Cari Blog Ini

Kamis, 28 Mei 2009

Pandangan Pemikir Islam Tentang Ilmu Kalam



Ilmu Kalâm merupakan salah satu dari beberapa kajian keilmuan yang tumbuh dan berkembang serta telah menjadi bagian dari tradisi kajian tentang agama islam. Seperti cabang-cabang keilmuan yang telah banyak di konsumsi oleh mayoritas kaum Muslim. Jika kita melihat secara bahasa, “'ilmu kalâm” berasal dari bahasa Arab yaitu 'Ilmu adalah ma'rifah (pengetahuan) dan fahm (pemahaman). tetapi Lembaga bahasa Arab Mesir, mengartikan sebagai akumulasi persamalahan dan dasar yang menyeluruh tentang suatu pembahasan, yang dibahas dengan metode kajian tertentu, dan berakhir dengan lahirnya teori dan hukum. Sedangkan kalâm, menurut Abû Bakar al-Razî (w.478 H/1086 M) diambil dari kata kalm, yang berarti al-jurh atau cacat dan kelemahan. al-Taftazânî (w. 783 H/1391 M) juga mengemukakan dengan analisisnya bahwa lafadz kalâm dapat diinggriskan yaitu dialectic, yang berarti diskusi atau perdebatan.

Tetapi, secara terminologis ilmu kalam ini telah banyak didefinisikan oleh para Pemikir Islam seperti; Jahm bin Safwan, Washil bin 'Atha', al-Juwayni, al-Iji, dan al-Jurjani menganggap bahwa ilmu kalam sebagai disiplin ilmu yang membahas akidah islam. Sementara Ibn Khaldun (w.785 H/1364 M) mendefinisikan ilmu kalam sebagai ilmu yang berisi berbagai argumentasi teologis dan dalil-dalil rasional ('aqliyyah) serta kritik terhadap ahli bid'ah yang melakukan penyimpangan teologis dari madzhab salaf dan Ahlussunnah. Sedangkan menurut al-Mulla 'Alî al-Qari (w.997 H/1605 M) bahwa ilmu kalâm adalah ilmu-ilmu mengenai teologi keagamaan atau yang diambil dari dalil-dalil yang meyakinkan. Kelihatannya, definisi ini agak mirip dengan yang dikemukakan 'Abd. al-Fattâh yaitu ilmu yang berfungsi untuk menguatkan teologi keagamaan dengan menggunakan dalil-dalil rasional.
Berdasarkan definisi yang telah dikaji di atas, ternyata masih banyak ulama lain yang menyebutkan atau memberikan definisi dengan istilah yang berbeda-beda. Seperti Abû Hanîfah (w.150 H/787 M) yang menggunakan dengan istilah 'ilm al-fiqh al-akbar. Al-Baghdâdî (w. 429 H/1037 M) menyebutnya ushûl al-dîn. Kemudian ada juga yang mengatakan 'ilm al-tauhîd, 'ilm al-nazhar wa al-istidhlâl, dan lain sebagainya. Dari berbagai definisi itu jelaslah bahwa ilmu kalam sering di terjemahkan dengan sebutan teologi, tetapi yang sangatlah perlu untuk diperhatikan adalah, makna teologia disini tidaklah sama persis dengan teologi yang ada dalam agama Kristen, sebagai contoh misalnya: dalam pengertian teologi yang berkembang di dalam ranah agama Kristen, ilmu tentang hukum-hukum atau syari’at keagamaan akan termasuk dalam teologi. Disebabkan hal itu pula, sebagaian dari para pemikir yang menginginkan pengertian yang lebih “tepat sasaran” akan menerjemahkan ilmu kalâm dengan pengertian teologi dialektis ataupun teologi rasional, dengan begitu ilmu kalâm terlihat sebagai suatu disiplin keilmuan yang sangatlah khas Islam.

Berangkat dari sanalah, maka terdapat perbedaan pandangan ulama sejak dulu tentang keperluan disiplin ilmu kalâm dan membantu umat untuk mendekati persoalan keagamaan, terutama yang bersifat ‘aqadiyyah. Secara umum dapat dikatakan bahwa perbedaan pandangan tersebut berakar pada perbedaan ulama dalam menilai akurasi pengetahuan yang ditimbulkan oleh capaian-capaian akal atau nalar. Sebenarnya ilmu kalâm hadir karena beberapa faktor yang menyelimutinya, 'Abd. Al-Fattah menjelaskan lebih rinci mengenai faktor-faktor tersebut, di antaranya;

1. Faktor-faktor Internal; diklasifikasikan bahwa faktor-faktor intern umat Islam itu terdapat dua macam: Pertama, al- Qur'an yang di dalamnya banyak mendorong manusia agar mempunyai ilmu pengetahuan, melakukan penelitian mengenai fenomena alam, mengangkat kedudukan orang yang berilmu, membantah taqlid dalam berakidah, dan membantah akidah yang dibangun dengan spekulasi. Sedangkan yang kedua, peristiwa politik yang berawal dari fitnah besar yang terjadi setelah terbunuhnya 'Utsman bin 'Affan sehingga melahirkan konflok politik yang kemudian merembet ke dalam persoalan akidah, karena masing-masing pihak menjastifikasi kelompoknya dengan argumentasi teologis.


2. Faktor-faktor Eksternal; yang terdapat karena pengaruh futûhât (penaklukkan)yang dilakukan kaum Muslim terhadap wilayah Romawi, Persia, dan India, yang merupakan tempat lahir dan berkembangnya filsafat serta agama-agama non-Islam. Disamping itu juga karena faktor-faktor penerjemahan filsafat ke dalam bahasa Arab.

Meskipun sudah jelas mengenai awal mula munculnya ilmu kalâm, akan tetapi perbedaan pandangan tetaplah gencar. Dari ide-ide al-Qur'an di ataslah maka kelompok Mutakallimûn menciptakan dan mengembangkan sebuah ilmu tentang kebutuhan (teologi Islam) yang dikenal dengan sebutan ilmu kalâm. Tetapi secara historis dapat diketahui bahwa kaum Hanbaliah merupakan kelompok yang paling keras menolak kehadiran ilmu kalâm dalam sistem ajaran Islam. Karena pada umumnya kaum Hanbaliah melihat problematika ilmu kalâm (teologi) yang terpenting adalah terletak pada metode argumentasinya yang tidak sesuai dengan tuntutan Al-Qur’an dan Sunnah karena menggunakan metode dialektis dan rasional, yang pada dasarnya pinjaman dari luar, khususnya filsafat Yunani.

Selain itu, Imam Syafi'i berlaku kasar terhadap kalâm dan Mutakallimûn karena menurutnya Ahl kalâm itu telah terbukti membawa hasil kerja nalar yang berbahaya bagi umat. Perlakuan kasar ini juga disetujui oleh Ibn Taimiyyah yang menganggap bahwa kaum Mutakallimûn telah mengabaikan metodologi yang ditawarkan Al-Qur’an dalam menjelaskan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan ushûl al-dîn. Hal ini erat kaitannya dengan kepercayaannya bahwa Al-Qur’an meskipun tidak pantas disebut selain sebagai kalâm, mengandung ajaran yang sesungguhnya pantas di sebut ushûl al-dîn itu. Al-Qur’an dan Sunnah, menurutnya mengajukan bukti-bukti dalam berbagai bentuk dan cara, sesuai dengan kebutuhan manusia. Tetapi pandangan Ibn Taimiyyah ini merupakan tuduhan yang diberikan oleh kaum Mutakallimûn, menurut mereka.

Ulama lain yang mempunyai sikap anti kalam yang cukup ekstrim adalah Fakhr al-Dîn al-Râzi. kalâm menurutnya lebih banyak memberikan keraguan daripada kepastian. Al-Râzi ini pernah mengatakan bahwa ia telah lama melakukan perenungan yang mendalam tentang metodologi kalam dan prosedur-prosedur yang dilalui filsafat, dan ia menemukan bahwa kedua-duanya tidak pernah dapat menyembuhkan penyakit sebagaimana kedua-duanya tidak pernah dapat melepaskan lapar dan dahaga iman. Metodologi yang terbaik menurutnya adalah apa yang disodorkan oleh al-Qur’an.

Pandangan-pandangan di atas ini, disanggah oleh kaum Mutakallimûn sendiri, terutama oleh Al-Asy’ari. Menurut al-Asy’ari, Nabi Muhamamd memang tidak merumuskan ilmu kalam (teologi), tetapi dasar-dasar pemikiran dalam ilmu kalâm yang dikembangkan kaum Mutakallimûn terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah. Kaum Mutakallimûn mempunyai pandangan bahwa metode dan teori rasional-lah yang dapat menghasilkan pengetahuan yang benar, oleh karena itu mempelajarinya merupakan suatu keharusan (wajib).

Meskipun ulama-ulama tersebut di atas telah mengkritik tajam terhadap ilmu kalâm, tetapi al-Asy’ari melihat argumen-argumen yang dikemukakan oleh pengkritik kalâm adalah argumen-argumen yang tidak mempunyai dasar sama sekali. Dan ia berupaya untuk memberi sanggahan-sanggahan kepada mereka. Imam al-Zarkasyî juga melihat upaya yang dilakukan oleh kaum Mutakallimûn sebagai upaya yang positif. Ia menyatakan dengan tegas bahwa tidak ada argumen dan dalil pembagian dan pembatasan terhadap semua pengetahuan 'aqliyyah dan sam’iyyah melainkan al-Qur’an juga membicarakannya.

Mayoritas Ahl kalâm berpendapat bahwa nalar merupakan jalan untuk membuka pengetahuan, yang terdapat pengetahuan tentang ketuhanan. Sementara Abû Mâ’in dari kubu Ahl al-Sunnah berpendapat bahwa setiap orang yang sudah balligh harus sanggup membuktikan adanya Tuhan, pencipta alam semesta, melalui argumen rasional. Al-Baqillânî mendeskripsikan pandangan Al-Asy’ariah yang mewajibkan seseorang karena yang demikian itu adalah perintah syara’. Ia menyatakan bahwa yang pertama kali diwajibkan Allah atas hamba-hamba-Nya, dan berargumen secara rasional dengan bukti kekuasaan-Nya sebab Allah tidak dapat diketahui begitu saja dan tidak dapat dicapai dengan pandangan empiris. Maka tak ada salahnya jika ilmu kalâm dipelajari oleh semua kaum Muslim yang sesungguhnya ilmu kalâm menjadi bagian terpenting dalam islam.

Daftar Pustaka:

 Oliver Leaman, Ensiklopedia Tematis Islam. Buku pertama, terj. Mizan. Bandung: 2003.
 Muhammad Maghfur W. MA. Koreksi atas Kesalahan Pemikiran Kalam dan Filsafat Islam. Al-Izzah. Bangil-Jatim: 2002.
KONSEP IMAN
MENURUT PAHAM MURJI'AH

Perbincangan mengenai iman berawal pada masa sepeninggalan khalifah Ustman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Di mana pada saat itu juga muncul adanya konsep kufur atau kafir yang timbulnya karena terjadi peperangan antara Ali bin Abi Thalib dengan Mu'awiyah bin Abi Sufyan. Mu'awiyah, seorang Gubernur Damaskus yang tidak setuju atas pemerintahan Ali, maka pertempuran yang terjadi ini dinamakan perang Shiffin. Ketika pasukan Ali hampir memenangi pertempuran tersebut, pembantu kanan Mu'awiyah, ‘Amr Ibn Al-‘As yang terkenal sebagai orang licik, meminta berdamai dengan mengangkat al-Quran ke atas. Qurra yang ada di pihak Ali mendesak Ali supaya menerima tawaran itu, dan dengan demikian dicarilah perdamaian dengan mengadakan pengantara (arbitrase/tahkim). Sebagai pengantara maka dilantiklah dua orang dari masing-masing pihak, yaitu ‘Amr Ibn Al-‘As dari pihak Mu'awiyah dan Abu Musa al-Asy’ari dari pihak Ali. Kesimpulan dari arbitrase tersebut adalah merugikan pihak Ali dan menguntungkan pihak Mu’awiyah, maka kemudian Mu’awiyah dengan sendirinya dianggap sebagai khalifah tidak resmi.

Sebagian dari pengikut Ali tidak setuju dengan pengantara (arbitrase) tersebut, oleh karena itu mereka meninggalkan barisan Ali. Golongan mereka inilah dalam sejarah Islam terkenal dengan nama Khawarij. Dengan demikian, gambaran dari persoalan-persoalan politik inilah akhirnya membawa kepada timbulnya persoalan teologi. Golongan Khawarij ini memandang bahwa Ali, Mu’awiyah, ‘Amr Ibn al-‘As, Abu Musa al-Asy’ari dan lain-lain yang menerima arbitrase itu adalah kafir, karena mereka semuanya tidak kembali menetapkan hukum kepada al-Quran seperti yang dimaksud firman Allah dalam surah al-Maidah ayat 44: “Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir”.

Dari ayat itulah mereka mengambil semboyan la hukma illallah karena keempat-empat pemuka Islam di atas telah dipandang kafir dalam arti bahwa mereka telah keluar dari Islam. Dan mereka mesti dibunuh. Tetapi yang dipandang kafir bukan lagi hanya orang yang melakukan dosa besar, yaitu murtakib al-kaba'ir. Persoalannya ialah, masihkah dia mukmin ataukah dia menjadi kafir karena melakukan dosa besar?

Dengan demikian, persoalan politik yang timbul inilah membawa perpecahan dikalangan umat Islam, juga membawa timbulnya persoalan siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir. Dalam persoalan pertentangan ini, timbul suatu golongan baru yang bersifat netral, yaitu golongan Murji'ah. Kaum murji'ah mulai menanggapi persoalan-persoalan teologis yang mencakup iman, kufur, dosa besar dan hukuman atas dosa. Hal ini nampaknya memicu perbedaan pendapat dikalangan para pendukung murji'ah sendiri, akhirnya kaum murji'ah pecah menjadi beberapa golongan kecil, yaitu Golongan Murji'ah Moderat yang berpendapat bahwa iman itu terdiri dari tasdiq bi al-qalb dan iqrar bi al-lisan dan golongan Murjiah Ekstrim yang berpendapat bahwa iman hanya pengakuan hati (tasdiq bi al-qalb).
Murji'ah Ekstrim mengatakan, bahwa iman hanya pengakuan atau pembenaran dalam hati (tasdiq bi al-qalb). Artinya, mengakui dengan hati bahwa tidak ada Tuhan selain Allah SWT dan Muhammad Rasul-Nya. Berangkat dari konsep ini, Murji'ah berpendapat bahwa seseorang tidak menjadi kafir karena melakukan dosa besar, bahkan mengatakan kekufurannya secara lisan. Oleh karena itu, jika seseorang telah beriman dalam hatinya, ia tetap dipandang sebagai seorang mukmin sekalipun menampakkan tingkah laku seperti Yahudi atau Nasrani.
Menurut mereka, iqrar dan amal bukanlah bagian dari iman, karena yang penting menurut mereka adalah tasdiq dalam hati. Alasannya bahwa iman dalam bahasa adalah tasdiq sedangkan perbuatan dalam bahasa tidak dinamakan tasdiq. Tasdiq itu merupakan persoalan dalam hati sedangkan perbuatan urusan anggota tubuh (al-arkam) dan di antara keduanya tidak saling mempengaruhi. Iman letaknya dalam hati dan apa yang ada dalam hati seseorang tidak diketahui manusia lain. Sedangkan perbuatan-perbuatan seseorang tidak selamanya menggambarkan apa yang ada dalam hatinya. Oleh karena itu ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan seseorang tidak mesti mengandung arti bahwa ia tidak mempunyai iman. Kredo kelompok Murji'ah Ekstrim yang terkenal adalah perbuatan maksiat tidak dapat menggugurkan keimanan sebagaimana ketaatan tidak dapat membawa kekufuran. Dapat disimpulkan bahwa Murji'ah Ekstrim memandang pelaku dosa besar tidak akan disiksa di neraka.
Sedangkan golongan Murji'ah Moderat berpendapat bahwa iman itu terdiri dari pembenaran dengan hati (tasdiq bi al-qalb) dan pernyataan dengan lisan (iqrar bi al-lisan). Pembenaran hati saja tidak cukup ataupun dengan pengakuan dengan lisan saja, maka itu tidak dapat dikatakan iman. Kedua unsur iman itu tidak dapat dipisahkan. Iman adalah kepercayaan dalam hati yang dinyatakan dengan lisan. Jadi jika pelaku dosa besar menurut mereka bukanlah kafir dan tidak kekal dalam neraka, ketika ia meninggal dunia dan belum sempat bertaubat dari dosa-dosanya maka nasibnya di akhirat terletak pada kehendak Allah, apabila Allah mengampuninya maka ia terbebas dari neraka dan masuk surga, namun jika ia tidak mendapat ampunan dari-Nya maka ia masuk neraka dan kemudian baru dimasukkan surga. Adapun orang yang berdosa kecil, dosa-dosanya akan dihapus oleh kebaikan, seperti ibadah shalat dan kewajiban-kewajiban lainnya yang dijalankannya. Oleh karena itu, dosa-dosa besar maupun dosa-dosa kecil tidak dapat membuat seseorang keluar dari iman.
Dari uraian di atas, pendapat yang dikatakan oleh Murji'ah Moderat dapat diterima oleh kaum Asy'ariyah karena pendapatnya tersebut identik dengannya dan berbeda dengan apa yang dijelaskan oleh Murji'ah Ekstrim, pendapatnya dianggap menyimpang dari norma-norma yang dipakai oleh masyarakat biasanya, terutama yang terkait dengan akhlak atau moral yang berlaku. Tampaknya ajaran yang dibawa oleh kaum Murji'ah Ekstrim hanya mementingkan iman saja, sedangkan moral dianggap kurang penting baginya. Karena itulah nama Murji'ah Ekstrim dipandang tidak baik oleh sebagian masyarakat.
Mungkin jika melihat definisi yang dijelaskan oleh Abu Hanifah mengenai iman, lebih berbeda lagi dari sebelumnya. Menurut Abu Hanifah, iman adalah pengetahuan (ma'rifah) tentang Tuhan sekaligus mengakui-Nya dan tentang Rasul serta mengakui wahyu yang dibawanya. Selain itu juga ia meyakini bahwa iman adalah sesuatu yang tidak dapat dibagi dan tidak dapat bertambah ataupun berkurang. Jelasnya, iman yang dimiliki oleh orang yang berdosa besar tidak ada bedanya dengan iman yang dimilki oleh orang yang taat menjalankan perintah-perintah Tuhan.
Tetapi jika dibandingkan dengan kaum Mu'tazilah yang dikenal kaum rasionalis Islam, mungkin karena mereka memberikan kedudukan yang tinggi kepada akal, sehingga mereka mengatakan bahwa iman itu bukan diartikan sebagai tasdiq dan bukan pula ma'rifah, tetapi iman menurut mereka adalah suatu perbuatan yang timbul setelah mengetahui Tuhan. Dengan kata lain adalah perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dalam melaksanakan perintah-perintah Tuhan. Konsep iman yang diuraikan oleh kaum Mu'tazilah ini sejalan dengan apa yang digambarkan oleh Muhammad Abduh. Di mana iman itu erat kaitannya dengan amal dan ia menjelaskan bahwa iman baginya adalah 'ilm (pengetahuan), i'tiqad (kepercayaan) atau yaqin (keyakinan). Oleh karenanya ia tidak menggambarkan iman sebagai tasdiq.
Asy'ariyah juga menegaskan bahwa iman tidak bisa diartikan sebagai ma’rifah atau amal, oleh karena itu iman bagi kaum Asy’ariyah adalah tasdiq dan memiliki batasan iman (al-tasdiqu bi Allah) yaitu menerima kebenaran khabar tentang adanya Tuhan. Tak lain juga dengan golongan Maturidiyah Bukhara, golongan ini mempunyai paham yang sama dengan Asy’ariyah yaitu iman tetap harus merupakan tasdiq. Batasan yang diberikan Al-Bazdawi tentang iman adalah menerima dalam hati dan menyatakan dengan lisan bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan tidak ada yang serupa dengan Dia.
Sedangkan golongan Maturidiyah Samarkand berpendapat bahwa iman harus berkedudukan lebih dari tasdiq, karena menurut mereka akal dapat sampai kepada kewajiban mengetahui Tuhan. Dan mengenai batasan iman dengan tasdiq hanya dapat sesuai dengan aliran Asy’ariyah dan aliran Maturidiyah Bukhara. Adapun bagi aliran Mu’tazilah dan aliran Maturidiyah Samarkand iman mestilah lebih dari tasdiq, yaitu ma’rifah dan amal.
'TAHAPAN MENUJU KEBAHAGIAAN'


1. Taubat

Kata taubat berasal dari kata tâba-yatûbu-tauban yang berarti menyesal atas perbuatan dosa atau dapat berarti pula kembali pada jalan yang benar atau kembali pada kesucian jiwa. Rasa penyesalan ini muncul setelah seseorang melakukan dosa, dan ia sadar serta mempunyai tekad untuk tidak mengulanginya lagi. Ada beberapa syarat dalam bertaubat dengan murni atau biasa disebut taubatan nasuha, di antaranya:
1. Memiliki kesadaran bahwa telah melakukan kesalahan atau berbuat dosa.
2. Menyesali perbuatan dosa yang sudah dilakukan.
3. Mampu menjauhkan diri dan meninggalkan perbuatan dosa.
4. Berjanji tidak mengulanginya lagi.

Bertaubat tidak hanya terlintas dari ucapan saja, seperti mengucapkan istighfar, akan tetapi dalam hatinya terdapat empat syarat di atas. Maka taubat seperti itulah yang disebut taubat sebenarnya dan Allah akan menerima serta mengampuni dosa-dosanya. Dalam firman-Nya yang artinya:
“Dan Dialah yang menerima taubat dari hamba-hambanya dan memaafkan kesalahan-kesalahan dan mengetahui apa yang kamu kerjakan”
“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang bertaubat dan mencintai orang-orang yang menyucikan diri”

2. Zuhud

Secara bahasa, kata zuhud berasal dari kata zahuda-yazhudu-zuhdan yang berarti tiada rasa ingin kepada sesuatu atau tidak suka kepada hal-hal yang bersifat duniawi. Sikap zuhud ini menjauhi kemewahan dunia seperti jabatan, harta, dan lain sebagainya. Zâhid adalah orang yang zuhud, yang memandang dunia sebagai sesuatu yang berubah dan akan lenyap. Orang yang zuhud akan bisa mengendalikan dunia, bahkan menjadikan dunia menjadi budaknya dan istiqamah dalam menjalani hidup untuk mencapai tujuan yaitu kehidupan ukhrawi.

Ada beberapa keadaan manusia dalam menghadapi dunia, yaitu pertama, kelompok manusia yang masuk dalam perangkap dunia dan mereka menguncinya dengan kerakusan dan kekikiran. Kedua, golongan manusia yang tidak mendapat kesenangannya di dunia sehingga mereka kecewa dan bersedih hati. Pada akhirnya mereka terjerumus dalam ketamakan dan kerakusan. Ketiga, kelompok orang yang telah mendapatkan kesenangan di dunia tetapi mereka menyimpannya untuk hari nanti jika telah hadir kemiskinan menimpa. Keempat, kelompok manusia yang dengan sengaja meninggalkan dan menyingkirkan hal-hal keduniawiaan dari pikiran serta jiwanya .

3. Wara'

Secara lughah kata wara' berasal dari wari'a-yaura'u-wara'an atau waru'a-yauru'u-warâ'atan yang artinya menjauhkan diri dari segala dosa. Di sini wara' juga berarti sikap menjauhkan diri dari hal-hal yang shubhat. Orang yang memiliki sifat wara' tidak mementingkan urusan dunia melainkan urusan akhirat, apabila ia berkehendak untuk mengambil sesuatu dunia, maka terlebih dahulu ia memikirkan akibat buruknya yang akan terjadi nantinya di hari kiamat.

Menurut Ibrâhim bin Ad-ham wara' artinya meninggalkan semua yang syubhat, sedangkan meninggalkan apa yang tidak menjadi kepentinganmu yaitu meninggalkan hal-hal sampingan (yang melebihi dari urusan). Yahya bin Mu'âdz mengakatakan, wara' mengandung arti berhenti sebatas ilmu yang dimiliki tanpa menakwilnya." Abu Sulaimân ad-Darâny mengemukakan, wara' adalah hal pertama dari zuhud sebagaimana qana'ah (rasa puasdiri)merupakanhalpertamadariridha. Sedangkan menurut Yûnus bin 'Ubaid, Wara' adalah keluar dari semua syubhat dan menghitung diri (muhasabah) dalam setiap saat. Pendapat lain mengatakan bahwa wara' adalah keluar dari hawa nafsu dan meninggalkan hal-hal yang buruk.

Wara' merupakan rasa takut atau kewaspadaan terhadap siksa Allah SWT kepada seorang hamba. Kadar ukuran wara' dapat dikatakan sebanding dengan rasa takut kepada Allah. Apabila seorang hamba rasa takutnya sedikit dengan Allah maka wara'nya pun bernilai sedikit, nilai kemulyaan pada dirinya pun hilang karena ia jatuh di mata Allah dan Allah menjatuhkannya sehingga semua makhluk menganggapnya rendah.
Dalam kitab Mukhtashar Minhâj al-Qâshidîn disebutkan, wara' memiliki empat tingkatan, yaitu:
1. Menarik diri dari setiap hal yang oleh fatwa diindikasikan haram.
2. Wara' yang setiap syubhat yang tidak wajib menjauhinya tetapi dianjurkan.
3. Wara' dari sebagian yang halal karena khawatir terjerumus ke dalam hal yang haram.
4. Wara' dari semua hal yang bukan kartena Allah.
4. Shabr

Berasal dari kata shabara-yashbiru-shabran yang artinya bersabar, tabah hati, dan berani (atas sesuatu). Shabar juga bisa diartikan konsekuen dan konsisten dalam menjalankan perintah, menjauhi larangan-Nya dan dalam menerima segala cobaan. Al-Ghazali mengatakan bahwa shabar itu memiliki dua jenis yang dilihat dari sifatnya, yakni shabar yang bersifat jasmani dan rohani. Pertama, shabar yang bersifat jasmani, yang mencakup dengan ketahanan fisik dalam menjalani semua cobaan atau penderitaan badani. Sedangkan shabar yang kedua, berisikan tentang kesiapan mental dan ketangguhan sikap dalam mengendalikan dan menaklukkan hawa nafsu. Shabar seperti inilah yang sempurna dan terpuji.

Shabar merupakan sikap teguh hati (tidak mengeluh), tabah hati (tidak gampang panik ), dan pasrah hati (tidak kehilangan keseimbangan an tidak mudah pendirian) . Dalam firman Allah yang berbunyi:
“Maka sikap shabar itu adalah sikap yang baik dan hanya Allah sajalah yang dimintai pertolongan” .
“Dan sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang shabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang mereka perbuat”
“Sesungguhnya hanya orang-orang sabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas”

5. Tawadhu'

Asal kata tawadhu' adalah tawadhdha'a-yatawadhdha'u-tawadhdua'an yang berarti tunduk kepada-Nya. Sikap tawadhu' ini menggambarkan seorang hamba yang selalu merendahkan diri dihadapan Allah dan manusia. Lawan dari tawadhu’ adalah takabbur (sombong), jadi tawadhu’ menyingkapi bahwa yang berhak sombong adalah Allah SWT. Tawadhu’ adalah ketundukan seseorang kepada kebenaran yang telah datang pada dirinya dan tidak menganggap dirinya di atas semua orang.

Dalam hal ini terdapat ayat al-Qur’an yang diperintahkan untuk tawadhu’, yaitu:
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu yaitu orang-orang yang beriman.”
Rasulullah SAW, bersabda:
“Sesungguhnya Allah telah mewahyukan kepadaku agar kalian merendahkan diri sehingga seseorang tidak menyombongkan diri atas yang lain dan tidak berbuat zhalim atas yang lain.”

6. Faqr

Faqr ialah situasi seseorang yang dalam kekurangan. Tetapi di sini faqr menunjukkan arti bahwa seorang hamba yang selalu membutuhkan pertolongan-Nya dan selalu mengharapkan limpahan rahmat dan kebesaran-Nya. Secara etimologi kata Faqr berarti kesusahan, kesedihan, kemiskinan9, yaitu orang yang tidak memiliki apa-apa pada dirinya. Kalau sesuatu ditarik dari dirinya maka ia fakir dan jika ia menolak sesuatu tersebut maka ia zahid. Menurut pemahaman Sufi kata Faqr itu ditujukan kepada orang yang memiliki ma’rifah yang paling tinggi dan kondisi mental yang tangguh serta berbudi luhur.
Al-Ghazali menyebutkan bahwa faqr adalah merupakan suatu kondisi di mana sesuatu yang dihajatkan tidak dapat dipenuhi. Idealisme Sufi tentang Faqr telah berkembang jauh, faqr sejati bukan saja jauh dari barang-barang, melainkan juga ketiadaan hasrat untuk menguasai barang.
Al-Ghazali membagi bentuk Faqr menjadi lima, yaitu :
a) Seseorang yang diberi harta sedangkan ia enggan karena benci akan kejelekannya dan khawatir akan disibukkan oleh harta tersebut., orang seperti ini di sebut Zahid
b) Seorang yang tidak senang mempunyai harta dan tidak juga membencinya serta berlaku zuhud terhadapnya, orang ini disebut Radhi ( orang yang Rela ).
c) Seseorang yang lebih suka jika memiliki harta akan tetapi ia tidak disibukkan untuk mencari harta tersebut. Jika harta itu suci dan halal maka ia menerimanya dengan gembira dan puas terhadap apa yang dimilikinya, maka ia disebut Qani’ (Orang yang Puas).
d) Seseorang yang meninggalkan harta karena kelemahannya, yang jika ia memiliki cara untuk mendapatkannya walau dengan bersusah payah, maka orang ini disebut Harish (orang yang Tamak).
e) Orang yang Fakir lantaran keadaan yang memaksa seperti orang yang lapar karena tidak punya makanan atau orang yang telanjang karena tidak memiliki pakaian, orang ini disebut Mudhthar (orang yang Terpaksa).

7. Taqwa

Taqwa adalah takut atas siksa Allah, sehingga berhati-hati dalam bersikap dan taat menjalankan perintah serta larangan-Nya. Taqwa mencerminkan kepatuhan seorang kepada Allah. Selain taqwa memiliki kedudukan yang paling istimwa dan menjadi salah satu sifat orang-orang. Dalam al-Qur'an dinyatakan bahwa tolok ukur kemuliaan dan nilai manusia terletak pada ketaqwaannya. Sebagaimana firman Allah:
”Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah ialah orang-orang yang bertaqwa..”
”Bagi orang-orang yang berbuat kebaikan di antar mereka dan yang bertaqwa adlah pahala yang besar”




8. Ridha

Kata ridha sudah cukup familiar didengar oleh telinga kita, karena kata ridha sudah diserap dari Bahasa Arab ke dalam Bahasa Indonesia yang menurut Kamus Bahasa Arab berasal dari kata radhiya-yardha yang menunjukkan arti rela. Dalam ilmu tasawuf, ridha merupakan salah satu maqam (tingkatan) batiniyah yang harus dilalui oleh orang Sufi dalam usahanya mendekatkan diri kepada Allah. Menurut para mutasawif, sikap ridha adalah tidak menentang qada dan qadar Allah, merasa senang dengan malapetaka yang menimpa dirinya karena dirasakan sebagai nikmat, tidak meminta surga atau dijauhkan dari neraka, karena cintanya kepada Allah.

Menurut Imam al-Ghazali, ridha merupakan buah dari kecintaan (mahabbah). Kalau kerinduannya terus menebal, maka tidak perlu lagi ada proses pemadatan mahabbah, karena mahabbah sudah mendarah daging. Dengan itu akan lahirlah apa yang disebut mahabbah, yaitu ridha. Ridha dengan Qada Allah. Menurut Imam Al Ghazali, ridha bukan hanya sebagai buah mahabbah, tetapi juga termasuk maqam tertinggi di kalangan muqarrabin (orang-orang yang dekat dengan Allah). Jadi dapat kita bayangkan kalau mereka sudah muqarabbin, ditambah memiliki keridhaan yang merupakan maqam tertinggi, maka wajarlah bila kadang-kadang ada sikap yang dimata orang lain yang tidak muqarabbin –sangat tidak rasional.

Hakikat keridhaan menurut al-Ghazali sangat pelik buat kebanyakan orang. Karena ketika kita memperbincangkan masalah ridha, disitu banyak keserupaandan banyak ketidak jelasan. Hakikat ridha tidak akan terungkapkan kecuali bagi orang-orang yang memang diajari oleh Allah, artinya dipahamkan ilmuagamanya. Jadi membicarakan ridha itu terkait dengan makrifatullah yangboleh jadi berdasarkan pendekatan rasional maupun pendekatan hati.

9. Mahabbah

Kata mahabbah berasal dari kata ahabba-yuhibbu-mahabatan yang berarti mencintai secara mendalam, atau kecintaan atau cinta yang mendalam . Menurut Jamil Shaliba dalam al-Mu'jam al-Falsafi, kata mahabbah adalah lawan dari al-baghd, yaitu cinta lawan dari benci. Al- mahabbah juga dapat diartikan al-wadud, yakni yang sangat kasih atau penyayang. Selain itu al-mahabbah dapat pula berarti kecenderngan kepada sesuatu yang sedang berjalan, dengan tujuan untuk memperoleh kebutuhan yang bersifat material maupun spiritual, seperti seseorang yang sedang kasmaran pada sesuatu yang dicintainya, cinta orang tuapada anaknya, seorang pada sahabatnya dan lain-lain.

Mahabbah pada tingkat selanjtunya dapat pula diartikan sebagai suatu usaha yang sungguh-sungguh dari seseorang untuk mencapai tingkat ruhaniah tertinggi dengan tercapainya gambaran yang mutlak, yaitu cinta kepada Tuhan. Kata mahabbah juga digunakan untuk menunjukkan pada suatu paham atau aliran dalam tasawuf. Dalam hal ini, mahabbah terkait sebagai objek yang lebih ditujukan pada Tuhan. Dari pengertian yang sudah dikemukakan di atas, tampaknya terdapat pengertian yang cocok dalam tasawuf, yaitu mahabbah secara ruhaniah yang artinya kecintaan yang mendalam pada Tuhan.

Menurut al-Qusyairi pengertian mahabbah dari segi tasawuf merupakan hal (keadaan) jiwa yang mulia yang bentuknya adalah disaksikannya (kemutlakkan) Allah SWT, oleh hamba, selanjutnya yang dicintainya itu yaitu juga menyatakan cinta kepada yang dikasihi-Nya dan seorang hamba yang mencintai Allah SWT . Sedangkan Harun Nasution mengatakan bahwa mahabbah adalah cinta yang dimaksud ialah cinta kepada Tuhan. Harun Nasution juga memberikan pengertian kepada mahabbah antara lain :
1. Memeluk kepatuhan pada Tuhan dan membenci sikap melawan pada-Nya.
2. Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi.
3. Mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali dari yang dikasihi, yaitu Tuhan.

Selain itu, al-Sarraj mengemukakan pengertian mahabbah dari segi tingkatannya terdapat tiga macam, yaitu mahabbah orang biasa, mahabbah orang shidiq dan mahabbah orang yang 'arif. Pertama, mahabbah orang biasa mengambil bentuk selalu mengingat Allah dengan dzikir, suka menyebut nama-nama Allah, dan memperoleh kesenangan dalam berdialog dengan Tuhan. Yang pada intinya senantiasa memuji Tuhan. Kedua, mahabbah orang shidiq adalah cinta orang yang kenal pada Tuhan, pada kebesaran-Nya, pada kekuasaan-Nya, pada ilmu-Nya dan lain-lain. Cinta yang dapat menghilangkan tabir yang memisahkan diri seorang dari Tuhan dan dengan demikian dapat melihat rahasia-rahasia yang ada pada Tuhan. Cinta tingkat kedua ini membuat orangnya sanggup menghilangkan kehendak dan sifat-sifatnya sendiri, sedang hatinya penuh denagn perasaan cinta pada Tuhan dan selalu rindu pada-Nya. Ketiga, mahabbah orang yang 'arif yaitu cinta orang yang sangat tahu pada Tuhan. Yang dilihat dan dirasa bukan lagi cinta, tetapi diri yang dicintai. Akhirnya sifat-sifat yang dicintai masuk kedalam diri yang mencintai.

10. Ma'rifat

Dari segi bahasa ma'rifah berasal dari kata 'arafa-yu'rifu-'irfatan yang artinya mengetahui atau mengenal sesuatu . Dapat pula berarti pengetahuan tentang rahasia hakikat agama, yaitu ilmu yang lebih tinggi daripada ilmu yang biasa didapati oleh orang-orang pada umumnya . Ma'rifat dalah pengetahuan yang obyeknya bukan pada hal-hal yang bersifat dzahir, tetapi lebih mendalam terhadap batinnya dengan mengetahui rahasianya. Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa akal manusia sanggup mengetahui hakikat ketuhanan, hakikat itu satu, dan segala yang maujud berasal dari yang satu.
Al-Kalabazi mengatakan bahwa ma'rifah ini digunakan untuk menunjukkan pada salah satu tingkatan dalam tasawuf dan diartikan sebagai pengetahuan mengenai Tuhan melalui hati sanubari. Sedangkan menurut Harun Nasution ma'rifah itu menggambarkan hubungan rapat dalam bentuk gnosis, pengetahuan dengan hati sanubari . Berarti ma'rifat mengetahui Tuhan dari dekat, sehingga hati-sanubari dapat melihat Tuhan. Dari sinilah, para sufi mengatakan:
1 Apabila mata yang terdapat dalam hati sanubari manusia terbuka, mata kepalanya akan tertutup, dan ketika itu yang dilihatnya adalah Allah.
2 Ma'rifat adalah cermin, jika seorang 'arif melihat ke cermin itu, yang akan dilihatnya hanyalah Allah.
3 Yang dilihat seorang 'arif baik sewaktu tidur maupun sewaktu bangun hanya Allah.
4 Ma'rifat membuat semua yang melihatnya akan mati karena kecantikan dan keindahannya serta semua cahaya akan menjadi gelap disamping cahaya keindahan yang gilang-gemilang.

Dari beberapa definisi di atas, dapat diketahui bahwa ma'rifah adalah mengatahui rahasia-rahasia Tuhan dengan menggunakan hati sanubari. Dengan demikian, tujuan yang akan dicapai oleh ma'rifah adalah mengetahui rahasia-rahasia yang terdapat dalam diri Tuhan. Melihat ma'rifah ini juga terdapat beberapa pandangan yang terkadang dianggap sebagai maqam dan sebagai hal. Dalam pandangan al-Junaidi (w.381 H), ma'rifah dianggap sebagai hal, sedangkan dalam Risalah al-Qusyairi, ma'rifah dianggap sebagai maqam. Selain itu, menurut al-Ghazali dalam Ihya' Ulum al-Din ma'rifah datang sebelum mahabbah, sedangkan al-Kalabazi mengatakan setelah mahabbah. Dan al-Kalabazi ini menjelaskan ma'rifah lebih menacu pada pengetahuan dan mahabbah menggambarkan kecintaan.

11. Tawakkal
Tawakkal secara etimologi berasal dari kata tawakkala-yatawakkalu-tawakkulan yang berarti pasrah atau Tawakkal adalah kesungguhan hati kepasrahan dalam bersandar kepada Allah Ta’ala untuk mendapatkan kemaslahatan serta mencegah bahaya, baik menyangkut urusan dunia maupun akhirat. Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan barangsiapa bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia akan jadikan baginya jalan keluar dan memberi rizqi dari arah yang tiada ia sangka-sangka, dan barangsiapa bertawakkal kepada Allah, maka Dia itu cukup baginya.” .
Banyak di antara para ulama yang telah menjelaskan makna Tawakkal, diantaranya adalah Al-Allamah Al-Munawi. Beliau mengatakan, “Tawakkal adalah menampakkan kelemahan serta penyandaran (diri) kepada yang diTawakkali.” . Ibnu ‘Abbas mengatakan bahwa Tawakkal bermakna percaya sepenuhnya kepada Allah Ta’ala. Imam Ahmad mengatakan, “Tawakkal berarti memutuskan pencarian disertai keputus-asaan terhadap makhluk.” Al Hasan Al Bashri pernah ditanya tentang Tawakkal, maka beliau menjawab, “Ridho kepada Allah Ta’ala”, Ibnu Rojab Al Hanbali mengatakan, “Tawakkal adalah bersandarnya hati dengan sebenarnya kepada Allah Ta’ala dalam memperoleh kemashlahatan dan menolak bahaya, baik urusan dunia maupun akhirat secara keseluruhan.” Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan, “Tawakkal yaitu memalingkan pandangan dari berbagai sebab setelah sebab disiapkan.”




Daftar Pustaka:
 Kafie, KH. Jamaluddin, Tasawuf Komtemporer. Republika. Jakarta: 2003.
 Siregar, Prof. H. A. Rivay, Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisma. RajawaliPers. Jakarta: 2002.
 Amini, Ibarahim, Risalah Tasawuf. Al-Huda. Jakarta: 2002

Senin, 06 April 2009

KEKUATAN DAN KELEMAHAN
PAHAM ASY'ARIYAH
SEBAGAI DOKTRIN AQIDAH ISLAM


A. Latar Belakang Asy'ariyah

Asy`ariyah adalah sebuah paham aqidah yang dinisbatkan kepada Abû al-Hasan 'Alî al-Asy`arî. Beliau lahir di Bashrah, Iraq tahun 260 Hijriyah bertepatan dengan tahun 873 Masehi. Beliau wafat pada tahun 324 H / 935 M. Beliau hadir sekitar satu abad setelah imam al-Syâfi'î, atau setengah abad setelah al-Bukhari.

Awalnya al-Asy`arî pernah belajar kepada Al-Jubba`i, seorang tokoh dan guru dari kalangan Mu`tazilah. Sehingga untuk sementara waktu, al-Asy`arî menjadi penganut Mu`tazilî, sampai tahun 300 H. Namun setelah beliau mendalami paham Mu`tazilah hingga berusia 40 tahun, terjadilah debat panjang antara dia dan gurunya, Al-Jubba`i dalam berbagai masalah terutama masalah Kalam. Debat itu membuatnya tidak puas dengan konsep Mu`tazilah dan beliau pun keluar dari paham itu dan bergabung dengan paham kaum Hadits (Ahl al-Hadits/Ahl as-sunnah) yang dipelopori oleh kaum Hanbalî dan yang bertindak sebagai pemegang bendera ortodoksi atau sunni.

Namun, tidak menutup kemungkinan jika al-Asy`arî masih memegang metode logis dan dialektis yang sekarang akan berbalik untuk membela paham Ahl al-Hadits. Pada umumnya, kaum Hadits masih mencurigakan metodologi yang digunakan oleh al-Asy`arî sehingga dalam diri al-Asy`arî merasa bahwa ia perlu membela diri dengan risalahnya yaitu Istihsân al-Khawdl fi 'ilm al-Kalâm (Anjuran untuk mendalami ilmu Kalâm).

Al-Asy`ariyah membuat sistem hujjah yang dibangun berdasarkan perpaduan antara dalil nash (naql) dan dalil logika (`aql). Dengan itu belaiu berhasil memukul telak hujjah para pendukung Mu`tazilah yang selama ini mengacak-acak eksistensi Ahl al-Hadits. Bisa dikatakan, sejak berdirinya aliran Asy`ariyah, Mu`tazilah berhasil dilemahkan dan dijauhkan dari kekuasaan. Setelah sebelumnya sangat berkuasa dan melakukan penindasan terhadap lawan-lawan debatnya termasuk di dalamnya Imam Ahmad bin Hanbal.

Kemampuan Asy`ariyah dalam memukul Mu`tazilah bisa dimaklumi karena sebelumnya Al-Asy`ari pernah berguru kepada mereka. Beliau paham betul lika-liku logika Mu`tazilah dan dengan mudah menguasai titik-titik lemahnya. Meski awalnya kalangan Ahl al-Hadits sempat menaruh curiga kepada beliau dan pahamnya, namun setelah keberhasilannya memukul Mu`tazilah dan komitmennya kepada aqidah Ahl al-Hadits atau yang sekarang ini terkenal dengan sebutan ahlus sunnah wal jama'ah.

B. Inti Pokok Paham Asy'ariyah

Pada dasarnya, inti pokok paham Asy'ariyah adalah Sunnisme. Dalam hal ini, al-Asy`arî menuturkan bahwa ia mendukung dan menganut paham Ahl al-Hadits. Maka ada beberapa hal yang dianut oleh para pendukung Hadits dan Sunnah yaitu mengakui adanya Allah, para malaikat, kitab-kitab, rasul-rasul, segala apa yang datang dari Allah dan apa yang disampaikan oleh Rasulullah SAW, percaya terhadap Qadha dan Qadar Allah, dan mempercayai adanya Dajjal. Selain itu, juga mengharuskan untuk taat kepada imam atau pemimpin dan tidak memerdulikan pemimpin itu orang baik atau orang jahat.

Adapun pandangan-pandangan Asy'ariyah yang agaknya berbeda dengan Mu'tazilah, di antaranya ialah:
1. Tentang Tuhan, bahwa Allah adalah Tuhan Yang Maha Esa. Allah berada di atas 'Arsy (Singgasana) dan Allah satu-satunya yang menciptakan segala sesuatu di bumi serta pemilik ilmu (pengetahuan). Allah dapat dilihat nantinya di akhirat, memiliki sifat-sifat seperti berkuasa, melihat, mendengar dan lai-lain.
2. Tentang al-Qur'an, yang merupakan Kalami Ilahi yang bukan makhluk dan bersifat Qadim.
3. Tentang Manusia, kebaikan dan keburukan yang dilakukan oleh manusia itu merupakan kehendak dari-Nya maka semua perilaku mereka diciptakan oleh-Nya.
4. Tentang pelaku dosa besar, bahwa seorang mukmin yang berdosa besar tidak pasti dihukumi masuk neraka dan tidak dikatakan kafir atau keluar dari keislamannya, karena Allah Maha Menerima Taubat dan Maha pengampun. Oleh karena itu, Asy'ariyah menolak konsep tentang posisi tengah (manzilah bainal manzilataini), sebab tidak mungkin pada diri seseorang tidak ada iman dan sekaligus tidak ada kafir. Harus dibedakan antara iman, kafir, dan perbuatan.
5. Tentang anthropomorphisme, bahwa Allah mempunyai mata, tangan, mata dan sebagainya yang tidak dapat dikatakan bagaimana.

Selain yang tertera di atas, paham Asy'ariyah ini menentang paham keadilan Tuhan yang di bawa oleh kaum Mu'tazilah. Menurutnya, keadilan Tuhan terletak pada keyakinan bahwa Tuhan berkuasa mutlak dan berkehendak mutlak. Apa pun yang dilakukan Allah adalah adil. Dengan demikian ia tidak setuju dengan konsep janji dan ancaman (al-wa’d wa al-wa’id).

C. Alur Argumen Kalam Asy'ariyah

Selain al-Asy'ari menganut aqidah Ahl Sunnah, ia juga mengembangkan alur argumen logis dan dialektisnya yang pernah ia dapatkan selama menjadi bagian dari Mu'tazilah. Pengembangannya ini dilakukan al-Asy'ari yang kemudian berlanjut pada pengikutnya yaitu al-Ghazali yang menjadi tumpuan kekuatan paham Asy'ariyah sebagai doktrin dalam aqidah islam kaum Sunni.

Dalam pembahasan ini, menjelaskan tentang teologi yang terpusat pada argumentasi Kalam Asy'ari yang berupaya untuk membuktikan adanya Sang Maha Pencipta yang menciptakan seluruh jagad raya dan dikatakan bahwa adanya jagad raya itu karena diciptakan dari ketiadaan. Argumen ini berkembang dan menjadi salah satu kontribusi alam pikiran islam yang paling orisional kepada pikiran umat manusia. Oleh karena itu, Ilmu Kalam memiliki karakteristik yang sangat khas dalam islam, yang menjadikan agama islam berbeda dengan agama lain mana pun. Sehingga mempengaruhi semua agama di dunia karena perkembangan Ilmu Kalam.

Meskipun paham Asy'ariyah memiliki kekuatan sampai ia menyebar di seluruh dunia yang kenyataannya banyak dianut oleh sebagian orang hingga sekarang, akan tetapi ia juga tidak lepas dari kelemahan-kelemahan. Yang menunjukkan kelemahan-kelemahannya itu ia mendapat beberapa kritikan dalam pandangannya mengenai perbuatan-perbuatan manusia bukan aktualisasi diri manusia sendiri, melainkan diciptakan oleh Tuhan. Padahal setiap yang dilakukan oleh manusia itu juga merupakan suatu usahanya. Dengan kata lain, Allah menghendaki kepada manusia atas usaha yang ia lakukan.

Selanjutnya, kritikan yang dilontarkan oleh Muhammad Abu Baki al- Baqillani (w. 1013 M), yang tidak begitu saja menerima ajaran-ajaran Asy’ari. Misalnya tentang sifat Allah dan perbuatan manusia. Menurut al-Baqillani yang tepat bukan sifat Allah, melainkan hal Allah, sesuai dengan pendapat Abu Hasyim dari Mu'tazilah. Kemudian pengikut Asy’ari lain yang juga menunjukkan penyimpangan adalah Abdul Malik al-Juwaini yang dijuluki Imam al-Haramain (419-478 H). Misalnya tentang anthropomorfisme al-Juwaini beranggapan bahwa yang disebut tangan Allah harus diartikan (ditakwilkan) sebagai kekuasaan Allah. Mata Allah harus dipahami sebagai penglihatan Allah, wajah Allah harus diartikan sebagai wujud Allah, dan seterusnya. Jadi bukan sekadar bila kaifa atau tidak seperti apapun, seperti dikatakan Asy’ari.

Mungkin selain yang tertera di atas, menurut saya mengenai paham Asy'ariyah yang mengharuskan untuk taat kepada seorang pemimpin yang tidak perduli apakah ia seorang yang baik atau jahat. Setidaknya mereka tidak bersikap seperti itu, apabila seorang pemimpin orang yang jahat maka sebaiknya tidaklah harus ditaati melainkan bersikap tegas karena hal ini akan merugikan banyak orang.

Demikian dan terima kasih.






Daftar Pustaka

Madjid, Nur Cholis. Islam dan Peradaban
Nasution, Harun. Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan. UIP. Jakarta: 1986.
http: // andaleh. blogsome. com
http: // bagustris. blogspot. com
Pandangan Pemikir Islam Tentang Ilmu Kalam

Ilmu Kalâm merupakan salah satu dari beberapa kajian keilmuan yang tumbuh dan berkembang serta telah menjadi bagian dari tradisi kajian tentang agama islam. Seperti cabang-cabang keilmuan yang telah banyak di konsumsi oleh mayoritas kaum Muslim. Jika kita melihat secara bahasa, “'ilmu kalâm” berasal dari bahasa Arab yaitu 'Ilmu adalah ma'rifah (pengetahuan) dan fahm (pemahaman). tetapi Lembaga bahasa Arab Mesir, mengartikan sebagai akumulasi persamalahan dan dasar yang menyeluruh tentang suatu pembahasan, yang dibahas dengan metode kajian tertentu, dan berakhir dengan lahirnya teori dan hukum. Sedangkan kalâm, menurut Abû Bakar al-Razî (w.478 H/1086 M) diambil dari kata kalm, yang berarti al-jurh atau cacat dan kelemahan. al-Taftazânî (w. 783 H/1391 M) juga mengemukakan dengan analisisnya bahwa lafadz kalâm dapat diinggriskan yaitu dialectic, yang berarti diskusi atau perdebatan.

Tetapi, secara terminologis ilmu kalam ini telah banyak didefinisikan oleh para Pemikir Islam seperti; Jahm bin Safwan, Washil bin 'Atha', al-Juwayni, al-Iji, dan al-Jurjani menganggap bahwa ilmu kalam sebagai disiplin ilmu yang membahas akidah islam. Sementara Ibn Khaldun (w.785 H/1364 M) mendefinisikan ilmu kalam sebagai ilmu yang berisi berbagai argumentasi teologis dan dalil-dalil rasional ('aqliyyah) serta kritik terhadap ahli bid'ah yang melakukan penyimpangan teologis dari madzhab salaf dan Ahlussunnah. Sedangkan menurut al-Mulla 'Alî al-Qari (w.997 H/1605 M) bahwa ilmu kalâm adalah ilmu-ilmu mengenai teologi keagamaan atau yang diambil dari dalil-dalil yang meyakinkan. Kelihatannya, definisi ini agak mirip dengan yang dikemukakan 'Abd. al-Fattâh yaitu ilmu yang berfungsi untuk menguatkan teologi keagamaan dengan menggunakan dalil-dalil rasional.
Berdasarkan definisi yang telah dikaji di atas, ternyata masih banyak ulama lain yang menyebutkan atau memberikan definisi dengan istilah yang berbeda-beda. Seperti Abû Hanîfah (w.150 H/787 M) yang menggunakan dengan istilah 'ilm al-fiqh al-akbar. Al-Baghdâdî (w. 429 H/1037 M) menyebutnya ushûl al-dîn. Kemudian ada juga yang mengatakan 'ilm al-tauhîd, 'ilm al-nazhar wa al-istidhlâl, dan lain sebagainya. Dari berbagai definisi itu jelaslah bahwa ilmu kalam sering di terjemahkan dengan sebutan teologi, tetapi yang sangatlah perlu untuk diperhatikan adalah, makna teologia disini tidaklah sama persis dengan teologi yang ada dalam agama Kristen, sebagai contoh misalnya: dalam pengertian teologi yang berkembang di dalam ranah agama Kristen, ilmu tentang hukum-hukum atau syari’at keagamaan akan termasuk dalam teologi. Disebabkan hal itu pula, sebagaian dari para pemikir yang menginginkan pengertian yang lebih “tepat sasaran” akan menerjemahkan ilmu kalâm dengan pengertian teologi dialektis ataupun teologi rasional, dengan begitu ilmu kalâm terlihat sebagai suatu disiplin keilmuan yang sangatlah khas Islam.

Berangkat dari sanalah, maka terdapat perbedaan pandangan ulama sejak dulu tentang keperluan disiplin ilmu kalâm dan membantu umat untuk mendekati persoalan keagamaan, terutama yang bersifat ‘aqadiyyah. Secara umum dapat dikatakan bahwa perbedaan pandangan tersebut berakar pada perbedaan ulama dalam menilai akurasi pengetahuan yang ditimbulkan oleh capaian-capaian akal atau nalar. Sebenarnya ilmu kalâm hadir karena beberapa faktor yang menyelimutinya, 'Abd. Al-Fattah menjelaskan lebih rinci mengenai faktor-faktor tersebut, di antaranya;

1. Faktor-faktor Internal; diklasifikasikan bahwa faktor-faktor intern umat Islam itu terdapat dua macam: Pertama, al- Qur'an yang di dalamnya banyak mendorong manusia agar mempunyai ilmu pengetahuan, melakukan penelitian mengenai fenomena alam, mengangkat kedudukan orang yang berilmu, membantah taqlid dalam berakidah, dan membantah akidah yang dibangun dengan spekulasi. Sedangkan yang kedua, peristiwa politik yang berawal dari fitnah besar yang terjadi setelah terbunuhnya 'Utsman bin 'Affan sehingga melahirkan konflok politik yang kemudian merembet ke dalam persoalan akidah, karena masing-masing pihak menjastifikasi kelompoknya dengan argumentasi teologis.


2. Faktor-faktor Eksternal; yang terdapat karena pengaruh futûhât (penaklukkan)yang dilakukan kaum Muslim terhadap wilayah Romawi, Persia, dan India, yang merupakan tempat lahir dan berkembangnya filsafat serta agama-agama non-Islam. Disamping itu juga karena faktor-faktor penerjemahan filsafat ke dalam bahasa Arab.

Meskipun sudah jelas mengenai awal mula munculnya ilmu kalâm, akan tetapi perbedaan pandangan tetaplah gencar. Dari ide-ide al-Qur'an di ataslah maka kelompok Mutakallimûn menciptakan dan mengembangkan sebuah ilmu tentang kebutuhan (teologi Islam) yang dikenal dengan sebutan ilmu kalâm. Tetapi secara historis dapat diketahui bahwa kaum Hanbaliah merupakan kelompok yang paling keras menolak kehadiran ilmu kalâm dalam sistem ajaran Islam. Karena pada umumnya kaum Hanbaliah melihat problematika ilmu kalâm (teologi) yang terpenting adalah terletak pada metode argumentasinya yang tidak sesuai dengan tuntutan Al-Qur’an dan Sunnah karena menggunakan metode dialektis dan rasional, yang pada dasarnya pinjaman dari luar, khususnya filsafat Yunani.

Selain itu, Imam Syafi'i berlaku kasar terhadap kalâm dan Mutakallimûn karena menurutnya Ahl kalâm itu telah terbukti membawa hasil kerja nalar yang berbahaya bagi umat. Perlakuan kasar ini juga disetujui oleh Ibn Taimiyyah yang menganggap bahwa kaum Mutakallimûn telah mengabaikan metodologi yang ditawarkan Al-Qur’an dalam menjelaskan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan ushûl al-dîn. Hal ini erat kaitannya dengan kepercayaannya bahwa Al-Qur’an meskipun tidak pantas disebut selain sebagai kalâm, mengandung ajaran yang sesungguhnya pantas di sebut ushûl al-dîn itu. Al-Qur’an dan Sunnah, menurutnya mengajukan bukti-bukti dalam berbagai bentuk dan cara, sesuai dengan kebutuhan manusia. Tetapi pandangan Ibn Taimiyyah ini merupakan tuduhan yang diberikan oleh kaum Mutakallimûn, menurut mereka.

Ulama lain yang mempunyai sikap anti kalam yang cukup ekstrim adalah Fakhr al-Dîn al-Râzi. kalâm menurutnya lebih banyak memberikan keraguan daripada kepastian. Al-Râzi ini pernah mengatakan bahwa ia telah lama melakukan perenungan yang mendalam tentang metodologi kalam dan prosedur-prosedur yang dilalui filsafat, dan ia menemukan bahwa kedua-duanya tidak pernah dapat menyembuhkan penyakit sebagaimana kedua-duanya tidak pernah dapat melepaskan lapar dan dahaga iman. Metodologi yang terbaik menurutnya adalah apa yang disodorkan oleh al-Qur’an.

Pandangan-pandangan di atas ini, disanggah oleh kaum Mutakallimûn sendiri, terutama oleh Al-Asy’ari. Menurut al-Asy’ari, Nabi Muhamamd memang tidak merumuskan ilmu kalam (teologi), tetapi dasar-dasar pemikiran dalam ilmu kalâm yang dikembangkan kaum Mutakallimûn terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah. Kaum Mutakallimûn mempunyai pandangan bahwa metode dan teori rasional-lah yang dapat menghasilkan pengetahuan yang benar, oleh karena itu mempelajarinya merupakan suatu keharusan (wajib).

Meskipun ulama-ulama tersebut di atas telah mengkritik tajam terhadap ilmu kalâm, tetapi al-Asy’ari melihat argumen-argumen yang dikemukakan oleh pengkritik kalâm adalah argumen-argumen yang tidak mempunyai dasar sama sekali. Dan ia berupaya untuk memberi sanggahan-sanggahan kepada mereka. Imam al-Zarkasyî juga melihat upaya yang dilakukan oleh kaum Mutakallimûn sebagai upaya yang positif. Ia menyatakan dengan tegas bahwa tidak ada argumen dan dalil pembagian dan pembatasan terhadap semua pengetahuan 'aqliyyah dan sam’iyyah melainkan al-Qur’an juga membicarakannya.

Mayoritas Ahl kalâm berpendapat bahwa nalar merupakan jalan untuk membuka pengetahuan, yang terdapat pengetahuan tentang ketuhanan. Sementara Abû Mâ’in dari kubu Ahl al-Sunnah berpendapat bahwa setiap orang yang sudah balligh harus sanggup membuktikan adanya Tuhan, pencipta alam semesta, melalui argumen rasional. Al-Baqillânî mendeskripsikan pandangan Al-Asy’ariah yang mewajibkan seseorang karena yang demikian itu adalah perintah syara’. Ia menyatakan bahwa yang pertama kali diwajibkan Allah atas hamba-hamba-Nya, dan berargumen secara rasional dengan bukti kekuasaan-Nya sebab Allah tidak dapat diketahui begitu saja dan tidak dapat dicapai dengan pandangan empiris. Maka tak ada salahnya jika ilmu kalâm dipelajari oleh semua kaum Muslim yang sesungguhnya ilmu kalâm menjadi bagian terpenting dalam islam.

Daftar Pustaka:

 Oliver Leaman, Ensiklopedia Tematis Islam. Buku pertama, terj. Mizan. Bandung: 2003.
 Muhammad Maghfur W. MA. Koreksi atas Kesalahan Pemikiran Kalam dan Filsafat Islam. Al-Izzah. Bangil-Jatim: 2002.
 http: //www. sinshad. blogspot.com
 http: //www. hakiy. multyply. com
TASAWUF

A. Latar Belakang Tasawuf
Berawal dari abad 7 M, di wilayah Arab terdapat sebuah masyarakat yang terpecah-belah, yang selama beberapa abad lamanya telah mengalami perkembangan dalam tradisi yang mapan berupa peperangan, paganisme dan nilai-nilai kesukuan lainnya. Meskipun pada masa itu bangsa Arab telah melakukan aktivitas perniagaan diluar wilayah Arab, namun mereka tidak begitu banyak dipengaruhi oleh budaya lain.
Setelah beberapa lamanya mengalami zaman kehancuran, atau disebut zaman Jahiliyah. Tiba-tiba sebuah “cahaya nubuwat” yang mengagumkan hadir dihadapan mereka. Cahaya ini pertama-tama menyingkap dan menghancurkan sifat kebinatangan dan ketidakadilan dalam masyarakat tersebut. Manusia yang luar biasa, membawa cahaya baru dari pengetahuan ini adalah Nabi Muhammad SAW.
Dalam waktu 23 tahun, Nabi Muhammad SAW mengajarkan kebenaran abadi yaitu bahwa manusia dilahirkan ke dunia ini demi mempelajari jalannya penciptaan seraya akan kembali pada sumbernya, Maha Pencipta Yang Satu. Beliau berhasil membawa mereka pada jalan yang benar, meskipun dalam meraihnya penuh dengan penderitaan. Mereka dapat menerima ajarannya dan penjelasan tentang ayat-ayat Al-qur’an yang diwahyukan kepadanya. Mereka menyembah Allah dan mengikuti Nabi yang hidup penuh dengan pengetahuan dan kecintaan kepada Allah.
Ketika Nabi Muhammad wafat, umat islam mengalami keguncangan yang sangat, yang berakhir dengan pemilihan Abu Bakar sebagai khalifah pertama umat islam. Masa kepemimpinannya yang berlangsung selama 2 tahun ini penuh dengan perselisihan internal. Di mana mentalitas orang Arab yang sama sekali tidak suka ditindas, sebab mereka memiliki mental jiwa yang tidak bisa terikat. Salah satu menurut mereka untuk menindas adalah pemungutan pajak.
Pembayaran zakat, yang diwajibkan Abu Bakar oleh mereka dipahami sebagai penindasan yang tidak disukai mereka. Akhirnya, periode kepemimpinan Abu Bakar sebagian besar dihabiskan untuk menyelesaikan perselisihan internal. Abu bakar wafat, maka Umar diangkat sebagai khalifah selanjutnya. Pada masa kepemimpinannya terjadi ekspansi islam yang begitu luas, di antaranya; Mesir,Persia dan Kerajaan Byzantium dapat ditaklukkan. Umar yang terkenal dengan kesederhanaannya dan tidak bermewah-mewahan. Beliau wafat ditikam oleh seorang budak Persia ketika sedang melaksanakan shalat di masjid.
Kemudian dilanjutkan oleh khalifah ustman, pada periode itu banyak istana yang dibangun dan orang-orang mulai berlomba-lomba dalam membangun gedung-gedung yang megah. Setelah ustman terbunuh maka diteruskan oleh Ali bin Abi Thalib. Pada masa itu, banyak orang-orang yang mengaku sebagai seorang muslim, tetapi tidak sepenuhnya mengetahui atau mempraktikkan jalan hidup (way of live) Nabi.
Masa kepemimpinan terus berjalan dan berganti, yang pada akhirnya masuk masa kekuasaan dinasti Umayyah yang korup ini, penaklukan-penaklukan terus berlangsung dan orang-orang yang masuk islam semakin bertambah. Akan tetapi secara umum sebagian besar penguasa itu adalah tiran dan berorientasi duniawiyah, meskipun terdapat orang islam yang tulus dan arif yang memahami serta melaksanakan ajaran islam, tetapi secara aktual mereka dihalangi oleh haus akan kekuasaan dan kekayaan.
Maka, pada 750 H muncullah dinasti lainnya dan dalam tahun-tahun berikutnya keadaan menjadi lebih memburuk, hal yang lumrah bagi seorang raja yang membunuh keluarganya demi memperebutkan kekuasaan atau untuk memposisikan dirinya dari rival lain. Sebagai contoh, Al-Ma’mun membunuh saudara laki-lakinya Al-Amin, yang menjadi rival dalam perebutan dinasti ‘Abasyiyah. Beberapa perempuan yang terlibat dalam tipu daya mereka dari balik layar, dan para raja yang bercita-cita menjadi kaisar dan hidup dalam kemewahan dan kesenangan.
Keadaan-keadaan yang penuh dengan kekacauan politik dan ketegangan sosial seperti itulah yang menyebabkan muncul para sufi yang dalam perjalanan kehidupannya lebih mengkhususkan diri untuk beribadah dan pengembangan kehidupan rohaniah dengan mengabaikan kenikmatan duniawi. Pola hidup seperti itulah yang dapat merubah kehancuran yang telah terjadi dan kesalehan yang merupakan awal pertumbuhan tasawuf yang kemudian berkembang dengan pesatnya. Dari aspek ini, tasawuf didefinisikan sebagai upaya memahami hakikat Allah seraya melupakan segala sesuatu yang berkaitan dengan kesenangan duniawi. Definisi lain mengatakan, bahwa tasawuf adalah usaha mengisi hati dengan hanya ingat kepada Allah, yang merupakan landasan lahirnya ajaran al-hubb atau cinta ilahi.
A. Pengertian Taqlid

Secara bahasa, taqlid berarti rantai atau sesuatu yang diikatkan pada leher. Menurut istilah Hukum Islam, ialah mengikuti pendapat seorang Faqih, ata seorang imam, tanpa mengetahui dalil atau sumber hukumnya. Sedangkan menurut istilah ushul fiqh, taqlid diartikan sebagai menirukan orang lain dalam melakukan atau meninggalkan sesuatu. Seperti mengusap sebagian kepala saat wudhu dengan mengikuti Imam Syafi'i dan tidak membaca surah al-Fatihah dalam shalat ketika menjadi seorang ma'mum karena mengikuti Imam Abu Hanifah, dan lain sebagainya.

Berdasarkan definisi di atas, ternyata muncul berbagai pendapat mengenai taqlid, di antaranya yaitu:
1. Definisi taqlid menurut Saifuddin Abul Hasan Ali al-Amidi dalam Ahkamul Ahkam: “Mengamalkan pendapat orang lain tanpa argumentasi yang mantap”.
2. Ibnu Hummam dalam Tahrir: “Mengamalkan pendapat orang yang perkataannya tidak termasuk sebagai hujjah (argumentasi), atau tanpa hujjah”.
3. Menurut Imam Syaukani dalam Irsyadul Fuhul: “Menerima pendapat atau ucapan orang, sementara engkau sendiri tidak mengetahui dari mana datangnya ucapannya itu”.

Demikianlah definisi yang biasa kita kenal. Dan dalam hal ini, para ulama berbeda pendapat mengenai boleh tidaknya bertaqlid pada masalah-masalah hukum. Jumhur ulama tidak membolehkannya secara mutlak, karena supaya setiap orang Muslim berusaha mengetahui hukum Allah beserta dalil atau sumbernya. Sedangkan sebagian ulama mewajibkan secara mutlak dan sebagian ulama lain merinci, yaitu wajib atas orang awam untuk bertaqlid karena ia harus mengetahui hukum-hukum agama dan tidak harus mengetahui dalil-dalilnya. Kemudian taqlid yang diharamkan bagi mujtahid karena sudah memiliki kompetensi ijtihad.

Kewajiban bertaqlid bagi orang awam ini diperkuat dalam firman Allah QS.an-Nahl ayat 43:
Fas alû ahladzdzikri in kuntum lâ ta'lamûn
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai kemampuan, jika kamu semua tidak mengetahuinya”. (QS. an-Nahl: 43)
Ayat di atas merupakan perintah untuk bertanya yang bersifat umum bagi setiap individu, mengenai bahan yang dipertanyakan dan meliputi apapun yang tidak tahu.

B. Bentuk-bentuk Taqlid

Secara garis besar bentuk taqlid terbagi atas:
1. Taqlid Syakhsyi

Taqlid Syakhsyi ialah mengikuti kepada pribadi seseorang, yang menjadi sosok utama dan yang dikehendaki oleh al-Qur'an adalah Nabi Muhammad SAW. Allah SWT telah menjadikan beliau sebagai panutan untuk diikuti (ditaati) ajaran dan perilakunya bagi umat Muslim. Ini merupakan keharusan bagi semua orang mukmin di dunia untuk bertaqlid kepadanya. Dalam firman-Nya:
Laqad kâna lakum fî rasûlillâhi usawatun hasanatul liman kâna yarjullâha walyaumal âkhira wadzakarallâha katsîrâ.
“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharapkan (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyabut nama Allah”. (QS. Al-Ahzab: 21)
Innaka laminal mursalîn. 'Alâ shirâtin mustaqîm.
“Sesungguhnya kamu salah seorang dari Rasul-rasul. Yang berada di atas jalan yang lurus”. (QS. Yasin: 3-4)
Innaka 'alal haqqil mubîn.
“Sesungguhnya kamu berada di atas kebenaran yang nyata”. (QS. An-Naml: 79)

Berdasarkan pernyataan al-Qur'an terhadap pribadi beliau telah jelas, bahwa umat Muslim tidak hanya diajak untuk mengikuti tingkah lakunya saja, tetapi lebih jauh lagi harus mendorong untuk benar-benar bertaqlid kepadanya dengan penuh keyakinan. Atas dasar itu juga, semua perkataan, perbuatan, dan ketetapannya atau yang disebut Hadits atau Sunnah yang menjadi bagian penting sebagai dasar hukum islam yang menduduki urutan kedua setelah al-Qur'an.

Selain itu, meskipun al-Qur'an dan Hadits menjadi sumber hukum islam yang sudah jelas dalam kerangka syari'ah, tetapi keduanya tidak menyatakan bahwa al-Qur'an dan Hadits mengandung seluruh hukum yang senantiasa berkembang seirama dengan perubahan umat Muslim dan zaman. Karena aturan-aturan syari'at terbatas, sedangkan kebutuhan umat Muslim yang terus berubah, meluas, tidak ada habisnya, dan tidak terbatas .

Melihat kebutuhan umat seperti itu, tentu memerlukan aturan-aturan baru yang sesuai dengan kelangsungan hidupnya agar kesejahteraan tetap terjalin. Oleh karena itulah, setiap sesuatu yang dilakukan Fuqaha (para ahli hukum islam) dalam kerangka syari'ah dapat dianggap sebagai bagian dari hukum islam . Al-Qur'an dengan jelas menyatakan kebolehan bagi umat Muslim mengikuti para mujtahid atau bertaqlid kepada mereka:
Fas alû ahladzdzikri in kuntum lâ ta'lamûn
“Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui”. (QS. Al-Anbiya': 7)

2. Taqlid Muthlaq

Taqlid Muthlaq merupakan bagian dari cara ittiba' (mengikuti), yang memberikan kebebasan kepada muqallid untuk mengikuti pendapat mujtahid manapun dari madzhab-madzhab yang diakui. Dengan kata lain, taqlid muthlaq ini mengikuti pendapat orang lain secara bebas, tidak terikat pada salah satu madzhab, atau mujtahid. Ia boleh mengikuti pendapat mana saja yang dianggap memuaskan pikirannya.

Muqallid dalam taqlid muthlaq ini tetap merupakan pengikut madzhab tertentu yang diakui, tetapi ia juga berhak menerima fatwa dari Faqih madzhab-madzhab lain yang terkenal. Bahkan, ia dapat pula menjalankan fatwa madzhab lain tadi dalam kehidupan sehari-hari dan ini tidak sama sekali menghilangkan arti keterikatannya pada madzhabnya. Cara seperti itulah yang dilakukan orang pada abad pertama dan kedua. Oleh karena itu, seorang Muslim yang mempunyai keilmuan yang mantap sangat dianjurkan untuk langsung bertaqlid kepada Rasulullah, atau setidak-tidaknya sebagai Muqallid Muthlaq. Dan sebagai penganut taqlid ini, ia dapat mengikuti fatwa siapa saja yang dipandang lebih dekat kepada sunnah Rasulullah dan sistemnya.

Tetapi , ada yang mengatakan bahwa taqlid muthlaq adalah taqlid terendah dari tingkatan taqlid seperti yang dilakukan oleh kebanyakan orang awam, di mana dalam keseluruhan hukum Islam, mereka mengikuti pendapat imam mujtahid dalam madzhabnya, baik dengan mengetahui dalilnya atau bahkan tanpa mengetahui dalilnya karena kemampuannya yang sangat-sangat terbatas sekali.

3. Taqlid Mahdhi

Adalah mengikuti madzhab tertentu dan menetap dengan setia, tidak berpindah-pindah selama hidupnya. Tetapi dalam taqlid ini, dijelaskan pula bahwa terdapat perbedaan dan perdebatan di kalangan Fuqaha mengenai apakah syari'ah islam mengharuskan seorang Muslim bertaqlid kepada satu madzhab tertentu sepanjang hidupnya? Ibnu Hummam al-Hanafi berkeyakinan bahwa seorang muqallid tidaklah harus terus-menerus mengikuti satu madzhab saja, karena keharusan seperti ini memang tidak diwajibkan . Dan seorang pengikut madzhab Hanafi yang menulis kitab Musallam ats-Tsubut mengatakan bahwa seseorang yang mengambil dasar fiqih dari suatu madzhab, tidak ada salahnya untuk tetap mengamalkan dasar-dasar madzhabnya jika dia masih senang dengan madzhabnya itu. Tidak ada salahnya pula jika mengambil pendapat madzhab yang lain. Tradisi ini berkembang pada abad permulaan islam.

Dengan demikian, taqlid mahdhi merupakan cara seseorang mengikuti fatwa seorang mujtahid dalam suatu masa tertentu, dan mengambil fatwa dari mujtahid yang berbeda untuk waktu yang lain. Ini adalah cara mengatasi persoalan di antara mereka . Taqlid mahdhi ini juga telah menggantikan kedudukan taqlid muthlaq, meskipun tidak lagi diamalkan oleh mayoritas kaum Muslim .

4. Taqlid Jamid

Taqlid Jamid adalah cara mengikuti pendapat suatu madzhab secara fanatis, atau dengan kata lain merupakan bentuk ekstrim daripada taqlid mahdhi yang tampaknya memang menjadi puncak dari semua taqlid. Para pengikut taqlid ini hanya menganggap benar pada Imam atau yang diikutinya, sementara pendapat lain dipandang salah. Taqlid ini hadir pada masa transisi atau fanatisme madzhab.

Secara esensi, taqlid jamid ini dikatakan tidak benar karena ia menjurus ke arah yang bertentangan dengan semangat taqlid itu sendiri. Bahkan, ia juga bertentangan dengan ijma' sahabat, tabi'in, tabi'it tabi'in, dan semua mujtahid dari golongan salaf. Pendeknya, taqlid jamid ialah jenis taqlid paling menyimpang dari sistem taqlid sendiri. Ia juga bertentangan dengan syari'ah. Ia tidak berbeda dengan sistem kehidupan yang dikecam al-Qur'an, yakni serupa dengan taqlid umat-umat Yahudi dan Nashrani.

C. Pengertian Ijtihad

Secara harfiah, Ijtihad adalah usaha maksimal untuk mewujudkan sesuatu yang dituju. Sedangkan menurut ulama Ushul ialah usaha seseorang dalam merumuskan hukum yang bersifat amaliyah (praktis) dari dalil-dalil terperinci. Tetapi lagi-lagi terdapat beberapa pendefinisian yang diutarakan oleh para pakar , yaitu:
 Definisi yang diberikan oleh al-Amudi dan Ibn al-Hajib; ”Pengerahan kemampuan dalam mendapatkan pengetahuan bertaraf asumtif (zhann) atas hukum-hukum syara'”.
 Al-Ghazali mengemukakan: ”Pengerahan kemampuan dari seorang mujtahid dalam mencapai keyakinan atas hukum-hukum syara'”.
 Definisi yang dikemukakan al-Baidhawi: ”Pengerahan kemampuan dalam menemukan hukum-hukum syara' yang mencakup dengan kebenaran rasio ('aqliyyah) dan doktrinal (naqliyyah), kebenaran pasti (qath'i) dan kebenaran asumtif (zhanni)”.
 Al-Zarkasyi mendefinisikan ijtihad: ”pengerahan segenap kemampuan dalam menemukan hukum-hukum syara' yang bersifat amaliyah dengan menggalinya dari sumber-sumber nya (istinbath)

D. Syarat-syarat Mujtahid

Dalam menentukan kriteria-kriteria seorang mujtahid yang telah disepakati oleh ulama, maka secara sistematis dapat disimpulkan bahwa seseorang dapat mencapai pada level mujtahid dengan penguasaannya terhadap delapan bidang pengetahuan , di antaranya:

Pertama, menguasai bahasa arab dari segi vocabulary (lughah), gramatika (nahwu-sharaf), sastra dan gaya bahasa. Karena selain al-Qur'an dan Hadist diturunkan sebagai sumber hukum islam yang tersusun dengan bahasa Arab, juga dapat memudahkan berkomunikasi dengan orang Arab yang beragam kebiasaan pemakaiaannya, sehingga dapat dibedakan dan diketahui kata per kata, susunan kata, hakikat dan majas, yang umum dan khusus, muhkam dan mutasyabih, serta muthlaq dan muqayyad.

Kedua, memiliki pemahaman atas ayat-ayat hukum al-Qur'an secara etimologis, yaitu mengetahui makna-makna kata per kata dan susunannya, serta secara tekstual dan kontekstual. Kemudian secara epistemologi ialah seorang mujtahid diharuskan untuk memiliki pengetahuan ayat-ayat yang 'amm dan khash, mengenai nasakh dan mansukh, mengenai beragam kausa ('illat), variabel-variabel penetap hukum dan lain-lain.

Dalam hal ini, sebagian ulama berpendapat bahwa seorang mujtahid tidak diharuskan untuk hafal al-Qur'an secara keseluruhan. Cukup hanya kemampuan dalam merujuk ayat-ayat yang dibutuhkan. Tetapi menurut Imam Syafi'i, seorang mujtahid disyaratkan untuk hafal al-Qur'an diluar kepala secara keseluruhan dan menguasai isi kandungannya.

Ketiga, mengetahui Hadits-hadits mengenai hukum seperti yang mengandung hukum taklifi, nasakh dan mansukhnya, 'amm dan khashnya, muthlaq dan muqayyadnya, mengetahui betul seluk-beluk dan isi dari Hadits atau Sunnah juga harus mengetahui riwayat dan sanadnya. Di sini tidak ada keharusan untuk menghafalkan Hadits sama halnya seperti pada al-Qur'an. Dalam hal ini, yang harus dipenuhi seorang mujtahid adalah kemampuan merujuk pada saat dibutuhkan. Menurut al-Mawardi, bahwa seorang mujtahid haruslah mengetahui setidaknya 500 buah Hadits tentang hukum. Sedangkan Ibn 'Arabi mengatakan 3000 Hadits dan banyak lagi ulama lain yang mengatakan bilangannya hingga 500.000 Hadits.

Keempat, mengerti ijma’ dan ikhtilaf. Mujtahid haruslah mengetahui ijma’ para ulama dan dasar-dasarnya. Dapat memastikan bahwa hukum yang dikeluarkan tidak melanggar garis mujtahid pendahulnya. Dan mujtahid juga harus mengetahui hal-hal ikhtilaf (perbedaan pendapat) beserta seluk-beluknya. Sehingga dalam mencetuskan suatu hukum ia tidak memunculkan pendapat baru yang menyalahi konsesus ulama atas ikhtilaf hukum dalam versi-versi baru.

Kelima, mengetahui tata cara qiyas, syarat-syaratnya, dan metode-metode yang dipakai ulama salaf yang shahih dalam mengetahui 'illat-'illat hukum. Karena dengan demikian mujtahid dapat mengembangkan penerapan hukum dan mengantarnya pada hukum-hukum yang lebih rinci, sebab qiyas merupakan wujud nyata dari aktivitas mujtahid.

Keenam, memiliki pengetahuan tentang penalaran yang benar terhadap berbagai bentuk argumentasi, pendefinisian, dan metode penyimpulan atau yang terdapat dalam ilmu logika (manthiq). Mengenai ilmu logika ini, terdapat perbedaan pendapat seperti Ibn Taimiyyah yang membenci adanya ilmu logika. Karena mungkin pada saat itu, melukukan ijtihad tanpa adanya ilmu logika masih belum berkembang dalam dunia islam. Tetapi melihat kebudayaan dan peradaban manusia yang semakin maju , maka ilmu logika berguna sebagai ukuran dalam penalaran dan mempertahankan kebenaran. Sebagaimana imam Syafi'i mensyaratkan pemahaman dan penalaran yang benar, agar dapat mencapai inti kebenaran.

E. Macam-macam Tingkatan Mujtahid

Menurut ulama Ushl Fiqh tingkatan mujtahid terbagi pada tujuh tingkatan, yang diperinci dengan lima tingkatan pertama tergolong mujtahid dan dua tingkatan berikutnya masuk dalam kategori muqallid yang belum mencapai derajat mujtahid. Tingkatannya sebagai berikut:

1. Mujtahid Mutsaqil

Adalah tingkatan mujtahid yang independen atau mandiri, mempunyai kemampuan dalam mengkaji ketetapan hukum langsung dari al-Qur'an dan Sunnah, melakukan qiyas, mengeluarkan fatwa atas pertimbangan, dan menerapkan dalil istihsan yang mereka ciptakan sendiri. Mereka mengambil metode yang mereka ambil sebagai pedoman dan tidak mengekor pada mujtahid lain, artinya mereka merumuskan sendiri metodologi ijtihadnya dan menerapkannya pada masalah-masalah furu' (cabang) yang kemudian disebarluaskan kepada masyarakat.

Ada beberapa yang termasuk dalam kategori Mujtahid Mutsaqil, yaitu; seluruh Fuqaha Sahabat, Fuqaha Thabi'in seperti Sa'id bin Musayyab dan Ibrahim an-Nukha'i, dan Fuqaha Mujtahid seperti Ja'far ash-Shadiq, Muhammad al-Baqir, Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi'i, al-Laits bin Sa'ad, Sufyan ats-Tsauri, dan lain-lain.


2. Mujtahid Muntasib

Tingakatan yang kedua ini, merupakan tingkatan mujtahid yang memilih atau mengambil pendapat-pendapat imamnya dalam masalah ushul, tetapi berbeda pendapat dalam masalah furu'. Dengan kata lain, tingkatan mujtahid Muntasib ini hanya terikat pada sistem ijtihad imamnya yang mempunyai otoritas untuk mengkaji masalah furu' yang pernah dikaji oleh imamnya. Dan hasil dari ijtihadnya bisa saja sejalan atau bertentangan dengan hasil ijtihad imamnya. Selain itu, juga mempunyai otoritas dalam berijtihad mengenai masalah-masalah yang belum pernah dijumpai oleh imamnya.

Menurut Ibnu 'Abidin yang termasuk dalam mujtahid muntasib adalah murid-murid Abu Hanifah, tetapi pendapat Ibnu 'Abidin ini kiranya harus dipertimbangkan lagi karena murid-murid Abu Hanifah seperti Abu Yusuf dan muridnya, Muhammad bin Ja'far, dan Zufar lebih banyak memakai Hadits daripada menggunakan qiyas. Oleh karena itu, mereka cenderung masuk pada tingkatan mujtahid Mutsaqil. Selain itu, dalam madzhab Syafi'i yang tergolong dalam tingkatan ini adalah al-Muzany, sedangkan dalam madzhab Maliki ialah Abdurrahman Ibnu Qasim, Ibnu Wahhab, Ibnu Abdul Hakam, dan lain sebagainya.

3. Mujtahid Madzhab

Ialah tingkatan mujtahid yang mengikuti atau mengambil masalah-masalah mengenai ushul maupun furu' dari imamnya. Mereka memiliki peran dalam ijtihadnya dalam menerapkan 'illat-'illat fiqih yang telah digali oleh para seniornya terhadap masalah-masalah yang belum dijumpai pada saat itu juga. Secara otentik, mujtahid Madzhab ini mengambil kaedah-kaedah yang telah dipakai oleh imam pendahulunya, sehingga mereka hanya menggali hukum-hukum yang belum ada ketetapannya berdasarkan kaedah-kaedah tersebut.

Dari tingkatan inilah maka lahir aliran-aliran fiqih atau disebut dengan al-Fiqh al-Madzhabi, dapat meletakkan asas-asas bagi perkembangan madzhab, mengeluarkan ketentuan-ketentuan hukum baru berdasarkan prinsip-prinsip dari madzhab-madzhab tersebut. Selain itu, mujtahid ini pula yang meletakkan asas-asas tarjih (pengunggulan) dan muqayasah (perbandingan) terhadap pendapat-pendapat ulama dalam menilai keshahihan atau kedha'ifannya.

Beberapa yang termasuk ke dalam tingkatan ini, yaitu dari kalangan Hanafiyyah seperti Hasan bin Ziyad, al-Karkhi dan al-Thahawi. Dari kalangan Malikiyyah seperti al-Abhari dan Ibnu Abi Ziyad. Dari kalangan Syafi'iyyah yaitu Abu Ishaq al-Syairazi.

4. Mujtahid Murajjih

Tingkatan mujtahid yang keempat ini merupakan tingkatan mujtahid yang hanya melakukan pentarjihan (pengunggulan) terhadap pendapat-pendapat yang diriwayatkan oleh seorang imam dengan menggunakan alat tarjih yang telah dirumuskan oleh mujtahid pada tingkatan sebelumnya atau di atasnya. Mereka mentarjih sebagian pendapat atas pendapat lain karena dipandang lebih kuat dalilnya atau sesuai dengan konteks keadaan masyarakat pada saat itu. Oleh karena itu, mereka tidak melakukan atau tidak masuk ke dalam kategori untuk melakukan istinbath (pengambilan hukum) baru yang independen atau mengikuti metode istinbath imamnya. Yang tergolong dalam tingkatan mujtahid ini adalah Abu al-Hasan al-Quduri dan al-Marghinani dari kalangan Hanafiyyah.

5. Mujtahid Muwazin

Adalah tingkatan mujtahid yang hanya melakukan perbandingan antara beberapa pendapat dan riwayat, seperti mengetahui bahwa pendapat ini lebih shahih atau kuat riwayatnya dari pada pendapat lain. Sebenarnya perbedaan antara tingkatan ini dengan tingkatan sebelumnya tidak begitu jelas, maka menurut Ibnu Abidin bahwa dari tingkatan tersebut sebaiknya dibuang satu tingkatan, yang menjadi penggabungan dari tingkatan ketiga, keempat, dan kelima sehingga melahirkan dua tingkatan, yaitu:

Pertama, tingkatan Mukharrij ialah mujtahid yang melahirkan ketetapan hukum terhadap masalah-masalah yang belum dibahas oleh para perintis madzhab sebelumnya dengan didasarkan kaedah-kaedah dari madzhab tersebut.

Kedua, tingkatan Murajjih, yaitu seorang mujtahid yang melakukan tarjih di antara beberapa riwayat dan pendapat yang berbeda-beda. Dan hasilnya, dapat diketahui riwayat yang paling shahih dan paling kuat, atau paling dekat dengan Sunnah atau qiyas yang shahih, atau pula lebih besar manfaatnya untuk kepentingan masyarakat.


Adapun tingkatan berikutnya yang termasuk dalam kategori Muqallid, hal ini disebabkan karena tidak terdapat aktivitas dalam berijtihad hanya saja menghimpun dan membukukkan pendapat-pendapat ulama. Di antaranya, yaitu:

6. Muhafizh

Tingkatan Muhafizh merupakan tingkatan yang tergolong pada Muqallid yang mengetahui pendapat yang kuat atau yang shahih dan urutan tarjih sesuai dengan hasil garapan dari mujtahid-mujtahid Murajjih. Ibnu Abidin mengatakan bahwa mereka adalah yang mampu menbedakan antara pendapat yang terkuat, yang kuat, yang dha'if, riwayat yang zhahir, madzhab yang zhahir, dan riwayat yang nadir (langka).

Dengan kata lain, mereka dapat memberikan penilaian mengenai pendapat-pendapat mujtahid Murajjih yang dipandang paling kuat dari segi tarjihnya, selain itu mereka berhak mengeluarkan fatwa seperti para ulama di atasnya, akan tetapi hanya dalam ruang lingkup yang terbatas.

7. Muqallid

Pada tingkat terakhir ini, merupakan posisi terbawah dari semua tingkatan yang telah diuraikan di atas. Mereka adalah seorang yang mengetahui kitab-kitab Allah, Hadits-hadits Rasulullah serta fatwa para sahabat, tetapi ia tidak mempunyai kemampuan dalam mentarjih suatu pendapat ataupun riwayat.
Karena tingkat keilmuan yang dimilikinya belum cukup mendukung untuk dapat mentarjih pendapat-pendapat atau riwayat mujtahid Murajjih dan tingkatan tarjih.

F. Ijtihad dan Dinamisasi Hukum Islam

Melihat zaman yang semakin berkembang ini, berbagai perubahan pun berlangsung secara cepat. Dari berbagai aspek kehidupan, pikiran, tingkah laku, hubungan-hubungan, dan lain sebagainya. Kenyataan yang terjadi dalam perkembangan zaman ini, maka perlu adanya ijtihad baru dalam dinamisasi hukum islam. Menurut Dr. Yusuf Qardhawi dalam al-Ummah memberikan beberapa ijtihad baru, yaitu:
a) Ijtihad Insya-i, yakni upaya melahirkan hukum yang sama sekali orisinal atau upaya pemikiran yang belum pernah dihasilkan oleh orang-orang terdahulu atau tidak ada keputusan yang tegas mengenai suatu masalah tertentu. Misalnya dalam persoalan zakat apartemen, pabrik, saham dan lain-lain.
b) Ijtihad Intiqa-i, ialah memilih pendapat yang terkuat dan dipandang lebih sesuai dengan syara', kepentingan masyarakat, dan kondisi zaman. Dan penyeleksian hukum ini dilakukan oleh empat madzhab. Misalnya, mengambil pendapat Imam Hanafi dalam masalah wajib zakat pada setiap hasil bumi, pendapat imam Syafi'i dalam hal memberikan zakat kepada fakir miskin, dan lain-lain.
c) Ijtihad Jama'i adalah ijtihad kolektif, upaya yang dilakukan oleh orang-orang yang ahli dalam bidangnya masing-masing untuk menghasilkan suatu hukum.
d) Ijtihad Fardhi yaitu ijtihad perorangan, upaya pemikiran hukum yang dilakukan oleh pribadi-pribadi. Ijtihad ini diperlukan sebagai pemberi jalan terang bagi ijtihad kolektif tersebut.

Dalam pembaruan ini ternyata banyak dihambat dan mendapatkan tanggapan yang serius oleh kebanyakan orang, yaitu terdapat tiga pandangan orang dalam menilai masalah di atas. Pertama, pandangan yang menolak secara total. Karena mereka cenderung mempertahankan kondisi yang ada dan mereka menyatakan warisan generasi leluhur sudah mencukupi. Oleh karena itu, istilah ”tajdid” (modernisasi) bagi mereka dipandang sebagai perbuatan bid'ah yang menyesatkan. Kedua, pandangan kaum modern yang ektrim. Golongan ini menghendaki agar dihapusnya semua yang berbau jadul (kuno), meski sudah menjadi akar pada budaya masyarakat. Mereka sangat setuju bila untuk menerima budaya barat secara total yang biasa disebut Waternisasi. Ketiga, pandangan moderat. Mereka menolak golongan pertama yang kaku dan golongan kedua yang ekstrim. Mereka menerima pembaruan bahkan menganjurkannya tetapi pembaruan yang mereka inginkan harus tetap dalam koridor Islam. Mereka juga setuju mengambil hal-hal baru yang sesuai dan menolak yang tidak sejalan dengan Islam.










Daftar Pustaka:

 Dr. Yusuf Qardhawi, Muhammad Madani dan Mu'inuddin Qadri, Dasar Pemikiran Hukum Islam. Pustaka Firdaus. Jakarta: 1987.
 Forum Karya Ilmiah, Kilas Balik Teoritis Fiqh Islam. PP. Lirboyo. Kediri: 2006.
 Prof. Muhammad Abu Zahrah. Ushul Fiqh. Pustaka Firdaus. Jakarta: 2008.cet.12.
 http://hotarticle.org

Kamis, 12 Maret 2009

KONSEP DAN DEFINISI FALSAFAH ISLAM
Sejarah pemikiran Islam ditandai secara tajam antara lain oleh adanya polemik-polemik sekitar isi, subyek bahasan dan sikap keagamaan falsafah dan para failasuf. Karena itu pembahasan tentang falsafah dapat diharapkan menjadi pengungkapan secara padat dan mampat tentang peta dan perjalanan pemikiran Islam di antara sekalian mereka yang terlibat.
Sebelum yang lain-lain, di sini harus ditegaskan bahwa sumber dan pangkal tolak falsafah dalam Islam adalah ajaran Islam sendiri sebagaimana terdapat dalam al-Qur'an dan Sunnah. Para failasuf dalam lingkungan agama-agama yang lain, sebagaimana ditegaskan oleh R.T. Wallis, adalah orang-orang yang berjiwa keagamaan (religious), sekalipun berbagai titik pandangan keagamaan mereka cukup banyak berbeda, jika tidak justru berlawanan, dengan yang dipunyai oleh kalangan ortodoks. Dan tidak mungkin menilai bahwa falsafah Islam adalah carbon copy pemikiran Yunani atau Hellenisme.
Meskipun begitu, kenyataannya ialah bahwa kata Arab "falsafah" sendiri dipinjam dari kata Yunani yang sangat terkenal, "philosophia", yang berarti kecintaan kepada kebenaran (wisdom). Dengan sedikit perubahan, kata "falsafah" itu di-Indonesia-kan menjadi "filsafat" atau, akhir-akhir ini, juga "filosofi" (karena adanya pengaruh ucapan Inggris, "philosophy"). Dalam ungkapan Arabnya yang lebih "asli", cabang ilmu tradisional Islam ini disebut 'ulum al-hikmah atau secara singkat "alhikmah" (padanan kata Yunani "sophia"), yang artinya ialah "kebijaksanaan" atau, lebih tepat lagi, "kawicaksanaan" (Jawa) atau "wisdom" (Inggris). Maka "failasuf' (ambilan dari kata Yunani "philosophos", pelaku filsafat), disebut juga "al-hakîm" (ahli hikmah atau orang bijaksana), dengan bentuk jamak "al-hukama"
Dari sepintas riwayat kata "filsafah" itu kiranya menjadi jelas bahwa disiplin ilmu keislaman ini, meskipun memiliki dasar yang kokoh dalam sumber-sumber ajaran Islam sendiri, banyak mengandung unsur-unsur dari luar, yaitu terutama Hellenisme atau dunia pemikiran Yunani. Disinilah pangkal kontroversi yang ada sekitar falsafah: sampai di mana agama Islam mengizinkan adanya masukan dari luar, khususnya jika datang dari kalangan yang tidak saja bukan "ahl al-kitậb" seperti Yahudi dan Kristen, tetapi malahan dari orang-orang Yunani kuno yang pagan atau musyrik (penyembah binatang). Sesungguhnya beberapa ulama ortodoks, seperti Ibn Taymiyyah dan Jalal al-DÎn al-Suyûthi (salah seorang pengarang tafsir Jalalayn), menunjuk kemusyrikan orang-orang Yunani itu sebagai salah satu alasan keberatan mereka terhadap falsafah.
Pengertian filsafat islam terdapat banyak perbedaan anggapan dari kalangan-kalangan terdahulu, pada dasarnya kata falsafah tersebut pengambilan dari Yunani, sebagaimana sudah dijelaskan pada sebelumnya. Menyadari kedudukan filsafat Islam ini penting untuk memberikan ruang bagi filsafat, Buku Dr. Haidar dan pengantar Musa Kazhim menjelaskan secara umum definisi dan karakter filsafat Islam. Secara ringkas, kedua intelektual tersebut ingin mengatakan bahwa filsafat Islam benar-benar eksis dan memiliki posisi unik di peta filsafat pada umumnya. Filsafat Islam adalah filsafat profetis yang bersumber dari ajaran Islam, khususnya dari al-Quran dan Sunnah. Filsafat Islam bahkan mencapai puncak pencapaiannya di tangan Mulla Shadra yang merumuskan apa yang disebut filsafat hikmah dan ini menjadi suatu permasalahan besar.
Pandangan kedua inteletual ini sejalan dengan pandangan Kazhîm cendekiawan muslim dari Iran. “Filsafat Islam disebut Islam bukan hanya lantaran pemekarannya di Dunia Islam dan di tangan orang-orang Muslim, melainkan lebih utama lantaran seluruh prinsip, inspirasi, dan pokok soalnya bermuara pada sumber-sumber wahyu Islam, “ kata Nasr dalam buku History of Islamic Philosophy terbitan Routledge (London, 1996) yang memang dijadikan rujukan Musa Kazhîm.
Timbul suatu pertanyaan, tepatkah penggunaan istilah filsafat hikmah untuk padanan filsafat Islam. Kata hikmah seperti ditulis Musa Kazhîm, berakar sama dengan sifat Allah Al-Hakim (Mahabijaksana), dan hukm (hukum). Hikmah merupakan perjalanan tritunggal ruh-akal-raga mendaki puncak-puncak kesempurnaan spiritual, intelektual dan ritual manusia. Itulah makna sejati philosophos sebagai perpaduan antara kebajikan aktif (philo atau cinta) dan kebijakan intelektif (sophos).
Pemakaian istilah hikmah oleh para failasuf Islam, menurut Musa Kazhîm, sebenarnya untuk menegaskan posisi unik filsafat Islam. Hikmah bukan sekadar pelancongan mental yang tidak ada sangkut pautnya dengan aspek praksis kehidupan – seperti tren umum di dunia Barat sejak era Renaisans. Hikmah muncul pada era pasca Ibu Rusyd. Kata Musa Kazhim, filsafat Islam semakin menampakkan otonominya setelah wafatnya Ibnu Rusyd pada 1198 M dan berpindahnya ladang filsafat Islam dari belahan barat dunia Islam ke timur. Orang-orang seperti Surahwardi, Mulla Shadra, Sabzewari, Khomeini, Thabaththaba’i dan Muthahhari, bahkan sudah tidak lagi menggunakan istilah falsafah dalam pengertian filsafat yang umum dikenal di Barat. Dalam pengantar tulisan-tulisan selalu ada penjelasan mengenai makna falsafah yang sepadan dengan hikmah ilậhiyyah atau teosofi.
Menurut Muhammad Nugroho dalam artikelnya bahwa hikmah sebagai bagian dari khasanah filsafat Islam boleh-boleh saja eksis dan memang harus muncul dari pemikiran para filsuf muslim. Persoalannya, tepatkah filsafat Islam dipadankan dengan hikmah? Mengapa para filsuf muslim begitu bersemangatnya untuk memiliki istilah tersendiri untuk filsafat Islam dengan istilah hikmah? Ada kemungkinan beberapa faktor psikologis yang melatar-belakangi keinginan sebagian filsuf muslim untuk memiliki istilah sendiri hikmah untuk padanan filsafat Islam.
Pertama, untuk menepis tudingan inferioritas filsafat Islam. Seperti kata Musa Kazhim, ada kesan kuat yang berkembang di kalangan sarjana Barat – Muslim maupun bukan – bahwa filsafat Islam tidak benar-benar Islam. Filsafat Islam tidak lebih dari sekadar filsafat Yunani dalam bahasa Arab. Perannya tak lebih sebagai penyambung peradaban Yunani. Tidak ada autentisitas dan keaslian di dalamnya. Bahkan, adalah mungkin filsafat Islam justru menjadi limbah yang mengotori kejernihan dan kebeningan arus peradaban. Kedua, ada semangat apologia dari sebagian filsuf Muslim yang ingin menunjuk-nunjukkan bahwa Islam memiliki filsafat sendiri yang bersumber dari wahyu al-Quran dan Sunnah. Ada latar psikologis untuk menunjukkan diri sebagai yang superior di depan filsafat-filsafat yang lain.
Para pendukung filsafat hikmah sebetulnya tak perlu mengupayakan agar hikmah dipadankan dengan filsafat Islam. Hikmah harus diakui sebagai produk genuine yang bersumber dari ajaran Islam, khususnya dari al-Quran dan Sunnah. Namun posisinya dalam peta filsafat tak bisa serta merta disamakan dengan filsafat Islam. Filsafat Islam seharusnya diberi definisi yang lebih luas dari hikmah. Paling tidak, filsafat Islam harus didefinisikan sebagai filsafat yang berkembang di lingkungan umat Islam, atau dirumuskan oleh para filsuf muslim. Filsafat Islam karena itu mengakomodasi konsep filsafat sejak Al-Farabi hingga Muhammad Iqbal (India).
Kaum filsuf muslim mestinya mengakui dengan rendah hati sifat hibriditas filsafat Islam. Hibriditas adalah kecenderungan untuk mengambil berbagai unsur untuk menjadi bagian dari dirinya. Sifat hibriditas itu fakta sejarah, karena filsafat Islam muncul berkat pengaruh berbagai peradaban yang berkembang sebelum Islam, antara lain filsafat Yunani. Jadi, filsafat sebagaimana adanya memang harus diakui sebagai anak pungut dalam keluarga keilmuan Islam. Untuk bergerak bebas sesuai habitatnya. Dengan sikap begini, para filsuf muslim bisa leluasa mengeksplorasi pemikiran seliar mungkin untuk memberikan kontribusi terhadap peradaban dunia. Harus diakui bahwa panggung filsafat kontemporer dunia masih didominasi para filsuf liberal seperti Derrida, Foucault, Baudrillard dan Gilles Deleuze. Ini merupakan komentar dari Muhammad Nugroho dalam artikelnya. Jadi hemat saya, bahwa falsafah islam itu tercakup apa yang mengenai hubungan antara manusia dan Allah, kehidupan, dan yang terjadi dalam alam raya ini, yang berasaskan Al-Qur’an dan Al-Hadist dan bertujuan untuk mencari kebenaran yang abadi.
TASAWUF

A. Latar Belakang Tasawuf
Berawal dari abad 7 M, di wilayah Arab terdapat sebuah masyarakat yang terpecah-belah, yang selama beberapa abad lamanya telah mengalami perkembangan dalam tradisi yang mapan berupa peperangan, paganisme dan nilai-nilai kesukuan lainnya. Meskipun pada masa itu bangsa Arab telah melakukan aktivitas perniagaan diluar wilayah Arab, namun mereka tidak begitu banyak dipengaruhi oleh budaya lain.
Setelah beberapa lamanya mengalami zaman kehancuran, atau disebut zaman Jahiliyah. Tiba-tiba sebuah “cahaya nubuwat” yang mengagumkan hadir dihadapan mereka. Cahaya ini pertama-tama menyingkap dan menghancurkan sifat kebinatangan dan ketidakadilan dalam masyarakat tersebut. Manusia yang luar biasa, membawa cahaya baru dari pengetahuan ini adalah Nabi Muhammad SAW.
Dalam waktu 23 tahun, Nabi Muhammad SAW mengajarkan kebenaran abadi yaitu bahwa manusia dilahirkan ke dunia ini demi mempelajari jalannya penciptaan seraya akan kembali pada sumbernya, Maha Pencipta Yang Satu. Beliau berhasil membawa mereka pada jalan yang benar, meskipun dalam meraihnya penuh dengan penderitaan. Mereka dapat menerima ajarannya dan penjelasan tentang ayat-ayat Al-qur’an yang diwahyukan kepadanya. Mereka menyembah Allah dan mengikuti Nabi yang hidup penuh dengan pengetahuan dan kecintaan kepada Allah.
Ketika Nabi Muhammad wafat, umat islam mengalami keguncangan yang sangat, yang berakhir dengan pemilihan Abu Bakar sebagai khalifah pertama umat islam. Masa kepemimpinannya yang berlangsung selama 2 tahun ini penuh dengan perselisihan internal. Di mana mentalitas orang Arab yang sama sekali tidak suka ditindas, sebab mereka memiliki mental jiwa yang tidak bisa terikat. Salah satu menurut mereka untuk menindas adalah pemungutan pajak.
Pembayaran zakat, yang diwajibkan Abu Bakar oleh mereka dipahami sebagai penindasan yang tidak disukai mereka. Akhirnya, periode kepemimpinan Abu Bakar sebagian besar dihabiskan untuk menyelesaikan perselisihan internal. Abu bakar wafat, maka Umar diangkat sebagai khalifah selanjutnya. Pada masa kepemimpinannya terjadi ekspansi islam yang begitu luas, di antaranya; Mesir,Persia dan Kerajaan Byzantium dapat ditaklukkan. Umar yang terkenal dengan kesederhanaannya dan tidak bermewah-mewahan. Beliau wafat ditikam oleh seorang budak Persia ketika sedang melaksanakan shalat di masjid.
Kemudian dilanjutkan oleh khalifah ustman, pada periode itu banyak istana yang dibangun dan orang-orang mulai berlomba-lomba dalam membangun gedung-gedung yang megah. Setelah ustman terbunuh maka diteruskan oleh Ali bin Abi Thalib. Pada masa itu, banyak orang-orang yang mengaku sebagai seorang muslim, tetapi tidak sepenuhnya mengetahui atau mempraktikkan jalan hidup (way of live) Nabi.
Masa kepemimpinan terus berjalan dan berganti, yang pada akhirnya masuk masa kekuasaan dinasti Umayyah yang korup ini, penaklukan-penaklukan terus berlangsung dan orang-orang yang masuk islam semakin bertambah. Akan tetapi secara umum sebagian besar penguasa itu adalah tiran dan berorientasi duniawiyah, meskipun terdapat orang islam yang tulus dan arif yang memahami serta melaksanakan ajaran islam, tetapi secara aktual mereka dihalangi oleh haus akan kekuasaan dan kekayaan.
Maka, pada 750 H muncullah dinasti lainnya dan dalam tahun-tahun berikutnya keadaan menjadi lebih memburuk, hal yang lumrah bagi seorang raja yang membunuh keluarganya demi memperebutkan kekuasaan atau untuk memposisikan dirinya dari rival lain. Sebagai contoh, Al-Ma’mun membunuh saudara laki-lakinya Al-Amin, yang menjadi rival dalam perebutan dinasti ‘Abasyiyah. Beberapa perempuan yang terlibat dalam tipu daya mereka dari balik layar, dan para raja yang bercita-cita menjadi kaisar dan hidup dalam kemewahan dan kesenangan.
Keadaan-keadaan yang penuh dengan kekacauan politik dan ketegangan sosial seperti itulah yang menyebabkan muncul para sufi yang dalam perjalanan kehidupannya lebih mengkhususkan diri untuk beribadah dan pengembangan kehidupan rohaniah dengan mengabaikan kenikmatan duniawi. Pola hidup seperti itulah yang dapat merubah kehancuran yang telah terjadi dan kesalehan yang merupakan awal pertumbuhan tasawuf yang kemudian berkembang dengan pesatnya. Dari aspek ini, tasawuf didefinisikan sebagai upaya memahami hakikat Allah seraya melupakan segala sesuatu yang berkaitan dengan kesenangan duniawi. Definisi lain mengatakan, bahwa tasawuf adalah usaha mengisi hati dengan hanya ingat kepada Allah, yang merupakan landasan lahirnya ajaran al-hubb atau cinta ilahi.
Tasawuf ini juga memiliki kekhasan dari beberapa alirannya; pertama, bahwa tasawuf dari semua alirannya memiliki obsesi kedamaian dan kebahagiaan spiritual yang abadi. Tasawuf di sini difungsikan sebagai pengendali berbagai kekuatan yang bersifat merusak. Kedua, bahwa tasawuf itu semacam pengetahuan langsung yang diperoleh melalui tanggapan intuisi. Epistemology tasawuf di sini mencari hakikat kebenaran atau realitas melalui penyingkapan yang mengantarkan sufi kepada realitas. Ketiga, setiap perjalanan sufi berangkat dari dan untuk peningkatan kualitas spiritual yaitu penyucian jiwa. Keempat, peleburan diri atau penyatuan diri dengan-Nya dalam realitas yang tunggal.
B. Kedudukan Tasawuf dalam Ajaran Islam
Secara umum ajaram islam mengatur kehidupan yang bersifat lahiriah atau jasadiah, dan yang bersifat batiniah. Pada unsure batiniahlah kemudian lahi tasawuf, dan unsur kehidupan tasawuf ini mendapat perhatian cukup besar dari sumber ajaran islam, yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadist serta praktek kehidupan Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya. Dalam Al-Qur’an antara lain berbicara tentang kemungkinan manusia dengan Tuhan dapat saling mencintai (mahabbah) yang tercantum dalam firman Allah QS. Al-Maidah ayat 54 yang artinya;
“Hai orang-orang yang beriman, barang siapa di antara kamu yang murtad agamanya maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya”.
Perintah agar manusia senantiasa bertaubat, membersihkan diri dan memohon ampunan kepada Allah yang tertera dalam QS. Tahrim ayat 8;
“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang mukmin yang bersama dia; sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan: "Ya Rabb Kami, sempurnakanlah bagi Kami cahaya Kami dan ampunilah kami; Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu."
Al-qur’an juga mengingatkan manusia agar dalam hidupnya tidak diperbudak oleh kehidupan dunia dan harta benda.
“Wahai manusia, sesungguhnya janji Allah adalah benar, maka sekali-kali janganlah kehidupan dunia memperdayakan kamu dan sekali-kali janganlah orang yang pandai menipu, memperdayakan kamu tentang Allah”. (QS. Al-Fathir: 5)
“kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi. dan kepada Allah-lah dikembalikan segala urusan”. (QS. Al-Hadid: 5)
Dan untuk senantiasa bersikap sabar dalam menjalani pendekatan diri kepada Allah SWT.
“(Yaitu) orang-orang yang sabar, yang benar, yang tetap taat, yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah), dan yang memohon ampun di waktu sahur”. (QS. Ali Imran: 17)
Contoh kehidupan sufi banyak pula ditemukan dalam kehidupan Rasulullah sehari-hari, yang penuh dengan penderitaan dan waktunya dihabiskan hanya untuk beribadah dan berbakti kepada manusia. Sebelum di angkat menjadi Rasul, beliau sering bertakhanus di Gua Hiro untuk memohon petunjuk kepada Allah. Berulang kali beliau melakukan seperti itu dengan perbekalan hanya air putih dan buah kurma, terkadang juga mengenakan pakaian tambalan yang mencerminkan kehidupannya sederhana. Di tempat itulah beliau memisahkan diri dari kaum Quraisy yang sudah dinilai menyimpang ajaran Tuhan.
Anas bin Malik meriwayatkan bahwa Rasulullah pernah berkata: “ketakutanku kepada Allah melebihi dari orang lain dan ketakutanku kepada-Nya tak ada tolok bandingnya. Kadang kala kulalui tiga puluh hari lamanya dengan tidak mempunyai simpanan makanan di rumah, sehingga Bilal datang membawa sepotong roti yang kami makan bersama.
Ibnu Mas’ud pernah masuk kekamar Rasullah dan pada saat itu Rasulullah sedang berbaring di atas sebuah tikar dari daun kurma yang memberi bekas pada pipinya. Ibnu mas’ud bertanya: “ Wahai Rasulullah apakah tidak baik kucarikan sebuah bantal untukmu?. Rasulullah menjawab: “Tak ada hajatku untuk itu, aku dan dunia laksana seorang yang mufassir sebentar berteduh di kala panas terik di bawah naungan sepohon kayu yang rindang untuk kemudian berangkat lagi untuk meneruskan arah tujuan”.
Para sahabat besar yang mencontoh kehidupan Rasulullah dan dalam kehidupan mereka penuh dengan kesederhanaan yang menunjukkan bahwa perhatian mereka hanya tertuju kepada Allah dan berbakti kepada umat manusia. Seperti Abu Bakar yang hidup hanya menggunakan sehelai pakaian bahkan harta kekayaannya dipergunakan untuk kepentingan agama dan negara. Ia serahkan seluruh kehidupannya untuk berbakti kepada Allah dan masyarakat.
Masih banyak lagi kisah-kisah kehidupan Rasulullah dan para sahabatnya yang menjadi rujukan tasawuf. Semua itu menggambarkan kehidupan yang penuh dengan kesederhanaan, yang menunjukkan atas kesufiannya dan tercantum sebagai sumber tasawuf.

Rabu, 14 Januari 2009

AYAT YANG ‘AMM DAN KHOSH
A. Pengertian dan Bentuk-bentuk lafadz ‘Amm
‘Amm adalah suatu lafadz yang mencakup segala yang pantas baginya tanpa ada pembatasan.
‘Amm adalah lafadz-lafadz yang tercakup dan termasuk semua satuan-satuan yang ada dalam lafadz itu tanpa menghitung ukuran tertentu dari satuan –satuan tersebut.
‘Amm adalah lafal yang diciptakan untuk pengertian umum sesuai dengan pengertian lafal itu sendiri tanpa dibatasi dengan jumlah tertentu.
Ada banyak kata yang menunjukkan lafadz ‘Amm, seperti:
a) Lafadz kull (setiap) dan jami’( semua)
Kullu nafsi dza iqatul maut
“ Setiap yang memiliki jiwa pasti akan merasakan mati “ (QS. Al-Imran: 185)
Huwalladzi khalaqa lakum ma fil ardhi jami’a
“ Dialah Allah yang menjadikan untukmu segala yang ada secara keseluruhan ” (QS.Al-Baqarah)
b) Lafadz jama’ yang disertai alif dan lam di awalnya
Wal walidatu yurdhi’na awla dahunna hawlaini kamilaini
“ para ibu-ibu (hendaklah) menyusui anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi oaring yang ingin menyempurnakan penyusuannya “ (QS. Al-Baqarah: 233)
Lafadz al-walidat dalam ayat tersebut bersifat umum yang mencakup setiap yang bernama ibu.
c) Lafadz yang di ma’rifatkan dengan “al”
Innal insana lafi khusrin
“ Sesungguhnya manusia dalam keadaan rugi” (QS. Al-Ashr: 2)
d) Isim nakirah yang dinafikan (ditolak) dan dinahikan (ditiadakan)
Wala junaha ‘aliakum antankihuhunna idza ataitumuhunna ujurahunna
“ Dan tidak ada dosa atas kamu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya” (QS. Al-Mumtahanah: 10)
e) Isim maushul (kata ganti penghubung)
Walladzani ya’tiyaniha minkum qadzuhuma
“ Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji di antara kamu “ (QS. An-Nisa’: 16)
f) Isim syarat (kata benda yang mensyaratkan)
Wa man qatala mu’minan khata’an fatahriru raqabatin mu’minatin wa diyatum muslimatun ila ahlihi illa an yashshaqu
“ Dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena disengaja (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya, kecuali jika mereka bersedekah “ (QS. An-Nisa: 92)
Mengenai lafadz ‘amm ini, banyak para ulama yang yang berbeda pendapat tentang shiqot , apakah ‘amm di dalam bahasa mempunyai sighot yang khusus menunjukkannya atau tidak?. Hal ini telah menggugah sebagian ulama berpendapat di dalam bahasa dan untuk menunjukkan makna ‘amm.
Ada beberapa argument yang mendukung pendapatnya dari dalil-dalil Nashiyah (tekstual), Ijma’iyah (kesepakatan para ulama), dan Ma’nawiyah (kontekstual), di antaranya:

1. Dalil-dalil Nashiyah, ialah firman Allah
“ Dan Nuh berseru kepada Tuhannya; Wahai Tuhanku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji-Mu itulah yang benar. Dan Engkau yang paling adil. Allah berfirman; Hai Nuh sesungguhnya ia tidak termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan) “ (QS. Hud: 45-46)
Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa Nabu Nuh menghadap kepada Allah dengan permohonan untuk keluarganya, karena ia berpegang teguh pada firman Allah yang berbunyi;
Inna munajjuka wa ahlaka
“ sesungguhnya Kami akan menyelamatkanmu dan keluargamu “ (QS. Al-Ankabut: 33)
Allah membenarkan apa yang dikatakan Nuh, karena Allah menjawab dengan suatu perkataan yang menunjukkan bahwa anaknya itu tidak termasuk keluarganya. Apabila idhofah (penyandaran) kata “keluarga” kepada “Nuh” tidak menunjukkan makna ‘amm, maka jawaban Allah tersebut benar.

2. Dalil-dalil Ijma’iyah, yakni yang menjadi kesepakatan shahabat mengenai firman Allah yaitu;
Azzaniyatu wazzani fajlidu kulla wahidin minhuma miata jaldah
“ perempuan dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap orang dari keduanya seratus dari kali deraan “ (QS. An-Nur: 2)
Wassariqu wassariqatu faqtha’u aidiyahuma
“ laki-laki dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya “ (QS. Al-Maidah: 38)
Ayat tersebut merupakan ‘amm, berlaku dan duterapkan bagi setiap orang yang berzina dan mencuri.

3. Dalil-dalil Ma’nawiyah, bahwa makna ‘amm itu dapat dipahami dari penggunaan lafadz-lafadz syarat, yaitu istifham (pertanyaan), dan mausul (bersambung). Dalam firman Allah:
Qul man anzalal kitabai ladzi ja’abihi musa
“ katakanlah; siapakah yang menurunkan Kitab (taurat) yang dibawa Musa?” (QS. Al-An’am: 91)
Ayat di atas berfungsi untuk mendustakan mereka yang berkata;
Ma ‘anzalallahu ‘ala basyarim minsyai’
“ Allah tidak menurunkan sesuatu apa pun kepada manusia ” (QS. Al-An’am: 91)\

B. Macam-macam Lafadz ‘Amm
Berdasarkan pengkajian terhadap nash-nash, ditetapkan bahwa ‘Amm itu terbagi manjadi tiga, yaitu:
1. ‘Amm yang tetap pada keumumannya (albaqi ‘ala ‘amumihi)
Adalah ‘Amm yang disertai dengan qarinah (indikasi) yang dapat meniadakan kemungkinan takhsis (pengkhususan). Misalnya, ayat 6 surat Hud:
Wama mindabbatin fil ardhi illa ‘alallahi rizquha waya’lamu mustaqarraha wamus tawda’aha kullun fi kitabim mubin
“ Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh) “ (QS. Hud: 6)
Yang dimaksud dengan binatang melata dalam ayat tersebut adalah umum, mencakup seluruh jenis tanpa kecuali, karena diyakini bahwa setiap yang melata di permukaan bumi adalah Allah yang memberi rezekinya. Dan Al-Qadhi Jalaluddin Al-Baqini mengatakan, “ amm yang seperti yang jarang ditemukan sebab tidak ada satu pun lafadz ‘amm kecuali di dalamnya terdapat takhsis ”. Tetapi Az-Zarkasyi dalam Al-Burhan mengemukakan, “ ‘amm yang demikian banyak terdapat dalam Al-Qur’an ”. kemudian beliau member beberapa contoh, yaitu:
Wallahu bikulli syai’in ‘alim
“ Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu “.(QS. An-Nisa’: 176)
Wala yadhlimu rabbuka ahada
“ Dan Tuhanmu tidak menganiaya seorang juapun “ (QS. Al-Kahfi: 49)
2. ‘Amm yang dimaksud adalah khusus (al-‘amm al-murad bihi al-khusus)
Yaitu ‘amm yang disertai dengan indikasi yang dapat meniadakan ketetapan ‘amm kepada keumumnya dan dapat menjelaskan bahwa yang dimaksud dengannya ialah sebagian dari satuannya. Misalnya,
Makana liahlil madinati waman haulahum minal a’rabianyatakhallafu ‘an rasulillahi wala yarghabu bianfusihim ‘annafsihi
“ Tidaklah sepatutnya bagi penduduk Madinah dan orang-orang Arab Badui yang berdiam di sekitar mereka, tidak turut menyertai Rasulullah (pergi perang) dan tidak patut (pula) bagi mereka lebih mencintai diri mereke daripada diri Rasul ” (QS. At-Taubah: 120)
Sepintas lalu dipahami bahwa ayat tersebut menunjukkan makna umum, yaitu setiap penduduk Madinah dan orang-orang arab di sekitarnya termasuk orang-orang sakit dan oramg-orang lemah harus turut menyertai Rasulullah pergi berperang. Namun, yang dimaksud ayat tersebut bukanlah makna umum itu, tetapi hanyalah orang-orang yang mampu.
3. ‘Amm yang dikhususkan (al’amm al-khusus)
‘Amm ini tidak disertai dengan indikasi yang dapat meniadakan kemungkinan kekhususannya atau ‘amm yang terbebas dari indikasi baik menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah makna umumnya atau adalah sebagian cakupannya.
wa kulu wasyrabu hatta yatabayyanalakum
“ Makanlah dan minumlah hingga terang bagimu “ (QS. Al-Baqarah: 187)
Dalam membedakan ‘amm yang dimaksud sebagai kekhususan dan ‘amm yang dikhususkan. Menurut Imam Al-Syaukani bahwa ‘amm yang dimaksudkan sebagai kekhususan ialah ‘amm yang menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan ‘amm itu khusus bukan umum.
Menurut Abu Hanifah, penunjukkan lafadz ‘amm pada seluruh satuan yang dicakupnya adalah qath’i (pasti). Dan kepastiannya berlaku selama belum terbukti pernah ditakhshis oleh dalil yang sama bobotnya,seperti oleh ayat Al-qur’an, hadist mutawatir atau hadist masyhur.
Aliran ini menggunakan alasan kebahasaan, bahwa suatu lafadz jika telah ditetapkanoleh penciptanya untuk seluruh cakupannya, maka lafadz itu menunjukkan kepada satuannya itu secara pasti dan dalam penggunaannya harus sesuai dengan penciptaannya itu.jika seseorang bermaksud menggunakan suatu lafadz kepada selain pengertian aslinya itu, maka perlu diiringi dengan tanda-tanda yang menunjukkan kepada pengertian yang dimaksudnya. Selama tidak ada tanda, maka secara qath’i kita harus mengartikannya dengan makna umum.


C. Lafadz Khosh
Khosh ialah suatu lafadz yang menunjukkan satu jenis atau beberapa satuan yang terbatas.
Khosh adalah lafadz yang menunjukkan pada perseorangan tertentu, seperti kata Muhammad; atau menunjukkan satuan jenis, seperti laki-laki; atau menunjukkan beberapa satuan , seperti limabelas; dan lafadz-lafadz lain yang menunjukkan bilangan beberapa satuan tetapi tidak mencakup satuan tersebut.
Khosh adalah lafadz yang mengandung satu pengertian secara tunggal atau beberapa pengertian yang terbatas. Contoh lafadz khosh adalah ayat 89 surat al-Maidah:
fakaffaratuhu ith’amu ‘asyara masakina min awsati ma tuth’imuna ahlikum awkiswatikum
“ maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah member makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan pada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka ”(QS. Al-Maidah: 89)
Lafadz ‘asyara dalam ayat tersebut diciptakan hanya untuk bilangan sepuluh, tidak lebih dan tidak kurang. Arti sepuluh itu sendiri sudah pasti tidak ada kemungkinan lain. Sebagai contoh terdapat dalam satu ayat yang mengandung khosh dan ‘amm atau dengan kata lain, terdapat ayat ‘amm yang langsung ada mukhashisnya, yaitu pada QS. An-Nur ayat 31:
“ Wala yubdina zinatahunna illa madhahara minha” (QS. An-Nur: 31)
Pada lafadz zinatahunna menunjukkan ‘amm di mana juga terdapat mukhashisnya pada lafadz madhahara. Dan dalam lafadz madhahara ini juga terdapat hadist ahad yang menjelaskan ketentuan wajah dan telapak tangan yang boleh tidak tertutup. Madhahara lafadz khosh yang disebut Takhshis Isti’na’ bil Muttashil.
D. Dalil Pengkhususan
Berdasarkan lafadz, dalil pengkhususan (takhsis) terkadang tidak terlepas dari nash ‘amm. Dalam arti lain bahwa dalil takhsis itu berkaitan dengan nash tersebut atau merupakan bagian daripadanya. Mukhashis (yang mengkhususkan) ada kalanya muttashil (antara ‘amm dengan mukhashis tidak terpisah) oleh sesuatu hal, dan juga munfashil kebalikan dari muttashil. Dalil-dalil yang paling jelas berhubungan dan tidak terpisah dari ‘amm, di antaranya:
1. Isti’na (pengecualian)
“ kecuali jika muamalah itu perdagangan tunai yang kami jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa lagi bagi kamu jika kamu menulisnya “ (QS. Al-Baqarah: 282)
2. Menjadi Sifat
Man nisa ’ikumulaati dakhaltum bihinn
” dari istrimu yang telah kamu campuri ”
Dalam lafadz ”allati dakhaltum bihinn” merupakan sifat bagi lafadz ”nisa’ ikum”. Maksudnya anak perempuan istri yang telah digauli itu haram dinikahi oleh suami, dan halal bila belum menggaulinya.
3. Menjadi Syarat
Kutiba ’alaikum idza hadhara ahadakumul mautu intaraka khairan
” Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta banyak ” (QS. Al-Baqarah: 180)
Pada lafadz ”intaraka khairan” yakni meninggalkan harta adalah syarat dalam wasiat.
4. Sebagai Ghayah (batasan sesuatu)
Wa aidiyakum ilal marafiqi
” dan tanganmu sampai dengan siku ”(QS. Al-Maidah: 6)
5. Sebagai badal ba’dh min kull (pengganti sebagian keseluruhan)
Walillahi ’alannasi hijjul baiti manistatha’a ilaihi sabila
” menunaikan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah yaitu bagi orang-orang yang mampu melakukannya ”(QS. Al-Imran: 97)
Lafadz ” man istatha’a” menunjukkan badal dari ”annas”, maka kewajiban haji hanya khusus bagi mereka yang mampu.
Sedangkan dalil Mukhashis munfashil ialah mukhshis yang terdapat di ayat, hadist, ijma, atau qiyas. Misalnya,yang ditakhshis oleh Al-qur’an dalam QS. Al-Baqarah ayat 228:
Wal muthallaqatu yatarabashna bi anfusihinna tsalasata quru’
” perempuan-perempuan yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu tiga kali quru’)”
Ayat tersebut bersifat umum, mencakup setiap istri yang dicerai baik keadaan hamil maupun tidak, dan sudah digauli maupun belum. Namun, keumumannya ini ditakhshis oleh ayat:
Wa llatul ahmali ajalahunna an yadha’na hamlahunn
”Dan perempuan-perempuan yang hamil, masa iddah mereka ialah sampai mereka melahirkannya”(QS. Ath-thalaq:4)
Idza nakahtumul mu’minati tsumma thalaq tumuhunna min qobli tamassuhunna fama lakum ’alaihinna min iddah
”Kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya, maka sekali-kali tidak wajib atas mereka iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya”. (QS. Al-Ahzab:49).
Adapun dalil yang ditakhsis oleh hadist seperti pada surat Al-Baqarah: 275
Wahallallahul bai’a wa harramar riba
”Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”.
Ayat tersebut di takhsis dengan hadist dari Ibnu Umar: Rasulullah SAW melarang mengambil upah dari air mani kuda jantan.
Dan contoh ‘amm yang ditakhsis oleh ijma adalah ayat tentang warisan, seperti:
Yushikumullahu fi aulabikum lidz-dzakari mitslu hazh zhil untsayain
“Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu”(QS.Annisa: 11)
Berdasarkan ijma, budak tidak mendapat warisan karena sifat budak merupakan faktor penghalang hak waris. Sedangkan yang ditakhsis oleh qiyas adalah ayat tentang zina dalam surat An-Nur ayat 2:
Az-zaniyatu wazzani fajlidu kulla wahidin minhuma mi’atajaldah
Di sini budak laki-laki ditakhsiskan dengan cara diqiyaskan kepada budak perempuan. Dan di tegaskan dalam:
Fa’alaihinna nisfu ma’alal muhshanati minal ‘adzab
“Maka atas mereka separuh hukuman dari hukuman perempuan-perempuan merdeka yang bersuami”. (QS. An-Nisa:25).
E. Dalalah ’Amm
Beberapa ulama ushul tidak berbeda pendapat bahwa setiap lafadz umum seperti yang telah diterangkan, menurut bahasa dibuat untuk mencakup seluruh satuan yang ada di dalmnya. Tidak berarti bahwa lafadz itu ketika muncul dalam nash syara’ dapat menunjukkan ketetapan hukum yang telah di nash bagi setiap satuan yang ada dalam lafadz itu, kecuali apabila terdapat dalil yang mengkhususkan dalil itu bagi sebagian satuan tersebut. Akan tetapi ulama ushul berbeda pendapat mengenai karakteristik dalalah ’amm yang tidak mengkhususkan tercakupnya semua satuannya tersebit, apakah karakteristik itu merupakan dalah yang pasti atau dalah yang bersifat dugaan (dhonni).
Di antara mereka ada sekelompok yang berpendapat, di dalamnya termasuk ulama Syafi’iyah , bahwa ’amm yang tidak dikhususkan itu berarti tampak keumumannya, namun tidak pasti. Jadi ’amm itu dugaan tercakupnya adalah seluruh satuannya. Apabila’amm itu dikhususkan maka dugaannya sisa satuan-satuannya setelah pengkhususan itu. Atas dasar ini dapat di ambil kesimpulan bahwa mengkhususkan ’amm dengan dalil dhonni adalah sah secara mutlak . baik dalil dhonni itu mengkhususkan yang pertama maupun yang kedua. Karena dalil dhonni itu bisa dikhususkan dengan dalil dhonni itu juga. Dan tidak terjadi pertentangan antara yang ’amm dan yang khas qath’i, sebab syarat terjadinya kontradiksi antara kedua dalil tersebut adalah seandainya keduanya sama-sama bersifat pasti atau dugaan. Namun yang khas diamalkan menurut arti yang ditunjukkan olehnya dan yang ’amm diamalkan menurut arti selain yang ditunjukkan olehnya. Alasan pendapat mereka ialah bahwa pengkajian terhadap nash-nash syara’ yang di dalamnya terdapat lafadz-lafadz umum menunjukkan tidak ada dalil umum kecuali harus dikhususkan. Dan dalil umum yang masih tetap pada keumumannya tidak bisa dipahami kecuali terdapat qarinah yang menyertainya, dan jika menurut kebiasaan, setiap dali ’amm itu tidak tetap pada keumumannya jika terdapat dalil ’amm yang juga ada dalil lain yang mengkhususkannya, maka dengan kata lain dalil ’amm itu mengandung pengertian yang dikhususkan. Oleh karena itu, dalil ’amm tidak lagi ditemukan dalil lain yang mengkhususkannya karena sudah jelah pada keumumannya, namun tidak pasti.
Adapun ulama lain, salah satunya termasuk ulama Hanafiyah berpendapat bahwa ’amm yang tidak dikhususkan itu adalah qath’i dalam keumumannya. Jadi semua satuan dalalahnya bersifat pasti. Apabila dikhususkan maka dalalah ’amm berlaku terhadap sisa satuannya setelah dikhususkan, yakni dugaan dugaan dalalahnya terdapat sisa satuan tersebut. Menurut aliran ini ’amm yang tidak dikhususkan itu tercakup semua satuannya, dan dalalahnya bersifat pasti. Setelah dilakukan pengkhususan maka satuan-satuan dalalah ’amm tersebut menjadi dugaan.
Berdasarkan hal ini dapat disimpulkan bahwa ’amm itu tidak sah jika pertama kali dikhususkan oleh dalil dhonni, sebab dalil dhonni itu tidak bisa mengkhususkan dalil qath’i. Namun sah apabila ’amm dikhususka oleh dalil dhoanni kedua atau ketiga kalinya. Karena ’amm itu setelah dikhususkan yang pertama, ia menjadi dhonni, kemudian dhonni mengkhususkan dhonni. Dan bahwa pertentangan antara ’amm yang belum dikhususkan dan khas yang qath’i itu terjadi lantaran keduanya sama-sama bersifat qath’i. Alasan mereka tentang ini ialah lafadz ’amm itu pada hakikatnya dibuat untuk mecakup semua satuan yang ada di dalamnya dan ketika lafadz tersebut dikeluarkan, lafadz itu menunjukkan arti yang sesungguhnya secara qath’i. Maka ’amm yang lepas dari qarinah yang mengkhususkannya, menunjukkan keumumannya secara qath’i dan tidak bisa dipalingkan dari arti yang sesungguhnya kecuali oleh dalil. Oleh karena itu, para sahabat, tabi’in, dan mujtahid mengambil dalil keumuman lafadz ’amm yang terdekat dalam nash-nash yang bebas dari pengkhususan.
Mereka menolak pengkhususan tanpa dalil. Jika ’amm dikhususkan oleh sebuah dalil, hal ini berarti bahwa ’amm itu berpaling dari arti sesungguhnya, yang umum. Dan jadilah ’amm itu mempunyai kemungkinan untuk dikhususkan yang kedua dengan dikiaskan kepada pengkhususkan yang pertama. Karena alasan pengkhususan pertama kadang-kadang tampak pada satuan-satuan yang lain. Maka seakan-akan pengkhususan pertama itu telah membuka lubang keumuman dan mendasari lubang-lubang lain. Karena itu jadilah ’amm yang telah dikhususkan itu sisa-sisa satuannya bersifat dhonni.
Jelasnya, setelah mengadakan komparasi antara dalil-dalil kedua kelompok ulama di atas beserta contoh-contoh dan bukti-buktinya, ternyata bahwa antara kedua pendapat itu tidak terdapat perbedaan esensial dari segi amaliyahnya. Sebab antara keduanya tidak terdapat perbedaan bahwa ’amm itu wajib berlaku keumumannya sampai ada dalil yang mengkhususkannya. Dan juga tidak terdapat perbedaan bahwa ’amm itu mungkin bisa dikhususkan oleh dalil, sedangkan pengkhususan tanpa dalil adalah takwil yang tidak dapat diterima. Adapun mereka yang mengatakan bahwa ’amm yang tidak ada dalil pengkhususannya, keumuman dalalahnya bersifat pasti, mereka menghendaki kepastian dalalah bahwa ’amm itu secara mutlak tidak menerima pengkhususan. Mereka hanya menghendaki bahwa ’amm itu tidak dikhususkan kecuali oleh dalil. Dan mereka mengatakan ’amm itu bersifat dhonni keumumannya, tidak menghendaki bahwa ’amm secara mutlak bisa dikhususkan