Cari Blog Ini

Rabu, 14 Januari 2009

AYAT YANG ‘AMM DAN KHOSH
A. Pengertian dan Bentuk-bentuk lafadz ‘Amm
‘Amm adalah suatu lafadz yang mencakup segala yang pantas baginya tanpa ada pembatasan.
‘Amm adalah lafadz-lafadz yang tercakup dan termasuk semua satuan-satuan yang ada dalam lafadz itu tanpa menghitung ukuran tertentu dari satuan –satuan tersebut.
‘Amm adalah lafal yang diciptakan untuk pengertian umum sesuai dengan pengertian lafal itu sendiri tanpa dibatasi dengan jumlah tertentu.
Ada banyak kata yang menunjukkan lafadz ‘Amm, seperti:
a) Lafadz kull (setiap) dan jami’( semua)
Kullu nafsi dza iqatul maut
“ Setiap yang memiliki jiwa pasti akan merasakan mati “ (QS. Al-Imran: 185)
Huwalladzi khalaqa lakum ma fil ardhi jami’a
“ Dialah Allah yang menjadikan untukmu segala yang ada secara keseluruhan ” (QS.Al-Baqarah)
b) Lafadz jama’ yang disertai alif dan lam di awalnya
Wal walidatu yurdhi’na awla dahunna hawlaini kamilaini
“ para ibu-ibu (hendaklah) menyusui anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi oaring yang ingin menyempurnakan penyusuannya “ (QS. Al-Baqarah: 233)
Lafadz al-walidat dalam ayat tersebut bersifat umum yang mencakup setiap yang bernama ibu.
c) Lafadz yang di ma’rifatkan dengan “al”
Innal insana lafi khusrin
“ Sesungguhnya manusia dalam keadaan rugi” (QS. Al-Ashr: 2)
d) Isim nakirah yang dinafikan (ditolak) dan dinahikan (ditiadakan)
Wala junaha ‘aliakum antankihuhunna idza ataitumuhunna ujurahunna
“ Dan tidak ada dosa atas kamu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya” (QS. Al-Mumtahanah: 10)
e) Isim maushul (kata ganti penghubung)
Walladzani ya’tiyaniha minkum qadzuhuma
“ Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji di antara kamu “ (QS. An-Nisa’: 16)
f) Isim syarat (kata benda yang mensyaratkan)
Wa man qatala mu’minan khata’an fatahriru raqabatin mu’minatin wa diyatum muslimatun ila ahlihi illa an yashshaqu
“ Dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena disengaja (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya, kecuali jika mereka bersedekah “ (QS. An-Nisa: 92)
Mengenai lafadz ‘amm ini, banyak para ulama yang yang berbeda pendapat tentang shiqot , apakah ‘amm di dalam bahasa mempunyai sighot yang khusus menunjukkannya atau tidak?. Hal ini telah menggugah sebagian ulama berpendapat di dalam bahasa dan untuk menunjukkan makna ‘amm.
Ada beberapa argument yang mendukung pendapatnya dari dalil-dalil Nashiyah (tekstual), Ijma’iyah (kesepakatan para ulama), dan Ma’nawiyah (kontekstual), di antaranya:

1. Dalil-dalil Nashiyah, ialah firman Allah
“ Dan Nuh berseru kepada Tuhannya; Wahai Tuhanku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji-Mu itulah yang benar. Dan Engkau yang paling adil. Allah berfirman; Hai Nuh sesungguhnya ia tidak termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan) “ (QS. Hud: 45-46)
Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa Nabu Nuh menghadap kepada Allah dengan permohonan untuk keluarganya, karena ia berpegang teguh pada firman Allah yang berbunyi;
Inna munajjuka wa ahlaka
“ sesungguhnya Kami akan menyelamatkanmu dan keluargamu “ (QS. Al-Ankabut: 33)
Allah membenarkan apa yang dikatakan Nuh, karena Allah menjawab dengan suatu perkataan yang menunjukkan bahwa anaknya itu tidak termasuk keluarganya. Apabila idhofah (penyandaran) kata “keluarga” kepada “Nuh” tidak menunjukkan makna ‘amm, maka jawaban Allah tersebut benar.

2. Dalil-dalil Ijma’iyah, yakni yang menjadi kesepakatan shahabat mengenai firman Allah yaitu;
Azzaniyatu wazzani fajlidu kulla wahidin minhuma miata jaldah
“ perempuan dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap orang dari keduanya seratus dari kali deraan “ (QS. An-Nur: 2)
Wassariqu wassariqatu faqtha’u aidiyahuma
“ laki-laki dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya “ (QS. Al-Maidah: 38)
Ayat tersebut merupakan ‘amm, berlaku dan duterapkan bagi setiap orang yang berzina dan mencuri.

3. Dalil-dalil Ma’nawiyah, bahwa makna ‘amm itu dapat dipahami dari penggunaan lafadz-lafadz syarat, yaitu istifham (pertanyaan), dan mausul (bersambung). Dalam firman Allah:
Qul man anzalal kitabai ladzi ja’abihi musa
“ katakanlah; siapakah yang menurunkan Kitab (taurat) yang dibawa Musa?” (QS. Al-An’am: 91)
Ayat di atas berfungsi untuk mendustakan mereka yang berkata;
Ma ‘anzalallahu ‘ala basyarim minsyai’
“ Allah tidak menurunkan sesuatu apa pun kepada manusia ” (QS. Al-An’am: 91)\

B. Macam-macam Lafadz ‘Amm
Berdasarkan pengkajian terhadap nash-nash, ditetapkan bahwa ‘Amm itu terbagi manjadi tiga, yaitu:
1. ‘Amm yang tetap pada keumumannya (albaqi ‘ala ‘amumihi)
Adalah ‘Amm yang disertai dengan qarinah (indikasi) yang dapat meniadakan kemungkinan takhsis (pengkhususan). Misalnya, ayat 6 surat Hud:
Wama mindabbatin fil ardhi illa ‘alallahi rizquha waya’lamu mustaqarraha wamus tawda’aha kullun fi kitabim mubin
“ Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh) “ (QS. Hud: 6)
Yang dimaksud dengan binatang melata dalam ayat tersebut adalah umum, mencakup seluruh jenis tanpa kecuali, karena diyakini bahwa setiap yang melata di permukaan bumi adalah Allah yang memberi rezekinya. Dan Al-Qadhi Jalaluddin Al-Baqini mengatakan, “ amm yang seperti yang jarang ditemukan sebab tidak ada satu pun lafadz ‘amm kecuali di dalamnya terdapat takhsis ”. Tetapi Az-Zarkasyi dalam Al-Burhan mengemukakan, “ ‘amm yang demikian banyak terdapat dalam Al-Qur’an ”. kemudian beliau member beberapa contoh, yaitu:
Wallahu bikulli syai’in ‘alim
“ Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu “.(QS. An-Nisa’: 176)
Wala yadhlimu rabbuka ahada
“ Dan Tuhanmu tidak menganiaya seorang juapun “ (QS. Al-Kahfi: 49)
2. ‘Amm yang dimaksud adalah khusus (al-‘amm al-murad bihi al-khusus)
Yaitu ‘amm yang disertai dengan indikasi yang dapat meniadakan ketetapan ‘amm kepada keumumnya dan dapat menjelaskan bahwa yang dimaksud dengannya ialah sebagian dari satuannya. Misalnya,
Makana liahlil madinati waman haulahum minal a’rabianyatakhallafu ‘an rasulillahi wala yarghabu bianfusihim ‘annafsihi
“ Tidaklah sepatutnya bagi penduduk Madinah dan orang-orang Arab Badui yang berdiam di sekitar mereka, tidak turut menyertai Rasulullah (pergi perang) dan tidak patut (pula) bagi mereka lebih mencintai diri mereke daripada diri Rasul ” (QS. At-Taubah: 120)
Sepintas lalu dipahami bahwa ayat tersebut menunjukkan makna umum, yaitu setiap penduduk Madinah dan orang-orang arab di sekitarnya termasuk orang-orang sakit dan oramg-orang lemah harus turut menyertai Rasulullah pergi berperang. Namun, yang dimaksud ayat tersebut bukanlah makna umum itu, tetapi hanyalah orang-orang yang mampu.
3. ‘Amm yang dikhususkan (al’amm al-khusus)
‘Amm ini tidak disertai dengan indikasi yang dapat meniadakan kemungkinan kekhususannya atau ‘amm yang terbebas dari indikasi baik menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah makna umumnya atau adalah sebagian cakupannya.
wa kulu wasyrabu hatta yatabayyanalakum
“ Makanlah dan minumlah hingga terang bagimu “ (QS. Al-Baqarah: 187)
Dalam membedakan ‘amm yang dimaksud sebagai kekhususan dan ‘amm yang dikhususkan. Menurut Imam Al-Syaukani bahwa ‘amm yang dimaksudkan sebagai kekhususan ialah ‘amm yang menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan ‘amm itu khusus bukan umum.
Menurut Abu Hanifah, penunjukkan lafadz ‘amm pada seluruh satuan yang dicakupnya adalah qath’i (pasti). Dan kepastiannya berlaku selama belum terbukti pernah ditakhshis oleh dalil yang sama bobotnya,seperti oleh ayat Al-qur’an, hadist mutawatir atau hadist masyhur.
Aliran ini menggunakan alasan kebahasaan, bahwa suatu lafadz jika telah ditetapkanoleh penciptanya untuk seluruh cakupannya, maka lafadz itu menunjukkan kepada satuannya itu secara pasti dan dalam penggunaannya harus sesuai dengan penciptaannya itu.jika seseorang bermaksud menggunakan suatu lafadz kepada selain pengertian aslinya itu, maka perlu diiringi dengan tanda-tanda yang menunjukkan kepada pengertian yang dimaksudnya. Selama tidak ada tanda, maka secara qath’i kita harus mengartikannya dengan makna umum.


C. Lafadz Khosh
Khosh ialah suatu lafadz yang menunjukkan satu jenis atau beberapa satuan yang terbatas.
Khosh adalah lafadz yang menunjukkan pada perseorangan tertentu, seperti kata Muhammad; atau menunjukkan satuan jenis, seperti laki-laki; atau menunjukkan beberapa satuan , seperti limabelas; dan lafadz-lafadz lain yang menunjukkan bilangan beberapa satuan tetapi tidak mencakup satuan tersebut.
Khosh adalah lafadz yang mengandung satu pengertian secara tunggal atau beberapa pengertian yang terbatas. Contoh lafadz khosh adalah ayat 89 surat al-Maidah:
fakaffaratuhu ith’amu ‘asyara masakina min awsati ma tuth’imuna ahlikum awkiswatikum
“ maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah member makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan pada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka ”(QS. Al-Maidah: 89)
Lafadz ‘asyara dalam ayat tersebut diciptakan hanya untuk bilangan sepuluh, tidak lebih dan tidak kurang. Arti sepuluh itu sendiri sudah pasti tidak ada kemungkinan lain. Sebagai contoh terdapat dalam satu ayat yang mengandung khosh dan ‘amm atau dengan kata lain, terdapat ayat ‘amm yang langsung ada mukhashisnya, yaitu pada QS. An-Nur ayat 31:
“ Wala yubdina zinatahunna illa madhahara minha” (QS. An-Nur: 31)
Pada lafadz zinatahunna menunjukkan ‘amm di mana juga terdapat mukhashisnya pada lafadz madhahara. Dan dalam lafadz madhahara ini juga terdapat hadist ahad yang menjelaskan ketentuan wajah dan telapak tangan yang boleh tidak tertutup. Madhahara lafadz khosh yang disebut Takhshis Isti’na’ bil Muttashil.
D. Dalil Pengkhususan
Berdasarkan lafadz, dalil pengkhususan (takhsis) terkadang tidak terlepas dari nash ‘amm. Dalam arti lain bahwa dalil takhsis itu berkaitan dengan nash tersebut atau merupakan bagian daripadanya. Mukhashis (yang mengkhususkan) ada kalanya muttashil (antara ‘amm dengan mukhashis tidak terpisah) oleh sesuatu hal, dan juga munfashil kebalikan dari muttashil. Dalil-dalil yang paling jelas berhubungan dan tidak terpisah dari ‘amm, di antaranya:
1. Isti’na (pengecualian)
“ kecuali jika muamalah itu perdagangan tunai yang kami jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa lagi bagi kamu jika kamu menulisnya “ (QS. Al-Baqarah: 282)
2. Menjadi Sifat
Man nisa ’ikumulaati dakhaltum bihinn
” dari istrimu yang telah kamu campuri ”
Dalam lafadz ”allati dakhaltum bihinn” merupakan sifat bagi lafadz ”nisa’ ikum”. Maksudnya anak perempuan istri yang telah digauli itu haram dinikahi oleh suami, dan halal bila belum menggaulinya.
3. Menjadi Syarat
Kutiba ’alaikum idza hadhara ahadakumul mautu intaraka khairan
” Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta banyak ” (QS. Al-Baqarah: 180)
Pada lafadz ”intaraka khairan” yakni meninggalkan harta adalah syarat dalam wasiat.
4. Sebagai Ghayah (batasan sesuatu)
Wa aidiyakum ilal marafiqi
” dan tanganmu sampai dengan siku ”(QS. Al-Maidah: 6)
5. Sebagai badal ba’dh min kull (pengganti sebagian keseluruhan)
Walillahi ’alannasi hijjul baiti manistatha’a ilaihi sabila
” menunaikan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah yaitu bagi orang-orang yang mampu melakukannya ”(QS. Al-Imran: 97)
Lafadz ” man istatha’a” menunjukkan badal dari ”annas”, maka kewajiban haji hanya khusus bagi mereka yang mampu.
Sedangkan dalil Mukhashis munfashil ialah mukhshis yang terdapat di ayat, hadist, ijma, atau qiyas. Misalnya,yang ditakhshis oleh Al-qur’an dalam QS. Al-Baqarah ayat 228:
Wal muthallaqatu yatarabashna bi anfusihinna tsalasata quru’
” perempuan-perempuan yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu tiga kali quru’)”
Ayat tersebut bersifat umum, mencakup setiap istri yang dicerai baik keadaan hamil maupun tidak, dan sudah digauli maupun belum. Namun, keumumannya ini ditakhshis oleh ayat:
Wa llatul ahmali ajalahunna an yadha’na hamlahunn
”Dan perempuan-perempuan yang hamil, masa iddah mereka ialah sampai mereka melahirkannya”(QS. Ath-thalaq:4)
Idza nakahtumul mu’minati tsumma thalaq tumuhunna min qobli tamassuhunna fama lakum ’alaihinna min iddah
”Kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya, maka sekali-kali tidak wajib atas mereka iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya”. (QS. Al-Ahzab:49).
Adapun dalil yang ditakhsis oleh hadist seperti pada surat Al-Baqarah: 275
Wahallallahul bai’a wa harramar riba
”Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”.
Ayat tersebut di takhsis dengan hadist dari Ibnu Umar: Rasulullah SAW melarang mengambil upah dari air mani kuda jantan.
Dan contoh ‘amm yang ditakhsis oleh ijma adalah ayat tentang warisan, seperti:
Yushikumullahu fi aulabikum lidz-dzakari mitslu hazh zhil untsayain
“Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu”(QS.Annisa: 11)
Berdasarkan ijma, budak tidak mendapat warisan karena sifat budak merupakan faktor penghalang hak waris. Sedangkan yang ditakhsis oleh qiyas adalah ayat tentang zina dalam surat An-Nur ayat 2:
Az-zaniyatu wazzani fajlidu kulla wahidin minhuma mi’atajaldah
Di sini budak laki-laki ditakhsiskan dengan cara diqiyaskan kepada budak perempuan. Dan di tegaskan dalam:
Fa’alaihinna nisfu ma’alal muhshanati minal ‘adzab
“Maka atas mereka separuh hukuman dari hukuman perempuan-perempuan merdeka yang bersuami”. (QS. An-Nisa:25).
E. Dalalah ’Amm
Beberapa ulama ushul tidak berbeda pendapat bahwa setiap lafadz umum seperti yang telah diterangkan, menurut bahasa dibuat untuk mencakup seluruh satuan yang ada di dalmnya. Tidak berarti bahwa lafadz itu ketika muncul dalam nash syara’ dapat menunjukkan ketetapan hukum yang telah di nash bagi setiap satuan yang ada dalam lafadz itu, kecuali apabila terdapat dalil yang mengkhususkan dalil itu bagi sebagian satuan tersebut. Akan tetapi ulama ushul berbeda pendapat mengenai karakteristik dalalah ’amm yang tidak mengkhususkan tercakupnya semua satuannya tersebit, apakah karakteristik itu merupakan dalah yang pasti atau dalah yang bersifat dugaan (dhonni).
Di antara mereka ada sekelompok yang berpendapat, di dalamnya termasuk ulama Syafi’iyah , bahwa ’amm yang tidak dikhususkan itu berarti tampak keumumannya, namun tidak pasti. Jadi ’amm itu dugaan tercakupnya adalah seluruh satuannya. Apabila’amm itu dikhususkan maka dugaannya sisa satuan-satuannya setelah pengkhususan itu. Atas dasar ini dapat di ambil kesimpulan bahwa mengkhususkan ’amm dengan dalil dhonni adalah sah secara mutlak . baik dalil dhonni itu mengkhususkan yang pertama maupun yang kedua. Karena dalil dhonni itu bisa dikhususkan dengan dalil dhonni itu juga. Dan tidak terjadi pertentangan antara yang ’amm dan yang khas qath’i, sebab syarat terjadinya kontradiksi antara kedua dalil tersebut adalah seandainya keduanya sama-sama bersifat pasti atau dugaan. Namun yang khas diamalkan menurut arti yang ditunjukkan olehnya dan yang ’amm diamalkan menurut arti selain yang ditunjukkan olehnya. Alasan pendapat mereka ialah bahwa pengkajian terhadap nash-nash syara’ yang di dalamnya terdapat lafadz-lafadz umum menunjukkan tidak ada dalil umum kecuali harus dikhususkan. Dan dalil umum yang masih tetap pada keumumannya tidak bisa dipahami kecuali terdapat qarinah yang menyertainya, dan jika menurut kebiasaan, setiap dali ’amm itu tidak tetap pada keumumannya jika terdapat dalil ’amm yang juga ada dalil lain yang mengkhususkannya, maka dengan kata lain dalil ’amm itu mengandung pengertian yang dikhususkan. Oleh karena itu, dalil ’amm tidak lagi ditemukan dalil lain yang mengkhususkannya karena sudah jelah pada keumumannya, namun tidak pasti.
Adapun ulama lain, salah satunya termasuk ulama Hanafiyah berpendapat bahwa ’amm yang tidak dikhususkan itu adalah qath’i dalam keumumannya. Jadi semua satuan dalalahnya bersifat pasti. Apabila dikhususkan maka dalalah ’amm berlaku terhadap sisa satuannya setelah dikhususkan, yakni dugaan dugaan dalalahnya terdapat sisa satuan tersebut. Menurut aliran ini ’amm yang tidak dikhususkan itu tercakup semua satuannya, dan dalalahnya bersifat pasti. Setelah dilakukan pengkhususan maka satuan-satuan dalalah ’amm tersebut menjadi dugaan.
Berdasarkan hal ini dapat disimpulkan bahwa ’amm itu tidak sah jika pertama kali dikhususkan oleh dalil dhonni, sebab dalil dhonni itu tidak bisa mengkhususkan dalil qath’i. Namun sah apabila ’amm dikhususka oleh dalil dhoanni kedua atau ketiga kalinya. Karena ’amm itu setelah dikhususkan yang pertama, ia menjadi dhonni, kemudian dhonni mengkhususkan dhonni. Dan bahwa pertentangan antara ’amm yang belum dikhususkan dan khas yang qath’i itu terjadi lantaran keduanya sama-sama bersifat qath’i. Alasan mereka tentang ini ialah lafadz ’amm itu pada hakikatnya dibuat untuk mecakup semua satuan yang ada di dalamnya dan ketika lafadz tersebut dikeluarkan, lafadz itu menunjukkan arti yang sesungguhnya secara qath’i. Maka ’amm yang lepas dari qarinah yang mengkhususkannya, menunjukkan keumumannya secara qath’i dan tidak bisa dipalingkan dari arti yang sesungguhnya kecuali oleh dalil. Oleh karena itu, para sahabat, tabi’in, dan mujtahid mengambil dalil keumuman lafadz ’amm yang terdekat dalam nash-nash yang bebas dari pengkhususan.
Mereka menolak pengkhususan tanpa dalil. Jika ’amm dikhususkan oleh sebuah dalil, hal ini berarti bahwa ’amm itu berpaling dari arti sesungguhnya, yang umum. Dan jadilah ’amm itu mempunyai kemungkinan untuk dikhususkan yang kedua dengan dikiaskan kepada pengkhususkan yang pertama. Karena alasan pengkhususan pertama kadang-kadang tampak pada satuan-satuan yang lain. Maka seakan-akan pengkhususan pertama itu telah membuka lubang keumuman dan mendasari lubang-lubang lain. Karena itu jadilah ’amm yang telah dikhususkan itu sisa-sisa satuannya bersifat dhonni.
Jelasnya, setelah mengadakan komparasi antara dalil-dalil kedua kelompok ulama di atas beserta contoh-contoh dan bukti-buktinya, ternyata bahwa antara kedua pendapat itu tidak terdapat perbedaan esensial dari segi amaliyahnya. Sebab antara keduanya tidak terdapat perbedaan bahwa ’amm itu wajib berlaku keumumannya sampai ada dalil yang mengkhususkannya. Dan juga tidak terdapat perbedaan bahwa ’amm itu mungkin bisa dikhususkan oleh dalil, sedangkan pengkhususan tanpa dalil adalah takwil yang tidak dapat diterima. Adapun mereka yang mengatakan bahwa ’amm yang tidak ada dalil pengkhususannya, keumuman dalalahnya bersifat pasti, mereka menghendaki kepastian dalalah bahwa ’amm itu secara mutlak tidak menerima pengkhususan. Mereka hanya menghendaki bahwa ’amm itu tidak dikhususkan kecuali oleh dalil. Dan mereka mengatakan ’amm itu bersifat dhonni keumumannya, tidak menghendaki bahwa ’amm secara mutlak bisa dikhususkan
KEUTAMAAN HADIST SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM


Seluruh umat islam telah mengetahui dan sepakat bahwa hadist Rasul merupakan sumber dan dasar hukum islam yang kedua setelah Al-qur’an. Dan juga diwajibkan untuk mengikuti hadist Rasul sebagaimana diwajibkan mengikuti Al-qur’an. Karena Al-qur’an dan hadist merupakan hukum syari’at islam yang tetap, tidak mungkin jika umat islam menjalankan syari’at islam tanpa kembali pada kedua sumber tersebut. Beberapa ayat Al-qur’an dan hadistb memberi penegasan bahwa hadist sebagai sumber hukum islam yang wajib diikuti, baik perintah maupun larangannya.
Para ulama yang sudah meneliti hadist dan memberi kesimpulan bahwa hadist (yang shahih) dapat digunakan sebagai hujjah (bukti, alasan) bagi seluruh umat islam. Mereka menguatkan pendapatnya dengan ayat-ayat Al-qur’an yang mewajibkan semua orang mukmin untuk mengikuti dan menerima ketetapan hukum Rasulullah saw. Menurut mereka, “ Barang siapa menunjukkan sikap berbeda dengan pendapatnya ini, maka tidak pantas baginya bernisbat kepada ilmu dan ahlinya, meskipun dirinya sendiri atau banyak orang menganggapnya memiliki pengetahuan dan paham tentang ilmu agama lebih luas.
Ada beberapa dalil, baik naqli maupun aqli yang menjelaskan hadist sebagai sumber hukum islam, dan kewajiban untuk mempercayai serta menerima segala apa yang disampaikan Rasul kepada umatnya untuk dijadikan pedoman hidup.

1. Dalil Al-qur’an
“ Allah sekali- orang-orang yang beriman dalam keadaan kamu sekarang ini, sehingga Dia menyisihkan yang kali tidak akan membiarkan buruk (munafiq) dari yang baik (mukmin). Dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepadamu hal-hal yang ghaib, akan tetapi Allah memilih siapa yang dikehendaki-Nya di antara Rasul-rasul-Nya. Karena itu berimanlah kepada Allah dan Rasul-rasul-Nya, dan jika kamu beriman dan bertaqwa maka bagimu pahala yang besar “ (QS. Ali Imran: 179)
“ Dan kami turunkan kepadamu Al-qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkannya. (QS.An-Nahl: 44)
“ Apa yang diberikan Rasul kepadamu, terimalah dan apa-apa yang dilarangnya, maka tinggalkanlah. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat keras hukum-nya “ (QS. Al-Hasyr: 7)

Masih banyak lagi ayat-ayat dalam Al-qur’an yang menjelaskan hal ini, dan dalam QS. Ali Imran di atas, dijelaskan bahwa Allah memisahkan antara orang-orang mukmin dengan orang-orang munafiq sehingga Allah memperbaiki keadaan orang-orang mukmin dan memperkuat iman mereka. Oleh karena itulah orang mukmin dituntut agar tetap beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Sedangkan ayat yang kedua pada QS. An-Nahl, Al-qur’an mengatakan bahwa Rasulullah adalah sebagai penafsir dari ayat-ayat Al-qur’an, meskipun otoritas pokok bagi hukum islam adalah Al-qur’an.

2. Dalil Hadist
“ aku tinggalkan dua pustaka untukmu sekalian, yang kalian tidak akan sesat selagi kamu bepegang teguh pada keduanya, yaitu berupa kitab Allah dan sunah Rasul-Nya.” (HR.Malik)
“Wajib bagi kamu semua berpegang teguh dengan Sunahku dan Khulafa ar-Rasyidin (khalifah yang mendapat petunjuk),beroegang teguhlah kamu sekalian denagnnya”.(HR. Abu Daud dan Ibn Majah)
Hadist di atas, menunjukkan kepada kita umat islam untuk berpegah teguh terhadap hadis dan menjadikannya sebagai pedoman hidup. Dari sinilah sebenarnya dapat dinyatakan bahwa ungkapan wajib taat kepada Rasul SAW dan larangan mendurhakainya, merupakan suatu kesepakatan yang tidak diperselisihkan oleh umat islam.

Fungsi Hadist Terhadap Al-qur’an

Secara umum fungsi hadist adalah sebagai penjelas (bayan) sebagaimana dalam Al-qur’an:
“ Dan Kami turunkan kepadamu Al-qur’an agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang diturunkan kepada mereka dan supaya mereka berfikir “(QS. An-Nahl: 14)
Berdasarkan ayat tersebut, dijelaskan bahwa Allah telah menurunkan Al-qur’an bagi umat islam, agar dapat dipahami. Dan Rasul SAW diperintahkan untuk menjelaskan kandungan serta pelaksanaannya kepada mereka melalui hadist-hadistnya. Maka fungsi hadist Rasul adalah sebagai penjelas Al-qur’an yang memiliki bermacam-macam fungsi. Diantaranya, ada yang menyebutkan lima macam fungsi; bayan at-taqrir, bayan at-tafsir, bayan at-tafshil, bayan al-ba’ts, dan bayan at-tasyri’. Dan ada yang mengatakan; bayan at-tafshil, bayan at-takhsish, bayan at-ta’yin, bayan at-tasyri’, dan bayan an-nasakh. Tetapi beliau juga menambahkannya dengan bayan al-isyarah. Kemudian ada juga menyebutkan empat fungsi saja; bayan at-ta’qid, bayan at-tafsir, bayan at-tasyri’, dan bayan at-takhsish.

1. Bayan at-Taqrir
Bayan at-taqrir disebut juga bayan at-ta’kid dan bayan al-itsbat. Maksudnya ialah menetapkan dan memperkuat apa yang telah diterangkan di dalam Al-qur’an. Dalam hal ini fungsi hadist hanya memperkokoh isi kandungan Al-qur’an. Contoh:
” Rasulullah SAW telah bersabda: tidak diterima sholat seseorang yang berhadas sebelum ia berwudhu ”(HR.Bukhari)
Hadist ini mentaqrir QS. Al-Maidah ayat 6tentang keharusan berwudhu ketika seseorang akan melaksanakan shalat.

2. Bayan at-Tafsir
Bayan ini berfungsi untuk memberi penjelasan yang lebih rinci dan tafsiran terhadap ayat-ayat Al-qur’an yang bersifat global (mujmal), memberikan batasan (taqyid) terhadap ayat-ayat yang bersifat mutlak, dan mengkhususkan (takhsis) ayat-ayat yang bersifat umum. Sebagai contoh yang mujmal:
” shalatlah sebagaimana engkau melihat aku shalat ” (HR. Bukhari)
Dalam hadist ini dijelaskan bagaimana cara mengerjakan shalat, sebab dalam Al-qur’an tidak menjelaskan lebih detail.
Contoh hadist yang mentaqyid:
” Rasulullah SAW didatangi seseorang dengan membawa pencuri, maka beliau memotong tangan pencuri dari pergelangan tangan ”
Dan hadist tersebut mentaqyid QS. Al-Maidah ayat 38 yang berbunyi:
” Laki-laki dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya sebagai pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah ”(QS. Al-Maidah: 38)
Sedangkan contoh hadist yang mentakhsis ayat umum dalam Al-qur’an, yaitu menjelaskan bahwa yang dimaksud oleh Allah adalah sebagian dari lafal umum itu, bukan seluruhnya.
” Rasulullah SAW melarang memadu antara seorang perempuan dengan bibinya saudara ayah atau ibun ”(HR. Bukhari dan Muslim)
Dan hadist tersebut mentakhsis keumuman pada QS. An-Nisa’ ayat 24, yang dalam isinya menegaskan boleh mengawini selain perempuan-perempuan yang telah disebut sebelumya, seperti ibu, saudara perempuan, anak saudara dan lain-lainnya yang tertera dalam ayat 23 sebelumnya. Berdasarkan kepada keumuman ayat 24 surat An-Nisa’, yang mana boleh memadu seorang perempuan dengan bibinya. Maka setelah datang hadist tersebut sebagai pentakhsis, sehingga maksud ayat tersebut tidak lagi mencakup masalah poligami antara seorang perempuan dengan bibinya.

3. Bayan at-Tasyri’
Bayan yang mewujudkan suatu hukum atau ajaran-ajaran yang tidak didapati dalam Al-qur’an. Dengan kata lain, menetapkan hukum yang belum disinggung dalam Al-qur’an. Contohnya:
” Nabi SAW bersabda semua jenis binatang buruan yang memepunyai taring dan burung yang mempunyai cakar, maka hukum memakannya adalah haram ”(HR. An-Nasa’i)
Hadist bayan at-tasyri’ ini, wajib diamalkan sebagaimana mengamalkan hadist-hadist lainnya. Ibnu Qayyim berkata: bahwa hadist-hadist Rasulullah SAW, yang berupa tambahan terhadap Al-qur’an merupakan kewajiban atau aturan yang harus ditaati, tidak boleh menolak atau mengingkarinya, dan ini bukanlah sikap (Rasul) mendahului Al-qur’an melainkan semata-mata karena perintah-Nya.

4. Bayan An-Nasakh
Bayan yang ke empat ini, terjadi perbedaan pendapat yang sangat tajam. Sebab ada yang mengakui dan menerima fungsi hadist sebagai nasakh terhadap sebagian hukum Al-qur’an dan ada juga yang menolaknya. Para ulama dalam mengartikan bayan an-nasakh ini banyak melalui pendekatan bahasa, sehingga terdapat perbedaan pendapat dalam menta’rifkannya. Kata nasakh secara bahasa ada yang mengartikan ibthal (membatalkan), izalah (menghilangkan), tahwil (memindahkan), dan taghyir (mengubah).
Menurut pendapat ulama mutaqaddimin, bahwa terjadinya nasakh ini karena adanya dalil syara’ yang mengubah suatu hukum meskipun jelas, karena telah berakhir masa keberlakuannya serta tidak bisa diamalkan lagi. Jadi, pada intinya ketentuan yang datang kemudian menghapus ketentuan yang terdahulu, karena yang terakhir lebih luas dan lebih cocok pada masanya. Contoh yang biasa diajukan para ulama yaitu:
”Tidak ada wasiat bagi ahli waris”
Hadist di atas menurut mereka menasakh ayat 18 QS. Al-Baqarah, tetapi Imam Syafi’i dan sebagian para pengikutnya menolak nasakh jenis ini, meskipun nasakh tersebut dengan hadist mutawatir. Dan juga kelompok lain yang menolak sebagian besar pengikut mazhab Zhahiriyah dan kelompok khawarij.
Berdasarkan yang tertulis, dapat kita ketahui bahwa hadist itu memiliki fungsi yang berperan sebagai sumber hukum islam yang kedua setelah Al-qur’an, dan mungkin bisa jadi sebagai sumber hukum islam utama dari Al-qur’an.

Minggu, 04 Januari 2009

PENELUSURAN TERHADAP EKSISTENSI THOMAS AQUINAS DAN PARA FILSUF EKSISTENSIALIS

Amat sukar mengatakan apa eksistensialisme itu, karena di dalamnya terkandung beberapa aliran yang sungguh-sungguh tidak sama. Padahal dalam filsafat Scholastik misalnya, kata eksistensi ini tidak asing lagi. Istilah ini digunakan untuk membedakan daripada esensi. Di sini mencoba menelusuri pandangan Thomas Aquinas yang termasuk dalam filsafat Scholastik dan beberapa filsuf eksistensialis.

Thomas Aquinas (1225-1274)

Thomas dilahirkan di Roccasecca, dekat Aquina, Italia, tahun 1225. Ayahnya ialah Pangeran Landulf dari Aquino. Orang tuanya adalah orang Kristen Katolik yang saleh. Itulah sebabnya anaknya, Thomas, pada umur lima tahun diserahkan ke biara Benedictus di Monte Cassino untuk dibina agar kelak menjadi seorang biarawan. Setelah sepuluh tahun Thomas berada di Monte Cassino, ia dipindahkan ke Naples untuk menyelesaikan pendidikan bahasanya. Selama di sana, ia mulai tertarik kepada pekerjaan kerasulan gereja, dan ia berusaha untuk pindah ke Ordo Dominikan, suatu ordo yang sangat berperanan pada abad itu. Keinginannya tidak direstui oleh orang tuanya sehingga ia harus tinggal di Roccasecca setahun lebih lamanya. Namun, tekadnya sudah bulat sehingga orang tuanya menyerah kepada keinginan anaknya. Pada tahun 1245, Thomas resmi menjadi anggota Ordo Dominikan.

Eksistensi menjadi bagian dari filsafatnya, yang tergolong pada ajaran ontologi. Menurut Thomas, eksistensi menunjuk kepada kenyataan bahwa sesuatu itu ada (that it is). Jelasnya, eksistensi berarti konsep keberadaan sesuatu. Baginya makhluk yang berjasad atau yang jasmaniah dan makhluk yang tidak tampak, seperti malaikat -memiliki struktur esensi-eksistensi. Dan hanya Allah yang tidak memiliki struktur esensi-eksestensi, karena Allah bersifat aktual –sempurna, Maha Pencipta. Jika makhluk ciptaan mempunyai adanya berarti ia bereksistensi, dan Allah sendiri adalah adanya berarti Allah itu ada.

Manusia tidak lepas dari eksistensi, karena eksistensi pada manusia bersifat terus-menerus, lain halnya dengan suatu benda yang bereksistensi dan berhenti pada saat itu jua. Eksistensi yang dimiliki manusia bahwa ia dapat berproses dengan berpikir, berpendapat, mempertimbangkan, merenung, mengambil keputusan, dan sebagainya.

Soren Kierkegaard (1813-1855)

Seorang filsuf dan teolog abad ke-19 yang berasal dari Denmark. Kierkegaard sendiri melihat dirinya sebagai seseorang yang religius dan seorang anti-filsuf, tetapi sekarang ia dianggap sebagai bapaknya filsafat eksistensialisme. Kierkegaard menjembatani jurang yang ada antara filsafat Hegelian dan apa yang kemudian menjadi Eksistensialisme. Kierkegaard terutama adalah seorang kritikus Hegel pada masanya dan apa yang dilihatnya sebagai formalitas hampa dari Gereja Denmark. Filsafatnya merupakan sebuah reaksi terhadap dialektik Hegel.

Manusia menurut Kierkegaard selalu berada dalam situasi eksistensial yang menuntutnya untuk selalu berpikir dalam eksistensi. Situasi eksistensial berarti manusia menyadari bahwa ia berhadapan dengan pilihan-pilihan personal. Ia mengatakan bahwa adanya pergerakan dari kondisi esensial manusia menuju kondisi eksistensialnya, atau pergerakan dari esensi menuju eksistensi. Dan ia juga menafsirkan doktrin kristen mengenai kejatuhan manusia sebagai kejatuhan atau ketercerabutan manusia dari yang tak terbatas (Allah) dan terlempar pada serba terbatas. Misanya, manusia yang terasing dari wujud esensinya dan karena itu menyebabkan kecemasan yang akut, sehingga manusia selalu berusaha melakukan sesuatu untuk mengatasi rasa cemasnya dan apa pun yang ia lakukan hanya meningkatkan persoalan dengan menambah rasa bersalah dan putus asa pada kecemasannya. Berarti, kodrat esensi manusia adalah relasinya dengan Tuhan, Sang Tak Terbatas. Dan kondisi eksistensinya adalah akibat dari keterasingannya dari Tuhan. Manusia akan selalu dihinggapi kecemasan sampai ia merealisasikan kodrat esensinya dalam genggaman Tuhan. Kecemasannya disebabkan oleh kesadarannya atas keterasingan eksistensi dari wujud esensinya. Dan keterasingan inilah yang menjadikan manusia dalam pergerakan dinamis.

Dalam penjelasan dinamis ini, Kierkegaard membagi tiga tahap eksistensi manusia, di antaranya, pertama, tahap estetik –pada tahap ini manusia bertindak menurut impuls-impuls dan emosinya. Sebagian besar ia dikendalikan oleh sensasinya. Dengan kata lain, semua tindakan yang dilakukan ditujukan pada kenikmatan sensasional. Oleh karena itu, manusia tahap ini tidak mengenal apa itu batasan-batasan atau patokan-patokan moral dan berpikir secara abstrak serta memandang hal-hal dalam kemungkinannya. Dia tidak mengenal keyakinan dalam religius tertentu, tetapi dia memiliki motivasi utamanya untuk menikmati pelbagai jenis kenikmatan sensasional. Meski begitu, manusia tidak selsmsnya hidup dalam suasana estetik karena ia telah berada pada satu titik sadar akan keruhaniannya.

Manusia juga menginginkan tetap pada estetik atau terus berjalan menuju tahap selanjutnya. Ini merupakan transisi yang mana menurut Kierkegaard tidak terjadi karena hasil renungan dan nalar, melainkan harus ditempuh lewat sebuah keputusan, kehendak, atau komitmen. kedua, tahap etik –di mana terdapat syarat dengan kode-kode moral. Beda dengan manusia estetik yang tidak memiliki patokan universal kecuali seleranya, manusia etik justru mengenal dan menerima kode-kode perilaku yang diformulasikan oleh akal budi. Kierkigaard memberikan ilustrasi kontras antara manusia estetik dengan manusia etik dalam sikap terhadap perilaku seksual. Jika manusia estetik mengikuti implsimpuls semaunya, kapan saja jika ada ragsangan padanya. Sedangkan manusia etik menerima dengan syarat yang mengikat –obligasi menikah sebagai ekspresi dari akal budi.

Ketiga, tahap religius –dalam ini juga manusia memilih tetap pada estetik atau langsung melompat pada tahap religius. Lompatan tersebut lompatan iman yang merupakan respon manusia terhadap kesadaran barunya, yaitu kesadaran akan keterbatasannya dan keterasingannya dari Tuhan. Jelasnya, hanya berserah diri dan mendekatkan diri kepada Tuhanlah semua itu bisa teratasi. Apabila manusia memilih bergerak dari tahap etik ke tahap religius, berarti menuntut kehendak dan komitmen. Maksudnya, pengetahuan yang ada tentang kode-kode moral menjadi nisbi. Contoh, keputusan Nabi Ibrahim untuk mengorbankan anaknya, Ismail. Pada saat ini Nabi Ibrahim melakukan lompatan iman yang menisbikan kode moral –yang melarang seseorang membunuh anaknya sendiri. Tetapi itu dilakuakan karena kesadaran Nabi Ibrahim akan keterbatasannya kepada Sang Tak Terbatas, Tuhan. Pengorbanan yang dilakukan Ismail merupakan kehendak dan komitmen, bukan pertimbangan akal budi. Singkatnya, Nabi Ibrahim telah meninggalkan komitmennya pada akal budi menuju komitmen pada Tuhan.

Jean-Paul Sartre (1905-1980)

Jean-Paul Sartre Charles Aymard, yang umum dikenal hanya sebagai Jean-Paul Sartre adalah seorang Perancis existentialist filsuf, dramawan, novelis, penulis skenario, aktivis politik, penulis biografi , dan kritikawan. Dia adalah salah satu tokoh terkemuka dalam filsafat Perancis abad ke-20. Bicara tentang eksistensi ini, Sartre membuat konsep agar menjadi mudah untuk dipahami. Seperti halnya Kierkegaard, Sartre mengatakan bahwa eksistensi selalu berupa yang individual, unik, dan bukan universal. Artinya, eksistensi tidak bisa direduksi pada esensi, kodrat, hakikat yang bersifat universal. Dalam tesisnya, bahwa eksistensi mendahului esensi –ia membalik tradisi filsafat barat sejak plato –esensi mendahului eksistensi. Sartre menegaskan bahwa kita tidak bisa menjelaskan esensi manusia, seperti halnya esensi benda-benda manufaktur. Ketika kita melihat sebilah pisau dapur, kita langsung tahu pisau itu dibuat oleh seseorang yang memiliki konsep tentang tujuan dan prosedur pembuatannya. Sebelum dibuat sebilah pisau dapur, ia telah memiliki tujuan tertentu dan merupakan produk dari sebuah proses pembuatan tertentu. Maka esensi pisau dapur mendahului keberwujudan pisau tersebut.

Melihat demikian, kita cenderung mengartikan proses manusia sama halnya dengan pisau dapur tadi. Sebelum manusia ada, Tuhan memiliki konsep tentang manusia –tujuan dan prosedur penciptaannya. Setiap individu adalah realisasi konsepsi tertentu yang telah ada dipemahaman Tuhan sebelumnya. Tuhan dan kodrat manusia adalah dua hal yang tak terpisahkan. Tetapi di sini Sartre membalik semua, ia mengambil jalur ateisme. Logikanya berbunyi ”jika Tuhan tidak ada otomatis manusia pun bebas dari beban kodratnya, karena tidak ada Tuhan yang memasangnya dan terus-menerus megawasinya”. Manusia mula-mula ada dan kemudian baru mewujudkan esensi atau kodratnya. Meurut Sartre, manusia lebih tinggi derajatnya dari entitas lainnya, karena ia tidak memiliki kodrat yang sudah ditentukan sebelumnya. Hematnya, manusia adalah sosok yang bebas seperti entitas lainnya yang juga bereksistensi. Namun, eksistensinya berbeda karena manusia dimuati kesadaran dan kesadaranlah yang menjadi dasar pemikiran eksistensialisme.

Di sini Sartre membagi dua tipe eksistensi. Yang pertama, ada-pada-dirinya (etre-en-soa). Yakni, tipe eksistensi yang bersifat jasmani atau eksistensi pada benda-benda yang tak berkesadaran dan padat –tanpa ada celah yang dapat bereksistensi lagi. Jelasnya, kepadatan benda-benda membuatnya tak mungkin ”menjadi” (becoming), ”menjadi” di sini diartikan sebagai ada, tetapi belum mewujudkan dirinya dan lepas dari adanya sekarang. Contohnya, seorang Mahasiswa yang mempunyai cita-cita menjadi seorang filsuf dan terus berusaha mempelajari pelbagai pemikiran filsafat. Di sini kefilsufannya belum terwujud namun Mahasiswa tersebut sedang berjalan merealisasikan cita-citanya. Singkatnya, ia belum menjadi filsuf, namun cita-citanya membuatnya berbeda dengan Mahasiswa lainnya pada saat itu.

Tipe eksistensi yang kedua, ada-bagi-dirinya (etre-paur-soa) yang berkesadaran. Yaitu, terdapat kesadaran yang mempunyai sifat intensionalitas, ia selalu terarahkan kepada yang lain. Maksudnya, ia sadar (tahu) bahwa ia itu bukan yang lain. Dan kesadaran yang demikian itu, dinamakan Sartre peniadaan (neantisation). Dengan itu, tidaklah mungkin kesadaran bertemu dengan dirinya sendiri, karena tidak mungkin aku menyamakan diri aku dengan aku yang sekarang ini, sebab aku selalu mengatasi aku dan meniadakan segala sesuatu yang ada pada aku.

Berdasarkan apa yang tertulis, bagi saya cukup sulit untuk memahami eksistensi, terutama pada manusia dan Tuhannya. Tetapi hal ini menjadi sangat menarik untuk terus dapat memahami dan menelusuri lebih jauh lagi. Dalam ini, manusia terdapat pada pusat pikiran eksistensi dan yang menjadi tujuannya adalah mengerti akan realitas seluruhnya. Untuk menyadari apakah sebenarnya mengerti itu, maka orang harus mempunyai pengetahuan tentang manusia. Dan dari sini, kita tahu eksistensi Thomas Aquinas dan dua orang filsuf eksistensialis. Mungkin terdapat perbedaan dan anggapan. Melihat penjelasan yang yang diuraikan Kierkegaard pada tahap eksistensi estetik, secara umum dia menentang dengan pengertian yang abstrak dan pernyataannya, karena itu banyak orang yang menganggap dia menjauhkan orang dari realitas yang kita hidupi, secara kongkrit. Sedangkan memyelidiki filsafat hendak diarahkan pada realitas kepada subyektivitas yang bersifat manusia.