empiris analitis yaitu kepentingan akan penguasaan alam, melimpah ke dalam wilayah ilmu-ilmu historis hermeneutis. Ilmu-ilmu historis hermeneutis sebenarnya didasari kepentingan akan komunikasi yang berhasil dan bukan penguasaan alam. Penemuan ini membawa keuntungan yang amat penting bagi Habermas, karena dengan temuan itu ia mampu membuktikan dimana letak kekurangnan fundamental dalam perspektif dasar Karl Marx.
Dalam Pandangan Karl Marx komunikasi antara manusia harus dipahami menurut model pekerjaan atau hubungan produksi, oleh karenanya Habermas berhasil menyumbangkan salah satu kritik fundamental pada pemikiran Karl Marx sekaligus keluar dari lingkaran pesimisme teori kritis masyarakat klasik. Sebab dalam pandangan Habermas setiap komunikasi menuntut kebebasan, maka di dalam kepentingan akan keberhasilan komunikasi ada kepentingan yang lebih fundamental lagi yaitu kepentingan-kepentingan dasar manusia akan emansipasi menyatakan diri. Oleh karena itu pendekatan monokausal sebagaimana diyakini oleh Karl Marx bahwa masyarakat yang sungguh-sungguh manusia adalah dapat dihasilkan dengan mengubah hubungan produksi menjadi gugur dan tidak dapat dipertahankan lagi. Begitu pula kekuasaan ideologis prinsip tukar atas masyarakat industri kapitalis tua yang membuat horkheimer dan adorno begitu pesimistik menjadi terkuak totalitasnya.
Dengan demikian pemikiran Habermas menjadi begitu multi dimensional, meskipun pendekatannya kritis dan materialistik, dan sekalipun ia masih berbicara tentang materialisme historis, akan tetap dalam kenyataannya ia telah meninggalkan kubu pemikiran marxisme. Orang-orang yang mengikuti perkembangan ilmu-ilmu sosial di barat tidaklah terkejut jika mendengar bahwa secara intelektual, marxisme dalam bentuk ortodoksnya sudah lebih dari setengah abad silam ditanggapi dengan sikap kritis.

Habermas dan Ilmu Pengetahuan
Titik tolak kritikan Habermas terhadap ilmu pengetahuan berawal dari pandangan jika ilmu pengetahuan telah mengalami krisis sebagai ilmu pengetahuan, dan bahwa dalam kesulitan hidup dewasa ini, ternyata ilmu pengetahuan tidak memberikan nasehat apa-apa kepada masyarakat, artinya ilmu pengetahuan sepanjang dari praktek hidup sehari-hari.
Posisi teori dalam ilmu pengetahuan menduduki tempat penting untuk menjelaskan realitas karena pengetahuan dirumuskan ke dalam dan diperoleh lewat teori. Dalam ilmu pengetahuan modern kata teori sudah kehilangan makna, oleh karena itu Habermas mengadakan penelitian genetik tentang konsep teori. Lalu ia kemudian mengembalikan konsep teori itu pada asal katanya “theoria” yang artinya kata ini sudah sangat tua dan berakar pada kosmologi dan tradisi religius yunani purba dengan melakukan kontemplasi seorang filsuf lalu memandang atau menatap kosmos yang bergerak teratur dan membuat lukisan-lukisan didalam dirinya. Dia meniru kosmos atau melakukan mimesis (meniru), dengan cara itu teori atau kontemplasinya itu mengarahkan tingkah lakunya .sampai pada tahap teori dalam pengertian kuno itu terkait dengan praxis. Dalam filsafat Yunani Bios Theoritikos menunjukkan bahwa teori adalah salah satu cara hidup (way of life). Menurut habermas, konsep kuno itu menjadi dasar ontologi, dan dengan kontemplasi seorang filosof dapat memisahkan unsur-unsur yang tetap dan unsur-unsur yang selalu berubah. Usaha untuk menemukan yang tetap abadi dalam kosmos dan seluruh realitas itulah ontologi. Apa yang ingin dicapai ontologi adalah penjelasan objektif tentang seluruh realitas atau dengan kata lain teori murni. Dan satu hal yang menarik adalah bahwa Habermas mengaitkan usaha untuk memperoleh teori murni itu dengan proses emansipasi. (Husserl mengatakan bahwa krisis disebabkan ilmu pengetahuan tidak lagi menganut konsep klasik tentang teori itu, sebaliknya Habermas mengatakan sebaliknya bahwa krisis itu terjadi karena ilmu pengetahuan menganut konsep yang klasik itu.

Kesimpulan
Jurgen Habermas dengan Teori Kritisnya menawarkan pemahaman baru yang dikembangkan lewat masyarakat kritis emansipatoris. Semua pemikiran-pemikirannya sangat terlihat mengerucut pada keinginannya untuk menempatkan modernitas sebagai realitas empiris yang harusnya dapat memberdayakan kehidupan masyarakat, dan bukan sebaliknya. Untuk mencapai tujuannya membentuk masyarakat yang merdeka, independent, dan bebas dalam menentukan tujuan hidupnya sendiri, masyarakat harus melakukan komunikasi-komunikasi baik verbal maupun non-verbal (communication action) agar dicapai apa yang sebenarnya disebut kesadaran kolektif, yaitu dalam bentuk kesepakatan atau konsensus. Dengan demikian masyarakat tersadar bahwa sebenarnya mereka hidup diatas dunia yang penuh kepalsuan dengan menerima segala bentuk situasi sebagai keadaan yang tidak bias diubah, padahal jika masyarakat menyadarinya maka dengan sendirinya masyarakat akan menjadi entitas yang bebas untuk memperjuangkan emansipasinya sendiri seperti yang diinginkannya serta tidak terjebak dalam kepura-puraan modernisasi yang hanya berpihak pada satu sisi ansich.




Daftar Pustaka
Bertens,
1983, Filsafat Barat Abad XX: Inggris-Jerman. Jakarta: Gramedia.
Fauzi, Ibrahim
2003, Seri Tokoh Filsafat: Jurgen Habermas. Jakarta: Teraju.
Hardiman, Francisco Budi,
2009, Menuju Masyarakat Komunikatif: Ilmu, Masyarakat, Politik dan Postmodernisme Menurut Jurgen Habermas. Yogyakarta: Kanisius.
Hardiman, Francisco Budi,
2009, Kririk Ideologi: Menyingkap Kepentingan Pengetahuan bersama Jurgen Habermas, Yogyakarta: Kanisius.
Jay, Martin,
2005, Sejarah Mazhab Frankfrut: Imajinasi Dialektis Dalam Perkembangan Teori Kritis. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Lechte, John,
2001, 50 Filsuf Kontemporer: dari Strukturalisme Sampai Postmodernitas, terjemahan A. Gunawan Admiranto. Dari Fifty Key Contemporary Thinkers, Routledge (1994).Yogyakarta: Kanisius.
Lubis, Akhyar Yusuf,
Teori Kritis dan Psikologi Kritis, Diktat Ajar mata kulaih Filsafat Ilmu Pengetahuan. Semester 2007/2008 Program Pascasarjana Psikologi UI.
Lubis, Akhyar Yusuf,
2004, Setelah Kebenaran dan Kepastian dihancurkan Masih adakah Tempat Berpijak Bagi Ilmuwan: Sebuah Uraian Filsafat Ilmu Pengetahuan Kaum Posmodernis. Bogor: AkaDemia.
Magnis-Suseno, Franz,
2005, Pijar-Pijar Filsafat: dari Gatholoco ke Filsafat Perempuan, dari Adam Muller ke Postmodernism. Yogyakarta: Kanisius.
Niznik, Josef dan John T. Sanders,
2002, Memperdebatkan Status Filsafat Kontemporer Habermas, Rorty dan Kolakowsky. Yogyakarta: Qalam.
Sumaryono, E.
1999, Hermeneutik; Sebuah Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.

Jumat, 06 Mei 2011

Estetika dan Seni Islam
Menurut Al-Farabi

Diskurkus mengenai estetika dan seni sudah hadir berabad lamanya, yang awalnya didahului oleh para pemikir Barat yang terus mewarnai pemikiran tentang seni. Bahkan, pemikiran estetika saat itu digeluti dengan berbagai pertentangan mengenai hakekat seni, hubungan seni dengan realitasnya, dan fungsinya dalam kebudayaan masyarakat. Akan tetapi, persoalan tersebut akhirnya sampai juga pada dunia Islam yang kurang lebih hadir sejak abad ke-20. Hal ini terlihat bahwa pemikiran Barat sangatlah mempengaruhi pemikiran di Islam.
Kemudian, diskursus mengenai estetika di dunia Islam pun terus mencuat dan berkembang oleh para pemikir Islam. Alhasil, dari karya seninya masih tetap terus berlanjut hingga saat ini, seperti kaligrafi, musik, sastra, seni rupa dan sebagainya. Namun, berbagai pandangan bermunculan yang sudah ada sejak adanya sebuah hadits yang mengatakan bahwa Malaikat tidak akan masuk ke rumah yang di dalamnya terdapat gambar binatang. Dari itulah, awalpertentangan terjadi, hingga terjadi perdebatan dalam Islam yang mana fuqaha dan ulama memfatwakan bahwa menggambar atau membuat sebuah karya yang menyerupai seperti makhluk hidup itu dilarang dalam Islam.

Sebagaimana diketahui, bahwa timbulnya permasalahan dalam seni dan estetika, ketika seni itu hadir dengan diciptakan oleh manusia, yang mana penciptaannya menyerupai apa yang Tuhan ciptakan di bumi secara zhahir. Dari ini, maka adanya larangan terhadap sebuah karya seni yang ternilai menyerupai ciptahan Tuhan. Oleh karenanya, estetika dan seni Islam cenderung dibatasi dalam berekspresi dan berimajinasi. Meskipun, hanya dalam konteks tertentu hal ini terjadi. Namun, setidaknya perlu diketahui bahwa Islam memiliki keunikan tersendiri dalam soal estetika dan seninya serta Islam dapat memberikan ruang yang luas bagi seni itu sendiri.
Berbeda dengan apa dikatakan Al-Farabi, ia membuat seni semakin mempunyai tempat di mana saja seni itu dapat berekspresi, tidak ada tabir yang membatasinya. Karena bagi pandangan Al-Farabi, sebuah karya seni adalah hasil dari imajinasi seseorang yang ditampilkan melalui karya seni itu sendiri atau dapat dikatakan bahwa karya seni pada hakekatnya adalah bersifat imaginatif. Dengan begitu, karya seni dapat ditarik sebagai image, dan bukan sebuah tiruan terhadap segala hal yang bersifat zhahir. Oleh karenanya, tulisan ini akan sedikit banyak membahas tentang Al-Farabi dan pemikirannya terhadap estetika dan seni Islam.
Riwayat Hidup Al-Farabi
Al-Farabi nama lengkapnya adalah Abu Nasr Muhammad al-Farabi, ia lahir di Wasij, suatu desa di Farab (Transoxania) pada tahun 870 M. Al-Farabi dalam sumber-sumber Islam lebih akrab dikenal sebagai Abu Nasr. Iaberasal dari keturunan Persia. Ayahnya Muhammad Auzlagh adalah seorang Panglima Perang Persia yang kemudiaan menetap di Damsyik, Ibunya berasal dari Turki. Oleh karena itu ia biasa disebut orang Persia atau orang Turki. Sebagai pembangun sistem filsafat, ia telah membaktikan diriuntuk berkontemplasi, menjauhkan diri dari dunia politik walaupunkarya-karya politik yang monumental. Ia meninggalkan risalah penting. Filsafatnya menjadi acuan pemikiran ilmiah bagi dunia Barat dan Timur, lama sepeninggalnya Al-Farabi hidup di tengah kegoncangan masyarakat dan politik Islam. Pemerintah pusat Abbasiyah di Baghdad sedang berada dalam kekacauan di bawah pimpinan khalifah-khalifah Radli, Muttaqi, Mustakfi. Saat itu bermunculan negara-negara di daerah yang mengambil alih kekuasaan.
Al-Farabi dengan cemas hati melihat perpecahan khalifah dan kemunduran masyarakat Islam. Sebagaimana sudah disinggung di atas, ia tidak aktif dalam bidang politik, tetapi memberikan kontribusi pemikiran dengan menulis buku politik untuk memperbarui tata negara. Pembaruan itu menurutnya hanya dapat berhasil bila berakar kokoh dalam fondasi filsafat. Walaupun al-Farabi merupakan ahli metafiska Islam yang pertama terkemuka namun ia lebih terkenal di kalangan kaum Muslimin sebagai penulis karya-karya filsafat politik.13Para ahli sepakat memberikan pujian yang tinggi kepadanya, terutama sebagai ahli logika yang masyhur dan juru bicara Plato dan Aristoteles pada masanya. Ia belajar logika keadaa Yuhanna ibn Hailan di Baghdad. Ia memperbaiki studi logika, meluaskan dan melengkapi aspek-aspek rumit yang telah ditinggalkan al-Kindi. Kehidupan al-Farabi dapat di bagi menjadi dua, yaitu pertama bermula dari sejak lahir sampai usia lima tahun. Pendidikan dasarnya ialah keagamaan dan bahasa; ia mempelajari fikih, hadist, dan tafsir al-Qur’an. Ia juga mempelajari bahasa Arab, Turki dan Persia.
Periode kedua adalah periode usia tua dan kematangan intelektual. Baghdad merupakan tempat belajar yang terkemuka pada masa itu. Di sana ia bertemu dengan sarjana dari berbagai bidang, di antaranya para filosof dan penerjemah. Baghdad merupakan kota yang pertama kali dikunjunginya. Di sina ia berada selama dua puluh tahun, kemudian pindah ke Damaskus. Di Baghdad ia berkenalan dengan Gubernur Aleppo, Saifud daulah al-Hamdani. Gubernur ini sangat terkesan dengan al- Farabi, lalu diajaknya pindah ke Aleppo dan kemudian mengangkat al-Farabi sebagai ulama istana.
Kota kesayangannya adalah Damaskus. Ia menghabiskan umurnya bukan di tengah-tengah kota, akan tetapi di sebuah kebunnya yang terletak di pinggir kota. Di tempat inilah ia kebanyakan mendapat ilham menulis buku-buku filsafat. Begitu mendalam penyelidikanya tentang filsafat Yunani terutama mengenai filsafat Plato dan Aristoteles, sehingga ia digelari julukan Mu’alim Tsani (Guru Kedua), karena Guru Pertama diberikan kepada Aristoteles, disebabkan usaha Aristoteles meletakkan dasar ilmu logika yang pertama dalam sejarah dunia.
Al-Farabi menunjukkan kehidupan spiritual dalam usianya yang masih sangat muda dan mempraktekkan kehidupan sufi. Ia juga ahli musik terbesar dalam sejarah Islam dan komponis dalam beberapa irama musik. Al-Farabi telah mengarang ilmu musik dalam lima bagian. Buku-bukunya masih berupa naskah dalam bahasa Arab, akan tetapi sebagiannya sudah diterbitkan dalam bahasa Perancis oleh D’Erlenger. Teorinya tentang harmoni belum dipelajari secara mendalam. Adapun pengetahuan estetika al-Farabi bergandengan dengan kemampuan logikanya. Kemudian Al-Farabi dikatakan meninggal dunia di Damsyik pada tahun 339H (950/951M) dalam usia 80 tahun.
Karya-karyanya
Ia meninggalkan sejumlah besar tulisan penting. Karya al- Farabi dapat dibagi menjadi dua, satu diantaranya mengenai logika dan mengenai subyek lain. Tentang logika al-Farabi mengatakan bahwa filsafat dalam arti penggunaan akal pikiran secara umum dan luas adalah lebih dahulu daripada keberadaan agama , baik ditinjau dari sudut waktu (temporal) maupun dari sudut logika. Dikatakan “lebih dahulu”dari sudut pandang waktu, karena al-Farabi berkeyakinan bahwa masa permulaan filsafat, dalam arti penggunaan akal secara luas bermula sejak zaman Mesir Kuno dan Babilonia, jauh sebelum Nabi Ibrahim dan Musa. Dikatakan lebih dahulu secara logika karena semua kebenaran dari agama harus dipahami dan dinyatakan, pada mulanya lewat cara-cara yang rasional, sebelum kebenaran itu diambil oleh para Nabi.
Karya al-Farabi tentang logika menyangkut bagian-bagian berbeda dari karya Aristoteles Organon, baik dalam bentuk komentar maupun ulasan panjang. Kebanyakan tulisan ini masih berupa naskah; dan sebagian besar naskah-naskah ini belum ditemukan. Sementara karya lainnya menyangkut berbagai cabang pengetahuan filsafat, fisika, matematika, logika, musik, mekanih, astronomi, dan politik. Di antara judul karya al-Farabi yang terkenal adalah :
1. Maqalah fi Aghradhi ma Ba’da al-Thabi’ah
2. Ihsha’ al-Ulum
3. Kitab Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadhilah
4. Kitab Tahshil al-Sa’adah
5. ‘U’yun al-Masa’il
6. Risalah fi ma’ani al-Aql
7. Kitab al-Jami’ bain Ra’y al-Hakimain: al-Aflatun wa Aristhu
8. Risalah fi Masail Mutafariqah
9. Al-Ta’liqat
10. Risalah fi Itsbat al-Mufaraqat
11. As Syiasyah

Sementara beberapa ilmu mantiq telah dibahasnya dalam delapan bagian ;
1. Al Maqulati Al Asr
2. Al Ibarat
3. Al Qiyas
4. Al Burhan
5. Al Mawadi Al Jadaliyah
6. Al Hithobah
7. Al Hikmatu Munawahan
8. Al Syi’ir

Pandangannya Terhadap Estetika dan Seni Islam
Kesenian Islam adalah kesinambungan daripada kesenian pada zaman silam yang telah berkembang dan dicorakkan oleh konsep tauhid yang tinggi kepada Tuhan yang dalam itu,. kesenian islam memiliki keunikan dan khazanah sejarahnya yang tersendiri. Kesenian Islam terus berkembang di dalam bentuk dan falsafahnya yang berorientasikan sumber Islam yang menitikberatkan kesejajaran dengan tuntutan tauhid dan syara’.
Dalam jiwa, perasaan, nurani, dan keinginan manusia tertanamnya rasa suka akan keindahan dan keindahan itu adalah seni. Sebenarnya, kesadaran mengenai keindahan adalah satu faktor yang amat penting dalam Islam. Antara faktor yang penting dalam seni ialah hakikat seni itu, sehingga membawanya pada sebuah akar estetika dan manifestasinya dalam mengungkap dan menggambarkan isyarat tentang kewujudan transenden Yang Hakiki.
Seni adalah sesuatu yang bersifat abstrak, tidak dapat dipandang, didengar dan disentuh oleh jiwa tetapi tidak dapat dinyatakan melalui kata-kata. Sukar untuk mentakrifkan seni secara tepat sesukar untuk menerangkan konsep keindahan dan kesenangan itu sendiri. Al-Farabi menjelaskan bahawa seni sebagai ciptaan yang berbentuk keindahan. Baginya hakekat sebuah karya seni adalah bersifat imaginatif (mutakhayyil). Yang asal kata tersebut berasal dari kata dasarnya yaitu kh y l yang berarti membuat percaya. Sehingga penggunaan kata takhyil diperjelas sebagai sebuah rangkaian yang terkumpul dalam tindakan dan dapat menyebabkan respon langsung tanpa harus berpikir terlebih dulu terhadap sesuatu (karya seni).

Sebagimana dalam kitab Ihsha’ al-Ulum, al-Farabi menerangkan arti kata takhyil sebagai proses kejiwaan yang akan menghasilkan sebuah persembahan berupa seni menjadi imaginatif, efektif, dan kreatif. Sebenarnya teori ini sama hanya seperti yang diungkapkanoleh Plato dan Aristoteles mengenai mimesis. Hanya saja berbeda dalam bentuk kata atau istilah. Namun, pada dasarnya takhyil atau imaginasi sudah terdapat kandungan pengertian di dalamnya, yaitu “meniru” atau “menyalin”. Di sini, penjelasan mengenai penyalinan tersebut dibuat bersifat aqliyah atau intelektual. Karena penyalinan secara aqliyah dalam karya seni memberikan perbedaan dengan diskursus ilmiah (scientific discourses).
Penyalinan dalam wacana ilmiah, sangat mendasarkan sesuatu yang menjadi pembahasannya bersifat objektivitas dan dapat dibuktikan secara logis serta absurd. Sedangkan penyalinan yang dilakukan secara aqliyah adalah bersifat subjektif, dengan mendasarkan pada imaginasi yang tidak membutuhkan pembuktian yang logis. Dengan begitu, penyalinan yang cocok untuk seniman adalah penyalinan imaginatif, karena penyalinan tersebut didasarkan pada hakekat bahwa objek-objek estetisnya dapat mempengaruhi jiwa seseorang.
Dalam hal ini, Al-Ghazali pun menjelaskan seni dengan maksud kerja yang berkaitan dengan rasa jiwa manusia yang sesuai dengan fitrahnya. Karena ketika seorang seniman membuat atau menciptakan sebuah karya seni, pada dasarnya terdapat relasi antara jiwanya dengan apa yang ia buat. Sehingga imaginasi yang ada dapat digambarkan melalui karya seninya tersebut. Untuk itu, jelas bahwa seniman dan karya seninya tidak dapat dicari kebenaran secara ilmiahnya tetapi dirasakan kenikmatan estetisnya dan semua orang pun dapat menikmatinya.
Bahkan dalam perspektif Islam, daya kreatif seni adalah dorongan atau desakan yang diberikan oleh Tuhan yang perlu digunakan sebagai bantuan untuk ‘memeriahkan’ kebesaran-Nya. Berseni haruslah terarah kepada perkara-perkara ma’ruf (kebaikan). Jiwa seni mestilah ditundukkan kepada fitrah asal kejadian manusia karena kebebasan jiwa dalam membentuk seni adalah menurut kesucian fitrahnya yang dikurniakan Sang Kuasa. Hingga pada realitasnya, seni lebih kurang sama dengan akal supaya manusia menyadari perkaitan antara alam, ketuhanan dan rohani atau dengan alam fisikal yang kemudian menyadari keagungan Tuhan dan keunikan penciptaan-Nya.
Konsep kesenian menurut Al-Farabi, selain sebagai kebebasan dalam mengekspresikan gagasan yang ada dalam dunia imaginasi seseorang juga memberikan penggambaran perwujudan ketauhidan pada Tuhan melalui manifestasi sifat-sifat Tuhan. Ia pun mengelompokkan pandangannya tentang hubungan objek-objek estetis dengan realitas kehidupan manusia, yaitu; pertama, tahsin (menghias, memberi gaya atau stilisasi), kedua, taqbih (perusakan atau deformasi), ketiga, mutabaqah (pemberian keseimbangan pada relasi antara dimensi jasmani dan dimensi rohani).
Sebagimana al-Farabi dalam estetikanya yang konsen pada seni musik. Karena dia adalah seorang teoritisi musik yang sangat penting. Baginya musik adalah hasil dari seni, yang mana musik itu menekankan pada kenikmatan yang diperoleh saat mendengar. Mengenai musik, digunakan sistem analisis berdasarkan pada Pythagorean. Sistem Pythagorean ini menjadi landasan pemikiran para musik sufi, dengan itu musik tidak hanya berfungsi untuk kenikmatan di saat mendengar, namun not-not dan gerakan-gerakan dalam tarian danmusik sufi tersebut memiliki kandungan dan hubungannya dengan realitas serta untuk menyembah Tuhan dengan gerakan yang berbeda.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa estetika dan seni Islam ternilai pembawaan dasarnya bagi al-Farabi adalah dalam bentuk spiritual dengan hubungannya pada Yang Transenden. Karena hal ini terkait dengan alam ruhani jiwa manusia. Oleh sebab itu, larangan yang terhadap penyerupaan dalam sebuah karya seni dapat ditarik interpretasinya kepada keyakinan bahwa karya seni yang baik adalah mengutamakan nilai spiritual dan manifestasi dari sifat-sifat Tuhan yang ada pada alam semesta ini.


DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M. Amin, 1995. Falsafah Kalam Di Era Postmodernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ahmad, Zainal Abidin, 1968. Negara Utama (Madinatul Fadilah). Jakarta: PT. Kinta.
Bakker, JMW, 1986. Sejarah Filsafat dalam Islam. Yogyakarta: Kanisius.
Bakar, Osman, 1997. Hierarki Ilmu Membangun Rangka Pikir Islamisasi Ilmu. Bandung: Mizan.
Fakhry, Majid, 1987. A History of Islamic Philsopy terj. R. Mulyadi Kartanegara Sejarah Filsafat Islam. Jakarta: Pustaka Jaya.
Hoesin, Oemar Amin, 1964. Filsafat Islam Sejarah dan Perkembangannya dalam Dunia Internasional. Jakarta: Bulan Bintang.
Leaman, Oliver, 2005. Estetika Islam. Terjemah dari Islamic Aesthetic (2004). Bandung: Mizan.
Mustofa, A., 2005. Filsafat Islam. Bandung: Pustaka Setia.
Nasution, Harun, 1973. Falsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Siddik, Abdullah, 1984. Islam dan Filsafat. Jakarta: Triputra Masa.
W. M, Abd. Hadi, 2007. Estetika dan Falsafah Seni. Jakarta: Universitas Paramadina.

Kamis, 28 Mei 2009

Pandangan Pemikir Islam Tentang Ilmu Kalam



Ilmu Kalâm merupakan salah satu dari beberapa kajian keilmuan yang tumbuh dan berkembang serta telah menjadi bagian dari tradisi kajian tentang agama islam. Seperti cabang-cabang keilmuan yang telah banyak di konsumsi oleh mayoritas kaum Muslim. Jika kita melihat secara bahasa, “'ilmu kalâm” berasal dari bahasa Arab yaitu 'Ilmu adalah ma'rifah (pengetahuan) dan fahm (pemahaman). tetapi Lembaga bahasa Arab Mesir, mengartikan sebagai akumulasi persamalahan dan dasar yang menyeluruh tentang suatu pembahasan, yang dibahas dengan metode kajian tertentu, dan berakhir dengan lahirnya teori dan hukum. Sedangkan kalâm, menurut Abû Bakar al-Razî (w.478 H/1086 M) diambil dari kata kalm, yang berarti al-jurh atau cacat dan kelemahan. al-Taftazânî (w. 783 H/1391 M) juga mengemukakan dengan analisisnya bahwa lafadz kalâm dapat diinggriskan yaitu dialectic, yang berarti diskusi atau perdebatan.

Tetapi, secara terminologis ilmu kalam ini telah banyak didefinisikan oleh para Pemikir Islam seperti; Jahm bin Safwan, Washil bin 'Atha', al-Juwayni, al-Iji, dan al-Jurjani menganggap bahwa ilmu kalam sebagai disiplin ilmu yang membahas akidah islam. Sementara Ibn Khaldun (w.785 H/1364 M) mendefinisikan ilmu kalam sebagai ilmu yang berisi berbagai argumentasi teologis dan dalil-dalil rasional ('aqliyyah) serta kritik terhadap ahli bid'ah yang melakukan penyimpangan teologis dari madzhab salaf dan Ahlussunnah. Sedangkan menurut al-Mulla 'Alî al-Qari (w.997 H/1605 M) bahwa ilmu kalâm adalah ilmu-ilmu mengenai teologi keagamaan atau yang diambil dari dalil-dalil yang meyakinkan. Kelihatannya, definisi ini agak mirip dengan yang dikemukakan 'Abd. al-Fattâh yaitu ilmu yang berfungsi untuk menguatkan teologi keagamaan dengan menggunakan dalil-dalil rasional.
Berdasarkan definisi yang telah dikaji di atas, ternyata masih banyak ulama lain yang menyebutkan atau memberikan definisi dengan istilah yang berbeda-beda. Seperti Abû Hanîfah (w.150 H/787 M) yang menggunakan dengan istilah 'ilm al-fiqh al-akbar. Al-Baghdâdî (w. 429 H/1037 M) menyebutnya ushûl al-dîn. Kemudian ada juga yang mengatakan 'ilm al-tauhîd, 'ilm al-nazhar wa al-istidhlâl, dan lain sebagainya. Dari berbagai definisi itu jelaslah bahwa ilmu kalam sering di terjemahkan dengan sebutan teologi, tetapi yang sangatlah perlu untuk diperhatikan adalah, makna teologia disini tidaklah sama persis dengan teologi yang ada dalam agama Kristen, sebagai contoh misalnya: dalam pengertian teologi yang berkembang di dalam ranah agama Kristen, ilmu tentang hukum-hukum atau syari’at keagamaan akan termasuk dalam teologi. Disebabkan hal itu pula, sebagaian dari para pemikir yang menginginkan pengertian yang lebih “tepat sasaran” akan menerjemahkan ilmu kalâm dengan pengertian teologi dialektis ataupun teologi rasional, dengan begitu ilmu kalâm terlihat sebagai suatu disiplin keilmuan yang sangatlah khas Islam.

Berangkat dari sanalah, maka terdapat perbedaan pandangan ulama sejak dulu tentang keperluan disiplin ilmu kalâm dan membantu umat untuk mendekati persoalan keagamaan, terutama yang bersifat ‘aqadiyyah. Secara umum dapat dikatakan bahwa perbedaan pandangan tersebut berakar pada perbedaan ulama dalam menilai akurasi pengetahuan yang ditimbulkan oleh capaian-capaian akal atau nalar. Sebenarnya ilmu kalâm hadir karena beberapa faktor yang menyelimutinya, 'Abd. Al-Fattah menjelaskan lebih rinci mengenai faktor-faktor tersebut, di antaranya;

1. Faktor-faktor Internal; diklasifikasikan bahwa faktor-faktor intern umat Islam itu terdapat dua macam: Pertama, al- Qur'an yang di dalamnya banyak mendorong manusia agar mempunyai ilmu pengetahuan, melakukan penelitian mengenai fenomena alam, mengangkat kedudukan orang yang berilmu, membantah taqlid dalam berakidah, dan membantah akidah yang dibangun dengan spekulasi. Sedangkan yang kedua, peristiwa politik yang berawal dari fitnah besar yang terjadi setelah terbunuhnya 'Utsman bin 'Affan sehingga melahirkan konflok politik yang kemudian merembet ke dalam persoalan akidah, karena masing-masing pihak menjastifikasi kelompoknya dengan argumentasi teologis.


2. Faktor-faktor Eksternal; yang terdapat karena pengaruh futûhât (penaklukkan)yang dilakukan kaum Muslim terhadap wilayah Romawi, Persia, dan India, yang merupakan tempat lahir dan berkembangnya filsafat serta agama-agama non-Islam. Disamping itu juga karena faktor-faktor penerjemahan filsafat ke dalam bahasa Arab.

Meskipun sudah jelas mengenai awal mula munculnya ilmu kalâm, akan tetapi perbedaan pandangan tetaplah gencar. Dari ide-ide al-Qur'an di ataslah maka kelompok Mutakallimûn menciptakan dan mengembangkan sebuah ilmu tentang kebutuhan (teologi Islam) yang dikenal dengan sebutan ilmu kalâm. Tetapi secara historis dapat diketahui bahwa kaum Hanbaliah merupakan kelompok yang paling keras menolak kehadiran ilmu kalâm dalam sistem ajaran Islam. Karena pada umumnya kaum Hanbaliah melihat problematika ilmu kalâm (teologi) yang terpenting adalah terletak pada metode argumentasinya yang tidak sesuai dengan tuntutan Al-Qur’an dan Sunnah karena menggunakan metode dialektis dan rasional, yang pada dasarnya pinjaman dari luar, khususnya filsafat Yunani.

Selain itu, Imam Syafi'i berlaku kasar terhadap kalâm dan Mutakallimûn karena menurutnya Ahl kalâm itu telah terbukti membawa hasil kerja nalar yang berbahaya bagi umat. Perlakuan kasar ini juga disetujui oleh Ibn Taimiyyah yang menganggap bahwa kaum Mutakallimûn telah mengabaikan metodologi yang ditawarkan Al-Qur’an dalam menjelaskan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan ushûl al-dîn. Hal ini erat kaitannya dengan kepercayaannya bahwa Al-Qur’an meskipun tidak pantas disebut selain sebagai kalâm, mengandung ajaran yang sesungguhnya pantas di sebut ushûl al-dîn itu. Al-Qur’an dan Sunnah, menurutnya mengajukan bukti-bukti dalam berbagai bentuk dan cara, sesuai dengan kebutuhan manusia. Tetapi pandangan Ibn Taimiyyah ini merupakan tuduhan yang diberikan oleh kaum Mutakallimûn, menurut mereka.

Ulama lain yang mempunyai sikap anti kalam yang cukup ekstrim adalah Fakhr al-Dîn al-Râzi. kalâm menurutnya lebih banyak memberikan keraguan daripada kepastian. Al-Râzi ini pernah mengatakan bahwa ia telah lama melakukan perenungan yang mendalam tentang metodologi kalam dan prosedur-prosedur yang dilalui filsafat, dan ia menemukan bahwa kedua-duanya tidak pernah dapat menyembuhkan penyakit sebagaimana kedua-duanya tidak pernah dapat melepaskan lapar dan dahaga iman. Metodologi yang terbaik menurutnya adalah apa yang disodorkan oleh al-Qur’an.

Pandangan-pandangan di atas ini, disanggah oleh kaum Mutakallimûn sendiri, terutama oleh Al-Asy’ari. Menurut al-Asy’ari, Nabi Muhamamd memang tidak merumuskan ilmu kalam (teologi), tetapi dasar-dasar pemikiran dalam ilmu kalâm yang dikembangkan kaum Mutakallimûn terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah. Kaum Mutakallimûn mempunyai pandangan bahwa metode dan teori rasional-lah yang dapat menghasilkan pengetahuan yang benar, oleh karena itu mempelajarinya merupakan suatu keharusan (wajib).

Meskipun ulama-ulama tersebut di atas telah mengkritik tajam terhadap ilmu kalâm, tetapi al-Asy’ari melihat argumen-argumen yang dikemukakan oleh pengkritik kalâm adalah argumen-argumen yang tidak mempunyai dasar sama sekali. Dan ia berupaya untuk memberi sanggahan-sanggahan kepada mereka. Imam al-Zarkasyî juga melihat upaya yang dilakukan oleh kaum Mutakallimûn sebagai upaya yang positif. Ia menyatakan dengan tegas bahwa tidak ada argumen dan dalil pembagian dan pembatasan terhadap semua pengetahuan 'aqliyyah dan sam’iyyah melainkan al-Qur’an juga membicarakannya.

Mayoritas Ahl kalâm berpendapat bahwa nalar merupakan jalan untuk membuka pengetahuan, yang terdapat pengetahuan tentang ketuhanan. Sementara Abû Mâ’in dari kubu Ahl al-Sunnah berpendapat bahwa setiap orang yang sudah balligh harus sanggup membuktikan adanya Tuhan, pencipta alam semesta, melalui argumen rasional. Al-Baqillânî mendeskripsikan pandangan Al-Asy’ariah yang mewajibkan seseorang karena yang demikian itu adalah perintah syara’. Ia menyatakan bahwa yang pertama kali diwajibkan Allah atas hamba-hamba-Nya, dan berargumen secara rasional dengan bukti kekuasaan-Nya sebab Allah tidak dapat diketahui begitu saja dan tidak dapat dicapai dengan pandangan empiris. Maka tak ada salahnya jika ilmu kalâm dipelajari oleh semua kaum Muslim yang sesungguhnya ilmu kalâm menjadi bagian terpenting dalam islam.

Daftar Pustaka:

 Oliver Leaman, Ensiklopedia Tematis Islam. Buku pertama, terj. Mizan. Bandung: 2003.
 Muhammad Maghfur W. MA. Koreksi atas Kesalahan Pemikiran Kalam dan Filsafat Islam. Al-Izzah. Bangil-Jatim: 2002.
KONSEP IMAN
MENURUT PAHAM MURJI'AH

Perbincangan mengenai iman berawal pada masa sepeninggalan khalifah Ustman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Di mana pada saat itu juga muncul adanya konsep kufur atau kafir yang timbulnya karena terjadi peperangan antara Ali bin Abi Thalib dengan Mu'awiyah bin Abi Sufyan. Mu'awiyah, seorang Gubernur Damaskus yang tidak setuju atas pemerintahan Ali, maka pertempuran yang terjadi ini dinamakan perang Shiffin. Ketika pasukan Ali hampir memenangi pertempuran tersebut, pembantu kanan Mu'awiyah, ‘Amr Ibn Al-‘As yang terkenal sebagai orang licik, meminta berdamai dengan mengangkat al-Quran ke atas. Qurra yang ada di pihak Ali mendesak Ali supaya menerima tawaran itu, dan dengan demikian dicarilah perdamaian dengan mengadakan pengantara (arbitrase/tahkim). Sebagai pengantara maka dilantiklah dua orang dari masing-masing pihak, yaitu ‘Amr Ibn Al-‘As dari pihak Mu'awiyah dan Abu Musa al-Asy’ari dari pihak Ali. Kesimpulan dari arbitrase tersebut adalah merugikan pihak Ali dan menguntungkan pihak Mu’awiyah, maka kemudian Mu’awiyah dengan sendirinya dianggap sebagai khalifah tidak resmi.

Sebagian dari pengikut Ali tidak setuju dengan pengantara (arbitrase) tersebut, oleh karena itu mereka meninggalkan barisan Ali. Golongan mereka inilah dalam sejarah Islam terkenal dengan nama Khawarij. Dengan demikian, gambaran dari persoalan-persoalan politik inilah akhirnya membawa kepada timbulnya persoalan teologi. Golongan Khawarij ini memandang bahwa Ali, Mu’awiyah, ‘Amr Ibn al-‘As, Abu Musa al-Asy’ari dan lain-lain yang menerima arbitrase itu adalah kafir, karena mereka semuanya tidak kembali menetapkan hukum kepada al-Quran seperti yang dimaksud firman Allah dalam surah al-Maidah ayat 44: “Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir”.

Dari ayat itulah mereka mengambil semboyan la hukma illallah karena keempat-empat pemuka Islam di atas telah dipandang kafir dalam arti bahwa mereka telah keluar dari Islam. Dan mereka mesti dibunuh. Tetapi yang dipandang kafir bukan lagi hanya orang yang melakukan dosa besar, yaitu murtakib al-kaba'ir. Persoalannya ialah, masihkah dia mukmin ataukah dia menjadi kafir karena melakukan dosa besar?

Dengan demikian, persoalan politik yang timbul inilah membawa perpecahan dikalangan umat Islam, juga membawa timbulnya persoalan siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir. Dalam persoalan pertentangan ini, timbul suatu golongan baru yang bersifat netral, yaitu golongan Murji'ah. Kaum murji'ah mulai menanggapi persoalan-persoalan teologis yang mencakup iman, kufur, dosa besar dan hukuman atas dosa. Hal ini nampaknya memicu perbedaan pendapat dikalangan para pendukung murji'ah sendiri, akhirnya kaum murji'ah pecah menjadi beberapa golongan kecil, yaitu Golongan Murji'ah Moderat yang berpendapat bahwa iman itu terdiri dari tasdiq bi al-qalb dan iqrar bi al-lisan dan golongan Murjiah Ekstrim yang berpendapat bahwa iman hanya pengakuan hati (tasdiq bi al-qalb).
Murji'ah Ekstrim mengatakan, bahwa iman hanya pengakuan atau pembenaran dalam hati (tasdiq bi al-qalb). Artinya, mengakui dengan hati bahwa tidak ada Tuhan selain Allah SWT dan Muhammad Rasul-Nya. Berangkat dari konsep ini, Murji'ah berpendapat bahwa seseorang tidak menjadi kafir karena melakukan dosa besar, bahkan mengatakan kekufurannya secara lisan. Oleh karena itu, jika seseorang telah beriman dalam hatinya, ia tetap dipandang sebagai seorang mukmin sekalipun menampakkan tingkah laku seperti Yahudi atau Nasrani.
Menurut mereka, iqrar dan amal bukanlah bagian dari iman, karena yang penting menurut mereka adalah tasdiq dalam hati. Alasannya bahwa iman dalam bahasa adalah tasdiq sedangkan perbuatan dalam bahasa tidak dinamakan tasdiq. Tasdiq itu merupakan persoalan dalam hati sedangkan perbuatan urusan anggota tubuh (al-arkam) dan di antara keduanya tidak saling mempengaruhi. Iman letaknya dalam hati dan apa yang ada dalam hati seseorang tidak diketahui manusia lain. Sedangkan perbuatan-perbuatan seseorang tidak selamanya menggambarkan apa yang ada dalam hatinya. Oleh karena itu ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan seseorang tidak mesti mengandung arti bahwa ia tidak mempunyai iman. Kredo kelompok Murji'ah Ekstrim yang terkenal adalah perbuatan maksiat tidak dapat menggugurkan keimanan sebagaimana ketaatan tidak dapat membawa kekufuran. Dapat disimpulkan bahwa Murji'ah Ekstrim memandang pelaku dosa besar tidak akan disiksa di neraka.
Sedangkan golongan Murji'ah Moderat berpendapat bahwa iman itu terdiri dari pembenaran dengan hati (tasdiq bi al-qalb) dan pernyataan dengan lisan (iqrar bi al-lisan). Pembenaran hati saja tidak cukup ataupun dengan pengakuan dengan lisan saja, maka itu tidak dapat dikatakan iman. Kedua unsur iman itu tidak dapat dipisahkan. Iman adalah kepercayaan dalam hati yang dinyatakan dengan lisan. Jadi jika pelaku dosa besar menurut mereka bukanlah kafir dan tidak kekal dalam neraka, ketika ia meninggal dunia dan belum sempat bertaubat dari dosa-dosanya maka nasibnya di akhirat terletak pada kehendak Allah, apabila Allah mengampuninya maka ia terbebas dari neraka dan masuk surga, namun jika ia tidak mendapat ampunan dari-Nya maka ia masuk neraka dan kemudian baru dimasukkan surga. Adapun orang yang berdosa kecil, dosa-dosanya akan dihapus oleh kebaikan, seperti ibadah shalat dan kewajiban-kewajiban lainnya yang dijalankannya. Oleh karena itu, dosa-dosa besar maupun dosa-dosa kecil tidak dapat membuat seseorang keluar dari iman.
Dari uraian di atas, pendapat yang dikatakan oleh Murji'ah Moderat dapat diterima oleh kaum Asy'ariyah karena pendapatnya tersebut identik dengannya dan berbeda dengan apa yang dijelaskan oleh Murji'ah Ekstrim, pendapatnya dianggap menyimpang dari norma-norma yang dipakai oleh masyarakat biasanya, terutama yang terkait dengan akhlak atau moral yang berlaku. Tampaknya ajaran yang dibawa oleh kaum Murji'ah Ekstrim hanya mementingkan iman saja, sedangkan moral dianggap kurang penting baginya. Karena itulah nama Murji'ah Ekstrim dipandang tidak baik oleh sebagian masyarakat.
Mungkin jika melihat definisi yang dijelaskan oleh Abu Hanifah mengenai iman, lebih berbeda lagi dari sebelumnya. Menurut Abu Hanifah, iman adalah pengetahuan (ma'rifah) tentang Tuhan sekaligus mengakui-Nya dan tentang Rasul serta mengakui wahyu yang dibawanya. Selain itu juga ia meyakini bahwa iman adalah sesuatu yang tidak dapat dibagi dan tidak dapat bertambah ataupun berkurang. Jelasnya, iman yang dimiliki oleh orang yang berdosa besar tidak ada bedanya dengan iman yang dimilki oleh orang yang taat menjalankan perintah-perintah Tuhan.
Tetapi jika dibandingkan dengan kaum Mu'tazilah yang dikenal kaum rasionalis Islam, mungkin karena mereka memberikan kedudukan yang tinggi kepada akal, sehingga mereka mengatakan bahwa iman itu bukan diartikan sebagai tasdiq dan bukan pula ma'rifah, tetapi iman menurut mereka adalah suatu perbuatan yang timbul setelah mengetahui Tuhan. Dengan kata lain adalah perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dalam melaksanakan perintah-perintah Tuhan. Konsep iman yang diuraikan oleh kaum Mu'tazilah ini sejalan dengan apa yang digambarkan oleh Muhammad Abduh. Di mana iman itu erat kaitannya dengan amal dan ia menjelaskan bahwa iman baginya adalah 'ilm (pengetahuan), i'tiqad (kepercayaan) atau yaqin (keyakinan). Oleh karenanya ia tidak menggambarkan iman sebagai tasdiq.
Asy'ariyah juga menegaskan bahwa iman tidak bisa diartikan sebagai ma’rifah atau amal, oleh karena itu iman bagi kaum Asy’ariyah adalah tasdiq dan memiliki batasan iman (al-tasdiqu bi Allah) yaitu menerima kebenaran khabar tentang adanya Tuhan. Tak lain juga dengan golongan Maturidiyah Bukhara, golongan ini mempunyai paham yang sama dengan Asy’ariyah yaitu iman tetap harus merupakan tasdiq. Batasan yang diberikan Al-Bazdawi tentang iman adalah menerima dalam hati dan menyatakan dengan lisan bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan tidak ada yang serupa dengan Dia.
Sedangkan golongan Maturidiyah Samarkand berpendapat bahwa iman harus berkedudukan lebih dari tasdiq, karena menurut mereka akal dapat sampai kepada kewajiban mengetahui Tuhan. Dan mengenai batasan iman dengan tasdiq hanya dapat sesuai dengan aliran Asy’ariyah dan aliran Maturidiyah Bukhara. Adapun bagi aliran Mu’tazilah dan aliran Maturidiyah Samarkand iman mestilah lebih dari tasdiq, yaitu ma’rifah dan amal.
'TAHAPAN MENUJU KEBAHAGIAAN'


1. Taubat

Kata taubat berasal dari kata tâba-yatûbu-tauban yang berarti menyesal atas perbuatan dosa atau dapat berarti pula kembali pada jalan yang benar atau kembali pada kesucian jiwa. Rasa penyesalan ini muncul setelah seseorang melakukan dosa, dan ia sadar serta mempunyai tekad untuk tidak mengulanginya lagi. Ada beberapa syarat dalam bertaubat dengan murni atau biasa disebut taubatan nasuha, di antaranya:
1. Memiliki kesadaran bahwa telah melakukan kesalahan atau berbuat dosa.
2. Menyesali perbuatan dosa yang sudah dilakukan.
3. Mampu menjauhkan diri dan meninggalkan perbuatan dosa.
4. Berjanji tidak mengulanginya lagi.

Bertaubat tidak hanya terlintas dari ucapan saja, seperti mengucapkan istighfar, akan tetapi dalam hatinya terdapat empat syarat di atas. Maka taubat seperti itulah yang disebut taubat sebenarnya dan Allah akan menerima serta mengampuni dosa-dosanya. Dalam firman-Nya yang artinya:
“Dan Dialah yang menerima taubat dari hamba-hambanya dan memaafkan kesalahan-kesalahan dan mengetahui apa yang kamu kerjakan”
“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang bertaubat dan mencintai orang-orang yang menyucikan diri”

2. Zuhud

Secara bahasa, kata zuhud berasal dari kata zahuda-yazhudu-zuhdan yang berarti tiada rasa ingin kepada sesuatu atau tidak suka kepada hal-hal yang bersifat duniawi. Sikap zuhud ini menjauhi kemewahan dunia seperti jabatan, harta, dan lain sebagainya. Zâhid adalah orang yang zuhud, yang memandang dunia sebagai sesuatu yang berubah dan akan lenyap. Orang yang zuhud akan bisa mengendalikan dunia, bahkan menjadikan dunia menjadi budaknya dan istiqamah dalam menjalani hidup untuk mencapai tujuan yaitu kehidupan ukhrawi.

Ada beberapa keadaan manusia dalam menghadapi dunia, yaitu pertama, kelompok manusia yang masuk dalam perangkap dunia dan mereka menguncinya dengan kerakusan dan kekikiran. Kedua, golongan manusia yang tidak mendapat kesenangannya di dunia sehingga mereka kecewa dan bersedih hati. Pada akhirnya mereka terjerumus dalam ketamakan dan kerakusan. Ketiga, kelompok orang yang telah mendapatkan kesenangan di dunia tetapi mereka menyimpannya untuk hari nanti jika telah hadir kemiskinan menimpa. Keempat, kelompok manusia yang dengan sengaja meninggalkan dan menyingkirkan hal-hal keduniawiaan dari pikiran serta jiwanya .

3. Wara'

Secara lughah kata wara' berasal dari wari'a-yaura'u-wara'an atau waru'a-yauru'u-warâ'atan yang artinya menjauhkan diri dari segala dosa. Di sini wara' juga berarti sikap menjauhkan diri dari hal-hal yang shubhat. Orang yang memiliki sifat wara' tidak mementingkan urusan dunia melainkan urusan akhirat, apabila ia berkehendak untuk mengambil sesuatu dunia, maka terlebih dahulu ia memikirkan akibat buruknya yang akan terjadi nantinya di hari kiamat.

Menurut Ibrâhim bin Ad-ham wara' artinya meninggalkan semua yang syubhat, sedangkan meninggalkan apa yang tidak menjadi kepentinganmu yaitu meninggalkan hal-hal sampingan (yang melebihi dari urusan). Yahya bin Mu'âdz mengakatakan, wara' mengandung arti berhenti sebatas ilmu yang dimiliki tanpa menakwilnya." Abu Sulaimân ad-Darâny mengemukakan, wara' adalah hal pertama dari zuhud sebagaimana qana'ah (rasa puasdiri)merupakanhalpertamadariridha. Sedangkan menurut Yûnus bin 'Ubaid, Wara' adalah keluar dari semua syubhat dan menghitung diri (muhasabah) dalam setiap saat. Pendapat lain mengatakan bahwa wara' adalah keluar dari hawa nafsu dan meninggalkan hal-hal yang buruk.

Wara' merupakan rasa takut atau kewaspadaan terhadap siksa Allah SWT kepada seorang hamba. Kadar ukuran wara' dapat dikatakan sebanding dengan rasa takut kepada Allah. Apabila seorang hamba rasa takutnya sedikit dengan Allah maka wara'nya pun bernilai sedikit, nilai kemulyaan pada dirinya pun hilang karena ia jatuh di mata Allah dan Allah menjatuhkannya sehingga semua makhluk menganggapnya rendah.
Dalam kitab Mukhtashar Minhâj al-Qâshidîn disebutkan, wara' memiliki empat tingkatan, yaitu:
1. Menarik diri dari setiap hal yang oleh fatwa diindikasikan haram.
2. Wara' yang setiap syubhat yang tidak wajib menjauhinya tetapi dianjurkan.
3. Wara' dari sebagian yang halal karena khawatir terjerumus ke dalam hal yang haram.
4. Wara' dari semua hal yang bukan kartena Allah.
4. Shabr

Berasal dari kata shabara-yashbiru-shabran yang artinya bersabar, tabah hati, dan berani (atas sesuatu). Shabar juga bisa diartikan konsekuen dan konsisten dalam menjalankan perintah, menjauhi larangan-Nya dan dalam menerima segala cobaan. Al-Ghazali mengatakan bahwa shabar itu memiliki dua jenis yang dilihat dari sifatnya, yakni shabar yang bersifat jasmani dan rohani. Pertama, shabar yang bersifat jasmani, yang mencakup dengan ketahanan fisik dalam menjalani semua cobaan atau penderitaan badani. Sedangkan shabar yang kedua, berisikan tentang kesiapan mental dan ketangguhan sikap dalam mengendalikan dan menaklukkan hawa nafsu. Shabar seperti inilah yang sempurna dan terpuji.

Shabar merupakan sikap teguh hati (tidak mengeluh), tabah hati (tidak gampang panik ), dan pasrah hati (tidak kehilangan keseimbangan an tidak mudah pendirian) . Dalam firman Allah yang berbunyi:
“Maka sikap shabar itu adalah sikap yang baik dan hanya Allah sajalah yang dimintai pertolongan” .
“Dan sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang shabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang mereka perbuat”
“Sesungguhnya hanya orang-orang sabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas”

5. Tawadhu'

Asal kata tawadhu' adalah tawadhdha'a-yatawadhdha'u-tawadhdua'an yang berarti tunduk kepada-Nya. Sikap tawadhu' ini menggambarkan seorang hamba yang selalu merendahkan diri dihadapan Allah dan manusia. Lawan dari tawadhu’ adalah takabbur (sombong), jadi tawadhu’ menyingkapi bahwa yang berhak sombong adalah Allah SWT. Tawadhu’ adalah ketundukan seseorang kepada kebenaran yang telah datang pada dirinya dan tidak menganggap dirinya di atas semua orang.

Dalam hal ini terdapat ayat al-Qur’an yang diperintahkan untuk tawadhu’, yaitu:
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu yaitu orang-orang yang beriman.”
Rasulullah SAW, bersabda:
“Sesungguhnya Allah telah mewahyukan kepadaku agar kalian merendahkan diri sehingga seseorang tidak menyombongkan diri atas yang lain dan tidak berbuat zhalim atas yang lain.”

6. Faqr

Faqr ialah situasi seseorang yang dalam kekurangan. Tetapi di sini faqr menunjukkan arti bahwa seorang hamba yang selalu membutuhkan pertolongan-Nya dan selalu mengharapkan limpahan rahmat dan kebesaran-Nya. Secara etimologi kata Faqr berarti kesusahan, kesedihan, kemiskinan9, yaitu orang yang tidak memiliki apa-apa pada dirinya. Kalau sesuatu ditarik dari dirinya maka ia fakir dan jika ia menolak sesuatu tersebut maka ia zahid. Menurut pemahaman Sufi kata Faqr itu ditujukan kepada orang yang memiliki ma’rifah yang paling tinggi dan kondisi mental yang tangguh serta berbudi luhur.
Al-Ghazali menyebutkan bahwa faqr adalah merupakan suatu kondisi di mana sesuatu yang dihajatkan tidak dapat dipenuhi. Idealisme Sufi tentang Faqr telah berkembang jauh, faqr sejati bukan saja jauh dari barang-barang, melainkan juga ketiadaan hasrat untuk menguasai barang.
Al-Ghazali membagi bentuk Faqr menjadi lima, yaitu :
a) Seseorang yang diberi harta sedangkan ia enggan karena benci akan kejelekannya dan khawatir akan disibukkan oleh harta tersebut., orang seperti ini di sebut Zahid
b) Seorang yang tidak senang mempunyai harta dan tidak juga membencinya serta berlaku zuhud terhadapnya, orang ini disebut Radhi ( orang yang Rela ).
c) Seseorang yang lebih suka jika memiliki harta akan tetapi ia tidak disibukkan untuk mencari harta tersebut. Jika harta itu suci dan halal maka ia menerimanya dengan gembira dan puas terhadap apa yang dimilikinya, maka ia disebut Qani’ (Orang yang Puas).
d) Seseorang yang meninggalkan harta karena kelemahannya, yang jika ia memiliki cara untuk mendapatkannya walau dengan bersusah payah, maka orang ini disebut Harish (orang yang Tamak).
e) Orang yang Fakir lantaran keadaan yang memaksa seperti orang yang lapar karena tidak punya makanan atau orang yang telanjang karena tidak memiliki pakaian, orang ini disebut Mudhthar (orang yang Terpaksa).

7. Taqwa

Taqwa adalah takut atas siksa Allah, sehingga berhati-hati dalam bersikap dan taat menjalankan perintah serta larangan-Nya. Taqwa mencerminkan kepatuhan seorang kepada Allah. Selain taqwa memiliki kedudukan yang paling istimwa dan menjadi salah satu sifat orang-orang. Dalam al-Qur'an dinyatakan bahwa tolok ukur kemuliaan dan nilai manusia terletak pada ketaqwaannya. Sebagaimana firman Allah:
”Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah ialah orang-orang yang bertaqwa..”
”Bagi orang-orang yang berbuat kebaikan di antar mereka dan yang bertaqwa adlah pahala yang besar”




8. Ridha

Kata ridha sudah cukup familiar didengar oleh telinga kita, karena kata ridha sudah diserap dari Bahasa Arab ke dalam Bahasa Indonesia yang menurut Kamus Bahasa Arab berasal dari kata radhiya-yardha yang menunjukkan arti rela. Dalam ilmu tasawuf, ridha merupakan salah satu maqam (tingkatan) batiniyah yang harus dilalui oleh orang Sufi dalam usahanya mendekatkan diri kepada Allah. Menurut para mutasawif, sikap ridha adalah tidak menentang qada dan qadar Allah, merasa senang dengan malapetaka yang menimpa dirinya karena dirasakan sebagai nikmat, tidak meminta surga atau dijauhkan dari neraka, karena cintanya kepada Allah.

Menurut Imam al-Ghazali, ridha merupakan buah dari kecintaan (mahabbah). Kalau kerinduannya terus menebal, maka tidak perlu lagi ada proses pemadatan mahabbah, karena mahabbah sudah mendarah daging. Dengan itu akan lahirlah apa yang disebut mahabbah, yaitu ridha. Ridha dengan Qada Allah. Menurut Imam Al Ghazali, ridha bukan hanya sebagai buah mahabbah, tetapi juga termasuk maqam tertinggi di kalangan muqarrabin (orang-orang yang dekat dengan Allah). Jadi dapat kita bayangkan kalau mereka sudah muqarabbin, ditambah memiliki keridhaan yang merupakan maqam tertinggi, maka wajarlah bila kadang-kadang ada sikap yang dimata orang lain yang tidak muqarabbin –sangat tidak rasional.

Hakikat keridhaan menurut al-Ghazali sangat pelik buat kebanyakan orang. Karena ketika kita memperbincangkan masalah ridha, disitu banyak keserupaandan banyak ketidak jelasan. Hakikat ridha tidak akan terungkapkan kecuali bagi orang-orang yang memang diajari oleh Allah, artinya dipahamkan ilmuagamanya. Jadi membicarakan ridha itu terkait dengan makrifatullah yangboleh jadi berdasarkan pendekatan rasional maupun pendekatan hati.

9. Mahabbah

Kata mahabbah berasal dari kata ahabba-yuhibbu-mahabatan yang berarti mencintai secara mendalam, atau kecintaan atau cinta yang mendalam . Menurut Jamil Shaliba dalam al-Mu'jam al-Falsafi, kata mahabbah adalah lawan dari al-baghd, yaitu cinta lawan dari benci. Al- mahabbah juga dapat diartikan al-wadud, yakni yang sangat kasih atau penyayang. Selain itu al-mahabbah dapat pula berarti kecenderngan kepada sesuatu yang sedang berjalan, dengan tujuan untuk memperoleh kebutuhan yang bersifat material maupun spiritual, seperti seseorang yang sedang kasmaran pada sesuatu yang dicintainya, cinta orang tuapada anaknya, seorang pada sahabatnya dan lain-lain.

Mahabbah pada tingkat selanjtunya dapat pula diartikan sebagai suatu usaha yang sungguh-sungguh dari seseorang untuk mencapai tingkat ruhaniah tertinggi dengan tercapainya gambaran yang mutlak, yaitu cinta kepada Tuhan. Kata mahabbah juga digunakan untuk menunjukkan pada suatu paham atau aliran dalam tasawuf. Dalam hal ini, mahabbah terkait sebagai objek yang lebih ditujukan pada Tuhan. Dari pengertian yang sudah dikemukakan di atas, tampaknya terdapat pengertian yang cocok dalam tasawuf, yaitu mahabbah secara ruhaniah yang artinya kecintaan yang mendalam pada Tuhan.

Menurut al-Qusyairi pengertian mahabbah dari segi tasawuf merupakan hal (keadaan) jiwa yang mulia yang bentuknya adalah disaksikannya (kemutlakkan) Allah SWT, oleh hamba, selanjutnya yang dicintainya itu yaitu juga menyatakan cinta kepada yang dikasihi-Nya dan seorang hamba yang mencintai Allah SWT . Sedangkan Harun Nasution mengatakan bahwa mahabbah adalah cinta yang dimaksud ialah cinta kepada Tuhan. Harun Nasution juga memberikan pengertian kepada mahabbah antara lain :
1. Memeluk kepatuhan pada Tuhan dan membenci sikap melawan pada-Nya.
2. Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi.
3. Mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali dari yang dikasihi, yaitu Tuhan.

Selain itu, al-Sarraj mengemukakan pengertian mahabbah dari segi tingkatannya terdapat tiga macam, yaitu mahabbah orang biasa, mahabbah orang shidiq dan mahabbah orang yang 'arif. Pertama, mahabbah orang biasa mengambil bentuk selalu mengingat Allah dengan dzikir, suka menyebut nama-nama Allah, dan memperoleh kesenangan dalam berdialog dengan Tuhan. Yang pada intinya senantiasa memuji Tuhan. Kedua, mahabbah orang shidiq adalah cinta orang yang kenal pada Tuhan, pada kebesaran-Nya, pada kekuasaan-Nya, pada ilmu-Nya dan lain-lain. Cinta yang dapat menghilangkan tabir yang memisahkan diri seorang dari Tuhan dan dengan demikian dapat melihat rahasia-rahasia yang ada pada Tuhan. Cinta tingkat kedua ini membuat orangnya sanggup menghilangkan kehendak dan sifat-sifatnya sendiri, sedang hatinya penuh denagn perasaan cinta pada Tuhan dan selalu rindu pada-Nya. Ketiga, mahabbah orang yang 'arif yaitu cinta orang yang sangat tahu pada Tuhan. Yang dilihat dan dirasa bukan lagi cinta, tetapi diri yang dicintai. Akhirnya sifat-sifat yang dicintai masuk kedalam diri yang mencintai.

10. Ma'rifat

Dari segi bahasa ma'rifah berasal dari kata 'arafa-yu'rifu-'irfatan yang artinya mengetahui atau mengenal sesuatu . Dapat pula berarti pengetahuan tentang rahasia hakikat agama, yaitu ilmu yang lebih tinggi daripada ilmu yang biasa didapati oleh orang-orang pada umumnya . Ma'rifat dalah pengetahuan yang obyeknya bukan pada hal-hal yang bersifat dzahir, tetapi lebih mendalam terhadap batinnya dengan mengetahui rahasianya. Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa akal manusia sanggup mengetahui hakikat ketuhanan, hakikat itu satu, dan segala yang maujud berasal dari yang satu.
Al-Kalabazi mengatakan bahwa ma'rifah ini digunakan untuk menunjukkan pada salah satu tingkatan dalam tasawuf dan diartikan sebagai pengetahuan mengenai Tuhan melalui hati sanubari. Sedangkan menurut Harun Nasution ma'rifah itu menggambarkan hubungan rapat dalam bentuk gnosis, pengetahuan dengan hati sanubari . Berarti ma'rifat mengetahui Tuhan dari dekat, sehingga hati-sanubari dapat melihat Tuhan. Dari sinilah, para sufi mengatakan:
1 Apabila mata yang terdapat dalam hati sanubari manusia terbuka, mata kepalanya akan tertutup, dan ketika itu yang dilihatnya adalah Allah.
2 Ma'rifat adalah cermin, jika seorang 'arif melihat ke cermin itu, yang akan dilihatnya hanyalah Allah.
3 Yang dilihat seorang 'arif baik sewaktu tidur maupun sewaktu bangun hanya Allah.
4 Ma'rifat membuat semua yang melihatnya akan mati karena kecantikan dan keindahannya serta semua cahaya akan menjadi gelap disamping cahaya keindahan yang gilang-gemilang.

Dari beberapa definisi di atas, dapat diketahui bahwa ma'rifah adalah mengatahui rahasia-rahasia Tuhan dengan menggunakan hati sanubari. Dengan demikian, tujuan yang akan dicapai oleh ma'rifah adalah mengetahui rahasia-rahasia yang terdapat dalam diri Tuhan. Melihat ma'rifah ini juga terdapat beberapa pandangan yang terkadang dianggap sebagai maqam dan sebagai hal. Dalam pandangan al-Junaidi (w.381 H), ma'rifah dianggap sebagai hal, sedangkan dalam Risalah al-Qusyairi, ma'rifah dianggap sebagai maqam. Selain itu, menurut al-Ghazali dalam Ihya' Ulum al-Din ma'rifah datang sebelum mahabbah, sedangkan al-Kalabazi mengatakan setelah mahabbah. Dan al-Kalabazi ini menjelaskan ma'rifah lebih menacu pada pengetahuan dan mahabbah menggambarkan kecintaan.

11. Tawakkal
Tawakkal secara etimologi berasal dari kata tawakkala-yatawakkalu-tawakkulan yang berarti pasrah atau Tawakkal adalah kesungguhan hati kepasrahan dalam bersandar kepada Allah Ta’ala untuk mendapatkan kemaslahatan serta mencegah bahaya, baik menyangkut urusan dunia maupun akhirat. Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan barangsiapa bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia akan jadikan baginya jalan keluar dan memberi rizqi dari arah yang tiada ia sangka-sangka, dan barangsiapa bertawakkal kepada Allah, maka Dia itu cukup baginya.” .
Banyak di antara para ulama yang telah menjelaskan makna Tawakkal, diantaranya adalah Al-Allamah Al-Munawi. Beliau mengatakan, “Tawakkal adalah menampakkan kelemahan serta penyandaran (diri) kepada yang diTawakkali.” . Ibnu ‘Abbas mengatakan bahwa Tawakkal bermakna percaya sepenuhnya kepada Allah Ta’ala. Imam Ahmad mengatakan, “Tawakkal berarti memutuskan pencarian disertai keputus-asaan terhadap makhluk.” Al Hasan Al Bashri pernah ditanya tentang Tawakkal, maka beliau menjawab, “Ridho kepada Allah Ta’ala”, Ibnu Rojab Al Hanbali mengatakan, “Tawakkal adalah bersandarnya hati dengan sebenarnya kepada Allah Ta’ala dalam memperoleh kemashlahatan dan menolak bahaya, baik urusan dunia maupun akhirat secara keseluruhan.” Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan, “Tawakkal yaitu memalingkan pandangan dari berbagai sebab setelah sebab disiapkan.”




Daftar Pustaka:
 Kafie, KH. Jamaluddin, Tasawuf Komtemporer. Republika. Jakarta: 2003.
 Siregar, Prof. H. A. Rivay, Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisma. RajawaliPers. Jakarta: 2002.
 Amini, Ibarahim, Risalah Tasawuf. Al-Huda. Jakarta: 2002

Senin, 06 April 2009

KEKUATAN DAN KELEMAHAN
PAHAM ASY'ARIYAH
SEBAGAI DOKTRIN AQIDAH ISLAM


A. Latar Belakang Asy'ariyah

Asy`ariyah adalah sebuah paham aqidah yang dinisbatkan kepada Abû al-Hasan 'Alî al-Asy`arî. Beliau lahir di Bashrah, Iraq tahun 260 Hijriyah bertepatan dengan tahun 873 Masehi. Beliau wafat pada tahun 324 H / 935 M. Beliau hadir sekitar satu abad setelah imam al-Syâfi'î, atau setengah abad setelah al-Bukhari.

Awalnya al-Asy`arî pernah belajar kepada Al-Jubba`i, seorang tokoh dan guru dari kalangan Mu`tazilah. Sehingga untuk sementara waktu, al-Asy`arî menjadi penganut Mu`tazilî, sampai tahun 300 H. Namun setelah beliau mendalami paham Mu`tazilah hingga berusia 40 tahun, terjadilah debat panjang antara dia dan gurunya, Al-Jubba`i dalam berbagai masalah terutama masalah Kalam. Debat itu membuatnya tidak puas dengan konsep Mu`tazilah dan beliau pun keluar dari paham itu dan bergabung dengan paham kaum Hadits (Ahl al-Hadits/Ahl as-sunnah) yang dipelopori oleh kaum Hanbalî dan yang bertindak sebagai pemegang bendera ortodoksi atau sunni.

Namun, tidak menutup kemungkinan jika al-Asy`arî masih memegang metode logis dan dialektis yang sekarang akan berbalik untuk membela paham Ahl al-Hadits. Pada umumnya, kaum Hadits masih mencurigakan metodologi yang digunakan oleh al-Asy`arî sehingga dalam diri al-Asy`arî merasa bahwa ia perlu membela diri dengan risalahnya yaitu Istihsân al-Khawdl fi 'ilm al-Kalâm (Anjuran untuk mendalami ilmu Kalâm).

Al-Asy`ariyah membuat sistem hujjah yang dibangun berdasarkan perpaduan antara dalil nash (naql) dan dalil logika (`aql). Dengan itu belaiu berhasil memukul telak hujjah para pendukung Mu`tazilah yang selama ini mengacak-acak eksistensi Ahl al-Hadits. Bisa dikatakan, sejak berdirinya aliran Asy`ariyah, Mu`tazilah berhasil dilemahkan dan dijauhkan dari kekuasaan. Setelah sebelumnya sangat berkuasa dan melakukan penindasan terhadap lawan-lawan debatnya termasuk di dalamnya Imam Ahmad bin Hanbal.

Kemampuan Asy`ariyah dalam memukul Mu`tazilah bisa dimaklumi karena sebelumnya Al-Asy`ari pernah berguru kepada mereka. Beliau paham betul lika-liku logika Mu`tazilah dan dengan mudah menguasai titik-titik lemahnya. Meski awalnya kalangan Ahl al-Hadits sempat menaruh curiga kepada beliau dan pahamnya, namun setelah keberhasilannya memukul Mu`tazilah dan komitmennya kepada aqidah Ahl al-Hadits atau yang sekarang ini terkenal dengan sebutan ahlus sunnah wal jama'ah.

B. Inti Pokok Paham Asy'ariyah

Pada dasarnya, inti pokok paham Asy'ariyah adalah Sunnisme. Dalam hal ini, al-Asy`arî menuturkan bahwa ia mendukung dan menganut paham Ahl al-Hadits. Maka ada beberapa hal yang dianut oleh para pendukung Hadits dan Sunnah yaitu mengakui adanya Allah, para malaikat, kitab-kitab, rasul-rasul, segala apa yang datang dari Allah dan apa yang disampaikan oleh Rasulullah SAW, percaya terhadap Qadha dan Qadar Allah, dan mempercayai adanya Dajjal. Selain itu, juga mengharuskan untuk taat kepada imam atau pemimpin dan tidak memerdulikan pemimpin itu orang baik atau orang jahat.

Adapun pandangan-pandangan Asy'ariyah yang agaknya berbeda dengan Mu'tazilah, di antaranya ialah:
1. Tentang Tuhan, bahwa Allah adalah Tuhan Yang Maha Esa. Allah berada di atas 'Arsy (Singgasana) dan Allah satu-satunya yang menciptakan segala sesuatu di bumi serta pemilik ilmu (pengetahuan). Allah dapat dilihat nantinya di akhirat, memiliki sifat-sifat seperti berkuasa, melihat, mendengar dan lai-lain.
2. Tentang al-Qur'an, yang merupakan Kalami Ilahi yang bukan makhluk dan bersifat Qadim.
3. Tentang Manusia, kebaikan dan keburukan yang dilakukan oleh manusia itu merupakan kehendak dari-Nya maka semua perilaku mereka diciptakan oleh-Nya.
4. Tentang pelaku dosa besar, bahwa seorang mukmin yang berdosa besar tidak pasti dihukumi masuk neraka dan tidak dikatakan kafir atau keluar dari keislamannya, karena Allah Maha Menerima Taubat dan Maha pengampun. Oleh karena itu, Asy'ariyah menolak konsep tentang posisi tengah (manzilah bainal manzilataini), sebab tidak mungkin pada diri seseorang tidak ada iman dan sekaligus tidak ada kafir. Harus dibedakan antara iman, kafir, dan perbuatan.
5. Tentang anthropomorphisme, bahwa Allah mempunyai mata, tangan, mata dan sebagainya yang tidak dapat dikatakan bagaimana.

Selain yang tertera di atas, paham Asy'ariyah ini menentang paham keadilan Tuhan yang di bawa oleh kaum Mu'tazilah. Menurutnya, keadilan Tuhan terletak pada keyakinan bahwa Tuhan berkuasa mutlak dan berkehendak mutlak. Apa pun yang dilakukan Allah adalah adil. Dengan demikian ia tidak setuju dengan konsep janji dan ancaman (al-wa’d wa al-wa’id).

C. Alur Argumen Kalam Asy'ariyah

Selain al-Asy'ari menganut aqidah Ahl Sunnah, ia juga mengembangkan alur argumen logis dan dialektisnya yang pernah ia dapatkan selama menjadi bagian dari Mu'tazilah. Pengembangannya ini dilakukan al-Asy'ari yang kemudian berlanjut pada pengikutnya yaitu al-Ghazali yang menjadi tumpuan kekuatan paham Asy'ariyah sebagai doktrin dalam aqidah islam kaum Sunni.

Dalam pembahasan ini, menjelaskan tentang teologi yang terpusat pada argumentasi Kalam Asy'ari yang berupaya untuk membuktikan adanya Sang Maha Pencipta yang menciptakan seluruh jagad raya dan dikatakan bahwa adanya jagad raya itu karena diciptakan dari ketiadaan. Argumen ini berkembang dan menjadi salah satu kontribusi alam pikiran islam yang paling orisional kepada pikiran umat manusia. Oleh karena itu, Ilmu Kalam memiliki karakteristik yang sangat khas dalam islam, yang menjadikan agama islam berbeda dengan agama lain mana pun. Sehingga mempengaruhi semua agama di dunia karena perkembangan Ilmu Kalam.

Meskipun paham Asy'ariyah memiliki kekuatan sampai ia menyebar di seluruh dunia yang kenyataannya banyak dianut oleh sebagian orang hingga sekarang, akan tetapi ia juga tidak lepas dari kelemahan-kelemahan. Yang menunjukkan kelemahan-kelemahannya itu ia mendapat beberapa kritikan dalam pandangannya mengenai perbuatan-perbuatan manusia bukan aktualisasi diri manusia sendiri, melainkan diciptakan oleh Tuhan. Padahal setiap yang dilakukan oleh manusia itu juga merupakan suatu usahanya. Dengan kata lain, Allah menghendaki kepada manusia atas usaha yang ia lakukan.

Selanjutnya, kritikan yang dilontarkan oleh Muhammad Abu Baki al- Baqillani (w. 1013 M), yang tidak begitu saja menerima ajaran-ajaran Asy’ari. Misalnya tentang sifat Allah dan perbuatan manusia. Menurut al-Baqillani yang tepat bukan sifat Allah, melainkan hal Allah, sesuai dengan pendapat Abu Hasyim dari Mu'tazilah. Kemudian pengikut Asy’ari lain yang juga menunjukkan penyimpangan adalah Abdul Malik al-Juwaini yang dijuluki Imam al-Haramain (419-478 H). Misalnya tentang anthropomorfisme al-Juwaini beranggapan bahwa yang disebut tangan Allah harus diartikan (ditakwilkan) sebagai kekuasaan Allah. Mata Allah harus dipahami sebagai penglihatan Allah, wajah Allah harus diartikan sebagai wujud Allah, dan seterusnya. Jadi bukan sekadar bila kaifa atau tidak seperti apapun, seperti dikatakan Asy’ari.

Mungkin selain yang tertera di atas, menurut saya mengenai paham Asy'ariyah yang mengharuskan untuk taat kepada seorang pemimpin yang tidak perduli apakah ia seorang yang baik atau jahat. Setidaknya mereka tidak bersikap seperti itu, apabila seorang pemimpin orang yang jahat maka sebaiknya tidaklah harus ditaati melainkan bersikap tegas karena hal ini akan merugikan banyak orang.

Demikian dan terima kasih.






Daftar Pustaka

Madjid, Nur Cholis. Islam dan Peradaban
Nasution, Harun. Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan. UIP. Jakarta: 1986.
http: // andaleh. blogsome. com
http: // bagustris. blogspot. com
Pandangan Pemikir Islam Tentang Ilmu Kalam

Ilmu Kalâm merupakan salah satu dari beberapa kajian keilmuan yang tumbuh dan berkembang serta telah menjadi bagian dari tradisi kajian tentang agama islam. Seperti cabang-cabang keilmuan yang telah banyak di konsumsi oleh mayoritas kaum Muslim. Jika kita melihat secara bahasa, “'ilmu kalâm” berasal dari bahasa Arab yaitu 'Ilmu adalah ma'rifah (pengetahuan) dan fahm (pemahaman). tetapi Lembaga bahasa Arab Mesir, mengartikan sebagai akumulasi persamalahan dan dasar yang menyeluruh tentang suatu pembahasan, yang dibahas dengan metode kajian tertentu, dan berakhir dengan lahirnya teori dan hukum. Sedangkan kalâm, menurut Abû Bakar al-Razî (w.478 H/1086 M) diambil dari kata kalm, yang berarti al-jurh atau cacat dan kelemahan. al-Taftazânî (w. 783 H/1391 M) juga mengemukakan dengan analisisnya bahwa lafadz kalâm dapat diinggriskan yaitu dialectic, yang berarti diskusi atau perdebatan.

Tetapi, secara terminologis ilmu kalam ini telah banyak didefinisikan oleh para Pemikir Islam seperti; Jahm bin Safwan, Washil bin 'Atha', al-Juwayni, al-Iji, dan al-Jurjani menganggap bahwa ilmu kalam sebagai disiplin ilmu yang membahas akidah islam. Sementara Ibn Khaldun (w.785 H/1364 M) mendefinisikan ilmu kalam sebagai ilmu yang berisi berbagai argumentasi teologis dan dalil-dalil rasional ('aqliyyah) serta kritik terhadap ahli bid'ah yang melakukan penyimpangan teologis dari madzhab salaf dan Ahlussunnah. Sedangkan menurut al-Mulla 'Alî al-Qari (w.997 H/1605 M) bahwa ilmu kalâm adalah ilmu-ilmu mengenai teologi keagamaan atau yang diambil dari dalil-dalil yang meyakinkan. Kelihatannya, definisi ini agak mirip dengan yang dikemukakan 'Abd. al-Fattâh yaitu ilmu yang berfungsi untuk menguatkan teologi keagamaan dengan menggunakan dalil-dalil rasional.
Berdasarkan definisi yang telah dikaji di atas, ternyata masih banyak ulama lain yang menyebutkan atau memberikan definisi dengan istilah yang berbeda-beda. Seperti Abû Hanîfah (w.150 H/787 M) yang menggunakan dengan istilah 'ilm al-fiqh al-akbar. Al-Baghdâdî (w. 429 H/1037 M) menyebutnya ushûl al-dîn. Kemudian ada juga yang mengatakan 'ilm al-tauhîd, 'ilm al-nazhar wa al-istidhlâl, dan lain sebagainya. Dari berbagai definisi itu jelaslah bahwa ilmu kalam sering di terjemahkan dengan sebutan teologi, tetapi yang sangatlah perlu untuk diperhatikan adalah, makna teologia disini tidaklah sama persis dengan teologi yang ada dalam agama Kristen, sebagai contoh misalnya: dalam pengertian teologi yang berkembang di dalam ranah agama Kristen, ilmu tentang hukum-hukum atau syari’at keagamaan akan termasuk dalam teologi. Disebabkan hal itu pula, sebagaian dari para pemikir yang menginginkan pengertian yang lebih “tepat sasaran” akan menerjemahkan ilmu kalâm dengan pengertian teologi dialektis ataupun teologi rasional, dengan begitu ilmu kalâm terlihat sebagai suatu disiplin keilmuan yang sangatlah khas Islam.

Berangkat dari sanalah, maka terdapat perbedaan pandangan ulama sejak dulu tentang keperluan disiplin ilmu kalâm dan membantu umat untuk mendekati persoalan keagamaan, terutama yang bersifat ‘aqadiyyah. Secara umum dapat dikatakan bahwa perbedaan pandangan tersebut berakar pada perbedaan ulama dalam menilai akurasi pengetahuan yang ditimbulkan oleh capaian-capaian akal atau nalar. Sebenarnya ilmu kalâm hadir karena beberapa faktor yang menyelimutinya, 'Abd. Al-Fattah menjelaskan lebih rinci mengenai faktor-faktor tersebut, di antaranya;

1. Faktor-faktor Internal; diklasifikasikan bahwa faktor-faktor intern umat Islam itu terdapat dua macam: Pertama, al- Qur'an yang di dalamnya banyak mendorong manusia agar mempunyai ilmu pengetahuan, melakukan penelitian mengenai fenomena alam, mengangkat kedudukan orang yang berilmu, membantah taqlid dalam berakidah, dan membantah akidah yang dibangun dengan spekulasi. Sedangkan yang kedua, peristiwa politik yang berawal dari fitnah besar yang terjadi setelah terbunuhnya 'Utsman bin 'Affan sehingga melahirkan konflok politik yang kemudian merembet ke dalam persoalan akidah, karena masing-masing pihak menjastifikasi kelompoknya dengan argumentasi teologis.


2. Faktor-faktor Eksternal; yang terdapat karena pengaruh futûhât (penaklukkan)yang dilakukan kaum Muslim terhadap wilayah Romawi, Persia, dan India, yang merupakan tempat lahir dan berkembangnya filsafat serta agama-agama non-Islam. Disamping itu juga karena faktor-faktor penerjemahan filsafat ke dalam bahasa Arab.

Meskipun sudah jelas mengenai awal mula munculnya ilmu kalâm, akan tetapi perbedaan pandangan tetaplah gencar. Dari ide-ide al-Qur'an di ataslah maka kelompok Mutakallimûn menciptakan dan mengembangkan sebuah ilmu tentang kebutuhan (teologi Islam) yang dikenal dengan sebutan ilmu kalâm. Tetapi secara historis dapat diketahui bahwa kaum Hanbaliah merupakan kelompok yang paling keras menolak kehadiran ilmu kalâm dalam sistem ajaran Islam. Karena pada umumnya kaum Hanbaliah melihat problematika ilmu kalâm (teologi) yang terpenting adalah terletak pada metode argumentasinya yang tidak sesuai dengan tuntutan Al-Qur’an dan Sunnah karena menggunakan metode dialektis dan rasional, yang pada dasarnya pinjaman dari luar, khususnya filsafat Yunani.

Selain itu, Imam Syafi'i berlaku kasar terhadap kalâm dan Mutakallimûn karena menurutnya Ahl kalâm itu telah terbukti membawa hasil kerja nalar yang berbahaya bagi umat. Perlakuan kasar ini juga disetujui oleh Ibn Taimiyyah yang menganggap bahwa kaum Mutakallimûn telah mengabaikan metodologi yang ditawarkan Al-Qur’an dalam menjelaskan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan ushûl al-dîn. Hal ini erat kaitannya dengan kepercayaannya bahwa Al-Qur’an meskipun tidak pantas disebut selain sebagai kalâm, mengandung ajaran yang sesungguhnya pantas di sebut ushûl al-dîn itu. Al-Qur’an dan Sunnah, menurutnya mengajukan bukti-bukti dalam berbagai bentuk dan cara, sesuai dengan kebutuhan manusia. Tetapi pandangan Ibn Taimiyyah ini merupakan tuduhan yang diberikan oleh kaum Mutakallimûn, menurut mereka.

Ulama lain yang mempunyai sikap anti kalam yang cukup ekstrim adalah Fakhr al-Dîn al-Râzi. kalâm menurutnya lebih banyak memberikan keraguan daripada kepastian. Al-Râzi ini pernah mengatakan bahwa ia telah lama melakukan perenungan yang mendalam tentang metodologi kalam dan prosedur-prosedur yang dilalui filsafat, dan ia menemukan bahwa kedua-duanya tidak pernah dapat menyembuhkan penyakit sebagaimana kedua-duanya tidak pernah dapat melepaskan lapar dan dahaga iman. Metodologi yang terbaik menurutnya adalah apa yang disodorkan oleh al-Qur’an.

Pandangan-pandangan di atas ini, disanggah oleh kaum Mutakallimûn sendiri, terutama oleh Al-Asy’ari. Menurut al-Asy’ari, Nabi Muhamamd memang tidak merumuskan ilmu kalam (teologi), tetapi dasar-dasar pemikiran dalam ilmu kalâm yang dikembangkan kaum Mutakallimûn terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah. Kaum Mutakallimûn mempunyai pandangan bahwa metode dan teori rasional-lah yang dapat menghasilkan pengetahuan yang benar, oleh karena itu mempelajarinya merupakan suatu keharusan (wajib).

Meskipun ulama-ulama tersebut di atas telah mengkritik tajam terhadap ilmu kalâm, tetapi al-Asy’ari melihat argumen-argumen yang dikemukakan oleh pengkritik kalâm adalah argumen-argumen yang tidak mempunyai dasar sama sekali. Dan ia berupaya untuk memberi sanggahan-sanggahan kepada mereka. Imam al-Zarkasyî juga melihat upaya yang dilakukan oleh kaum Mutakallimûn sebagai upaya yang positif. Ia menyatakan dengan tegas bahwa tidak ada argumen dan dalil pembagian dan pembatasan terhadap semua pengetahuan 'aqliyyah dan sam’iyyah melainkan al-Qur’an juga membicarakannya.

Mayoritas Ahl kalâm berpendapat bahwa nalar merupakan jalan untuk membuka pengetahuan, yang terdapat pengetahuan tentang ketuhanan. Sementara Abû Mâ’in dari kubu Ahl al-Sunnah berpendapat bahwa setiap orang yang sudah balligh harus sanggup membuktikan adanya Tuhan, pencipta alam semesta, melalui argumen rasional. Al-Baqillânî mendeskripsikan pandangan Al-Asy’ariah yang mewajibkan seseorang karena yang demikian itu adalah perintah syara’. Ia menyatakan bahwa yang pertama kali diwajibkan Allah atas hamba-hamba-Nya, dan berargumen secara rasional dengan bukti kekuasaan-Nya sebab Allah tidak dapat diketahui begitu saja dan tidak dapat dicapai dengan pandangan empiris. Maka tak ada salahnya jika ilmu kalâm dipelajari oleh semua kaum Muslim yang sesungguhnya ilmu kalâm menjadi bagian terpenting dalam islam.

Daftar Pustaka:

 Oliver Leaman, Ensiklopedia Tematis Islam. Buku pertama, terj. Mizan. Bandung: 2003.
 Muhammad Maghfur W. MA. Koreksi atas Kesalahan Pemikiran Kalam dan Filsafat Islam. Al-Izzah. Bangil-Jatim: 2002.
 http: //www. sinshad. blogspot.com
 http: //www. hakiy. multyply. com