Cari Blog Ini

Kamis, 28 Mei 2009

Pandangan Pemikir Islam Tentang Ilmu Kalam



Ilmu Kalâm merupakan salah satu dari beberapa kajian keilmuan yang tumbuh dan berkembang serta telah menjadi bagian dari tradisi kajian tentang agama islam. Seperti cabang-cabang keilmuan yang telah banyak di konsumsi oleh mayoritas kaum Muslim. Jika kita melihat secara bahasa, “'ilmu kalâm” berasal dari bahasa Arab yaitu 'Ilmu adalah ma'rifah (pengetahuan) dan fahm (pemahaman). tetapi Lembaga bahasa Arab Mesir, mengartikan sebagai akumulasi persamalahan dan dasar yang menyeluruh tentang suatu pembahasan, yang dibahas dengan metode kajian tertentu, dan berakhir dengan lahirnya teori dan hukum. Sedangkan kalâm, menurut Abû Bakar al-Razî (w.478 H/1086 M) diambil dari kata kalm, yang berarti al-jurh atau cacat dan kelemahan. al-Taftazânî (w. 783 H/1391 M) juga mengemukakan dengan analisisnya bahwa lafadz kalâm dapat diinggriskan yaitu dialectic, yang berarti diskusi atau perdebatan.

Tetapi, secara terminologis ilmu kalam ini telah banyak didefinisikan oleh para Pemikir Islam seperti; Jahm bin Safwan, Washil bin 'Atha', al-Juwayni, al-Iji, dan al-Jurjani menganggap bahwa ilmu kalam sebagai disiplin ilmu yang membahas akidah islam. Sementara Ibn Khaldun (w.785 H/1364 M) mendefinisikan ilmu kalam sebagai ilmu yang berisi berbagai argumentasi teologis dan dalil-dalil rasional ('aqliyyah) serta kritik terhadap ahli bid'ah yang melakukan penyimpangan teologis dari madzhab salaf dan Ahlussunnah. Sedangkan menurut al-Mulla 'Alî al-Qari (w.997 H/1605 M) bahwa ilmu kalâm adalah ilmu-ilmu mengenai teologi keagamaan atau yang diambil dari dalil-dalil yang meyakinkan. Kelihatannya, definisi ini agak mirip dengan yang dikemukakan 'Abd. al-Fattâh yaitu ilmu yang berfungsi untuk menguatkan teologi keagamaan dengan menggunakan dalil-dalil rasional.
Berdasarkan definisi yang telah dikaji di atas, ternyata masih banyak ulama lain yang menyebutkan atau memberikan definisi dengan istilah yang berbeda-beda. Seperti Abû Hanîfah (w.150 H/787 M) yang menggunakan dengan istilah 'ilm al-fiqh al-akbar. Al-Baghdâdî (w. 429 H/1037 M) menyebutnya ushûl al-dîn. Kemudian ada juga yang mengatakan 'ilm al-tauhîd, 'ilm al-nazhar wa al-istidhlâl, dan lain sebagainya. Dari berbagai definisi itu jelaslah bahwa ilmu kalam sering di terjemahkan dengan sebutan teologi, tetapi yang sangatlah perlu untuk diperhatikan adalah, makna teologia disini tidaklah sama persis dengan teologi yang ada dalam agama Kristen, sebagai contoh misalnya: dalam pengertian teologi yang berkembang di dalam ranah agama Kristen, ilmu tentang hukum-hukum atau syari’at keagamaan akan termasuk dalam teologi. Disebabkan hal itu pula, sebagaian dari para pemikir yang menginginkan pengertian yang lebih “tepat sasaran” akan menerjemahkan ilmu kalâm dengan pengertian teologi dialektis ataupun teologi rasional, dengan begitu ilmu kalâm terlihat sebagai suatu disiplin keilmuan yang sangatlah khas Islam.

Berangkat dari sanalah, maka terdapat perbedaan pandangan ulama sejak dulu tentang keperluan disiplin ilmu kalâm dan membantu umat untuk mendekati persoalan keagamaan, terutama yang bersifat ‘aqadiyyah. Secara umum dapat dikatakan bahwa perbedaan pandangan tersebut berakar pada perbedaan ulama dalam menilai akurasi pengetahuan yang ditimbulkan oleh capaian-capaian akal atau nalar. Sebenarnya ilmu kalâm hadir karena beberapa faktor yang menyelimutinya, 'Abd. Al-Fattah menjelaskan lebih rinci mengenai faktor-faktor tersebut, di antaranya;

1. Faktor-faktor Internal; diklasifikasikan bahwa faktor-faktor intern umat Islam itu terdapat dua macam: Pertama, al- Qur'an yang di dalamnya banyak mendorong manusia agar mempunyai ilmu pengetahuan, melakukan penelitian mengenai fenomena alam, mengangkat kedudukan orang yang berilmu, membantah taqlid dalam berakidah, dan membantah akidah yang dibangun dengan spekulasi. Sedangkan yang kedua, peristiwa politik yang berawal dari fitnah besar yang terjadi setelah terbunuhnya 'Utsman bin 'Affan sehingga melahirkan konflok politik yang kemudian merembet ke dalam persoalan akidah, karena masing-masing pihak menjastifikasi kelompoknya dengan argumentasi teologis.


2. Faktor-faktor Eksternal; yang terdapat karena pengaruh futûhât (penaklukkan)yang dilakukan kaum Muslim terhadap wilayah Romawi, Persia, dan India, yang merupakan tempat lahir dan berkembangnya filsafat serta agama-agama non-Islam. Disamping itu juga karena faktor-faktor penerjemahan filsafat ke dalam bahasa Arab.

Meskipun sudah jelas mengenai awal mula munculnya ilmu kalâm, akan tetapi perbedaan pandangan tetaplah gencar. Dari ide-ide al-Qur'an di ataslah maka kelompok Mutakallimûn menciptakan dan mengembangkan sebuah ilmu tentang kebutuhan (teologi Islam) yang dikenal dengan sebutan ilmu kalâm. Tetapi secara historis dapat diketahui bahwa kaum Hanbaliah merupakan kelompok yang paling keras menolak kehadiran ilmu kalâm dalam sistem ajaran Islam. Karena pada umumnya kaum Hanbaliah melihat problematika ilmu kalâm (teologi) yang terpenting adalah terletak pada metode argumentasinya yang tidak sesuai dengan tuntutan Al-Qur’an dan Sunnah karena menggunakan metode dialektis dan rasional, yang pada dasarnya pinjaman dari luar, khususnya filsafat Yunani.

Selain itu, Imam Syafi'i berlaku kasar terhadap kalâm dan Mutakallimûn karena menurutnya Ahl kalâm itu telah terbukti membawa hasil kerja nalar yang berbahaya bagi umat. Perlakuan kasar ini juga disetujui oleh Ibn Taimiyyah yang menganggap bahwa kaum Mutakallimûn telah mengabaikan metodologi yang ditawarkan Al-Qur’an dalam menjelaskan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan ushûl al-dîn. Hal ini erat kaitannya dengan kepercayaannya bahwa Al-Qur’an meskipun tidak pantas disebut selain sebagai kalâm, mengandung ajaran yang sesungguhnya pantas di sebut ushûl al-dîn itu. Al-Qur’an dan Sunnah, menurutnya mengajukan bukti-bukti dalam berbagai bentuk dan cara, sesuai dengan kebutuhan manusia. Tetapi pandangan Ibn Taimiyyah ini merupakan tuduhan yang diberikan oleh kaum Mutakallimûn, menurut mereka.

Ulama lain yang mempunyai sikap anti kalam yang cukup ekstrim adalah Fakhr al-Dîn al-Râzi. kalâm menurutnya lebih banyak memberikan keraguan daripada kepastian. Al-Râzi ini pernah mengatakan bahwa ia telah lama melakukan perenungan yang mendalam tentang metodologi kalam dan prosedur-prosedur yang dilalui filsafat, dan ia menemukan bahwa kedua-duanya tidak pernah dapat menyembuhkan penyakit sebagaimana kedua-duanya tidak pernah dapat melepaskan lapar dan dahaga iman. Metodologi yang terbaik menurutnya adalah apa yang disodorkan oleh al-Qur’an.

Pandangan-pandangan di atas ini, disanggah oleh kaum Mutakallimûn sendiri, terutama oleh Al-Asy’ari. Menurut al-Asy’ari, Nabi Muhamamd memang tidak merumuskan ilmu kalam (teologi), tetapi dasar-dasar pemikiran dalam ilmu kalâm yang dikembangkan kaum Mutakallimûn terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah. Kaum Mutakallimûn mempunyai pandangan bahwa metode dan teori rasional-lah yang dapat menghasilkan pengetahuan yang benar, oleh karena itu mempelajarinya merupakan suatu keharusan (wajib).

Meskipun ulama-ulama tersebut di atas telah mengkritik tajam terhadap ilmu kalâm, tetapi al-Asy’ari melihat argumen-argumen yang dikemukakan oleh pengkritik kalâm adalah argumen-argumen yang tidak mempunyai dasar sama sekali. Dan ia berupaya untuk memberi sanggahan-sanggahan kepada mereka. Imam al-Zarkasyî juga melihat upaya yang dilakukan oleh kaum Mutakallimûn sebagai upaya yang positif. Ia menyatakan dengan tegas bahwa tidak ada argumen dan dalil pembagian dan pembatasan terhadap semua pengetahuan 'aqliyyah dan sam’iyyah melainkan al-Qur’an juga membicarakannya.

Mayoritas Ahl kalâm berpendapat bahwa nalar merupakan jalan untuk membuka pengetahuan, yang terdapat pengetahuan tentang ketuhanan. Sementara Abû Mâ’in dari kubu Ahl al-Sunnah berpendapat bahwa setiap orang yang sudah balligh harus sanggup membuktikan adanya Tuhan, pencipta alam semesta, melalui argumen rasional. Al-Baqillânî mendeskripsikan pandangan Al-Asy’ariah yang mewajibkan seseorang karena yang demikian itu adalah perintah syara’. Ia menyatakan bahwa yang pertama kali diwajibkan Allah atas hamba-hamba-Nya, dan berargumen secara rasional dengan bukti kekuasaan-Nya sebab Allah tidak dapat diketahui begitu saja dan tidak dapat dicapai dengan pandangan empiris. Maka tak ada salahnya jika ilmu kalâm dipelajari oleh semua kaum Muslim yang sesungguhnya ilmu kalâm menjadi bagian terpenting dalam islam.

Daftar Pustaka:

 Oliver Leaman, Ensiklopedia Tematis Islam. Buku pertama, terj. Mizan. Bandung: 2003.
 Muhammad Maghfur W. MA. Koreksi atas Kesalahan Pemikiran Kalam dan Filsafat Islam. Al-Izzah. Bangil-Jatim: 2002.
KONSEP IMAN
MENURUT PAHAM MURJI'AH

Perbincangan mengenai iman berawal pada masa sepeninggalan khalifah Ustman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Di mana pada saat itu juga muncul adanya konsep kufur atau kafir yang timbulnya karena terjadi peperangan antara Ali bin Abi Thalib dengan Mu'awiyah bin Abi Sufyan. Mu'awiyah, seorang Gubernur Damaskus yang tidak setuju atas pemerintahan Ali, maka pertempuran yang terjadi ini dinamakan perang Shiffin. Ketika pasukan Ali hampir memenangi pertempuran tersebut, pembantu kanan Mu'awiyah, ‘Amr Ibn Al-‘As yang terkenal sebagai orang licik, meminta berdamai dengan mengangkat al-Quran ke atas. Qurra yang ada di pihak Ali mendesak Ali supaya menerima tawaran itu, dan dengan demikian dicarilah perdamaian dengan mengadakan pengantara (arbitrase/tahkim). Sebagai pengantara maka dilantiklah dua orang dari masing-masing pihak, yaitu ‘Amr Ibn Al-‘As dari pihak Mu'awiyah dan Abu Musa al-Asy’ari dari pihak Ali. Kesimpulan dari arbitrase tersebut adalah merugikan pihak Ali dan menguntungkan pihak Mu’awiyah, maka kemudian Mu’awiyah dengan sendirinya dianggap sebagai khalifah tidak resmi.

Sebagian dari pengikut Ali tidak setuju dengan pengantara (arbitrase) tersebut, oleh karena itu mereka meninggalkan barisan Ali. Golongan mereka inilah dalam sejarah Islam terkenal dengan nama Khawarij. Dengan demikian, gambaran dari persoalan-persoalan politik inilah akhirnya membawa kepada timbulnya persoalan teologi. Golongan Khawarij ini memandang bahwa Ali, Mu’awiyah, ‘Amr Ibn al-‘As, Abu Musa al-Asy’ari dan lain-lain yang menerima arbitrase itu adalah kafir, karena mereka semuanya tidak kembali menetapkan hukum kepada al-Quran seperti yang dimaksud firman Allah dalam surah al-Maidah ayat 44: “Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir”.

Dari ayat itulah mereka mengambil semboyan la hukma illallah karena keempat-empat pemuka Islam di atas telah dipandang kafir dalam arti bahwa mereka telah keluar dari Islam. Dan mereka mesti dibunuh. Tetapi yang dipandang kafir bukan lagi hanya orang yang melakukan dosa besar, yaitu murtakib al-kaba'ir. Persoalannya ialah, masihkah dia mukmin ataukah dia menjadi kafir karena melakukan dosa besar?

Dengan demikian, persoalan politik yang timbul inilah membawa perpecahan dikalangan umat Islam, juga membawa timbulnya persoalan siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir. Dalam persoalan pertentangan ini, timbul suatu golongan baru yang bersifat netral, yaitu golongan Murji'ah. Kaum murji'ah mulai menanggapi persoalan-persoalan teologis yang mencakup iman, kufur, dosa besar dan hukuman atas dosa. Hal ini nampaknya memicu perbedaan pendapat dikalangan para pendukung murji'ah sendiri, akhirnya kaum murji'ah pecah menjadi beberapa golongan kecil, yaitu Golongan Murji'ah Moderat yang berpendapat bahwa iman itu terdiri dari tasdiq bi al-qalb dan iqrar bi al-lisan dan golongan Murjiah Ekstrim yang berpendapat bahwa iman hanya pengakuan hati (tasdiq bi al-qalb).
Murji'ah Ekstrim mengatakan, bahwa iman hanya pengakuan atau pembenaran dalam hati (tasdiq bi al-qalb). Artinya, mengakui dengan hati bahwa tidak ada Tuhan selain Allah SWT dan Muhammad Rasul-Nya. Berangkat dari konsep ini, Murji'ah berpendapat bahwa seseorang tidak menjadi kafir karena melakukan dosa besar, bahkan mengatakan kekufurannya secara lisan. Oleh karena itu, jika seseorang telah beriman dalam hatinya, ia tetap dipandang sebagai seorang mukmin sekalipun menampakkan tingkah laku seperti Yahudi atau Nasrani.
Menurut mereka, iqrar dan amal bukanlah bagian dari iman, karena yang penting menurut mereka adalah tasdiq dalam hati. Alasannya bahwa iman dalam bahasa adalah tasdiq sedangkan perbuatan dalam bahasa tidak dinamakan tasdiq. Tasdiq itu merupakan persoalan dalam hati sedangkan perbuatan urusan anggota tubuh (al-arkam) dan di antara keduanya tidak saling mempengaruhi. Iman letaknya dalam hati dan apa yang ada dalam hati seseorang tidak diketahui manusia lain. Sedangkan perbuatan-perbuatan seseorang tidak selamanya menggambarkan apa yang ada dalam hatinya. Oleh karena itu ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan seseorang tidak mesti mengandung arti bahwa ia tidak mempunyai iman. Kredo kelompok Murji'ah Ekstrim yang terkenal adalah perbuatan maksiat tidak dapat menggugurkan keimanan sebagaimana ketaatan tidak dapat membawa kekufuran. Dapat disimpulkan bahwa Murji'ah Ekstrim memandang pelaku dosa besar tidak akan disiksa di neraka.
Sedangkan golongan Murji'ah Moderat berpendapat bahwa iman itu terdiri dari pembenaran dengan hati (tasdiq bi al-qalb) dan pernyataan dengan lisan (iqrar bi al-lisan). Pembenaran hati saja tidak cukup ataupun dengan pengakuan dengan lisan saja, maka itu tidak dapat dikatakan iman. Kedua unsur iman itu tidak dapat dipisahkan. Iman adalah kepercayaan dalam hati yang dinyatakan dengan lisan. Jadi jika pelaku dosa besar menurut mereka bukanlah kafir dan tidak kekal dalam neraka, ketika ia meninggal dunia dan belum sempat bertaubat dari dosa-dosanya maka nasibnya di akhirat terletak pada kehendak Allah, apabila Allah mengampuninya maka ia terbebas dari neraka dan masuk surga, namun jika ia tidak mendapat ampunan dari-Nya maka ia masuk neraka dan kemudian baru dimasukkan surga. Adapun orang yang berdosa kecil, dosa-dosanya akan dihapus oleh kebaikan, seperti ibadah shalat dan kewajiban-kewajiban lainnya yang dijalankannya. Oleh karena itu, dosa-dosa besar maupun dosa-dosa kecil tidak dapat membuat seseorang keluar dari iman.
Dari uraian di atas, pendapat yang dikatakan oleh Murji'ah Moderat dapat diterima oleh kaum Asy'ariyah karena pendapatnya tersebut identik dengannya dan berbeda dengan apa yang dijelaskan oleh Murji'ah Ekstrim, pendapatnya dianggap menyimpang dari norma-norma yang dipakai oleh masyarakat biasanya, terutama yang terkait dengan akhlak atau moral yang berlaku. Tampaknya ajaran yang dibawa oleh kaum Murji'ah Ekstrim hanya mementingkan iman saja, sedangkan moral dianggap kurang penting baginya. Karena itulah nama Murji'ah Ekstrim dipandang tidak baik oleh sebagian masyarakat.
Mungkin jika melihat definisi yang dijelaskan oleh Abu Hanifah mengenai iman, lebih berbeda lagi dari sebelumnya. Menurut Abu Hanifah, iman adalah pengetahuan (ma'rifah) tentang Tuhan sekaligus mengakui-Nya dan tentang Rasul serta mengakui wahyu yang dibawanya. Selain itu juga ia meyakini bahwa iman adalah sesuatu yang tidak dapat dibagi dan tidak dapat bertambah ataupun berkurang. Jelasnya, iman yang dimiliki oleh orang yang berdosa besar tidak ada bedanya dengan iman yang dimilki oleh orang yang taat menjalankan perintah-perintah Tuhan.
Tetapi jika dibandingkan dengan kaum Mu'tazilah yang dikenal kaum rasionalis Islam, mungkin karena mereka memberikan kedudukan yang tinggi kepada akal, sehingga mereka mengatakan bahwa iman itu bukan diartikan sebagai tasdiq dan bukan pula ma'rifah, tetapi iman menurut mereka adalah suatu perbuatan yang timbul setelah mengetahui Tuhan. Dengan kata lain adalah perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dalam melaksanakan perintah-perintah Tuhan. Konsep iman yang diuraikan oleh kaum Mu'tazilah ini sejalan dengan apa yang digambarkan oleh Muhammad Abduh. Di mana iman itu erat kaitannya dengan amal dan ia menjelaskan bahwa iman baginya adalah 'ilm (pengetahuan), i'tiqad (kepercayaan) atau yaqin (keyakinan). Oleh karenanya ia tidak menggambarkan iman sebagai tasdiq.
Asy'ariyah juga menegaskan bahwa iman tidak bisa diartikan sebagai ma’rifah atau amal, oleh karena itu iman bagi kaum Asy’ariyah adalah tasdiq dan memiliki batasan iman (al-tasdiqu bi Allah) yaitu menerima kebenaran khabar tentang adanya Tuhan. Tak lain juga dengan golongan Maturidiyah Bukhara, golongan ini mempunyai paham yang sama dengan Asy’ariyah yaitu iman tetap harus merupakan tasdiq. Batasan yang diberikan Al-Bazdawi tentang iman adalah menerima dalam hati dan menyatakan dengan lisan bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan tidak ada yang serupa dengan Dia.
Sedangkan golongan Maturidiyah Samarkand berpendapat bahwa iman harus berkedudukan lebih dari tasdiq, karena menurut mereka akal dapat sampai kepada kewajiban mengetahui Tuhan. Dan mengenai batasan iman dengan tasdiq hanya dapat sesuai dengan aliran Asy’ariyah dan aliran Maturidiyah Bukhara. Adapun bagi aliran Mu’tazilah dan aliran Maturidiyah Samarkand iman mestilah lebih dari tasdiq, yaitu ma’rifah dan amal.
'TAHAPAN MENUJU KEBAHAGIAAN'


1. Taubat

Kata taubat berasal dari kata tâba-yatûbu-tauban yang berarti menyesal atas perbuatan dosa atau dapat berarti pula kembali pada jalan yang benar atau kembali pada kesucian jiwa. Rasa penyesalan ini muncul setelah seseorang melakukan dosa, dan ia sadar serta mempunyai tekad untuk tidak mengulanginya lagi. Ada beberapa syarat dalam bertaubat dengan murni atau biasa disebut taubatan nasuha, di antaranya:
1. Memiliki kesadaran bahwa telah melakukan kesalahan atau berbuat dosa.
2. Menyesali perbuatan dosa yang sudah dilakukan.
3. Mampu menjauhkan diri dan meninggalkan perbuatan dosa.
4. Berjanji tidak mengulanginya lagi.

Bertaubat tidak hanya terlintas dari ucapan saja, seperti mengucapkan istighfar, akan tetapi dalam hatinya terdapat empat syarat di atas. Maka taubat seperti itulah yang disebut taubat sebenarnya dan Allah akan menerima serta mengampuni dosa-dosanya. Dalam firman-Nya yang artinya:
“Dan Dialah yang menerima taubat dari hamba-hambanya dan memaafkan kesalahan-kesalahan dan mengetahui apa yang kamu kerjakan”
“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang bertaubat dan mencintai orang-orang yang menyucikan diri”

2. Zuhud

Secara bahasa, kata zuhud berasal dari kata zahuda-yazhudu-zuhdan yang berarti tiada rasa ingin kepada sesuatu atau tidak suka kepada hal-hal yang bersifat duniawi. Sikap zuhud ini menjauhi kemewahan dunia seperti jabatan, harta, dan lain sebagainya. Zâhid adalah orang yang zuhud, yang memandang dunia sebagai sesuatu yang berubah dan akan lenyap. Orang yang zuhud akan bisa mengendalikan dunia, bahkan menjadikan dunia menjadi budaknya dan istiqamah dalam menjalani hidup untuk mencapai tujuan yaitu kehidupan ukhrawi.

Ada beberapa keadaan manusia dalam menghadapi dunia, yaitu pertama, kelompok manusia yang masuk dalam perangkap dunia dan mereka menguncinya dengan kerakusan dan kekikiran. Kedua, golongan manusia yang tidak mendapat kesenangannya di dunia sehingga mereka kecewa dan bersedih hati. Pada akhirnya mereka terjerumus dalam ketamakan dan kerakusan. Ketiga, kelompok orang yang telah mendapatkan kesenangan di dunia tetapi mereka menyimpannya untuk hari nanti jika telah hadir kemiskinan menimpa. Keempat, kelompok manusia yang dengan sengaja meninggalkan dan menyingkirkan hal-hal keduniawiaan dari pikiran serta jiwanya .

3. Wara'

Secara lughah kata wara' berasal dari wari'a-yaura'u-wara'an atau waru'a-yauru'u-warâ'atan yang artinya menjauhkan diri dari segala dosa. Di sini wara' juga berarti sikap menjauhkan diri dari hal-hal yang shubhat. Orang yang memiliki sifat wara' tidak mementingkan urusan dunia melainkan urusan akhirat, apabila ia berkehendak untuk mengambil sesuatu dunia, maka terlebih dahulu ia memikirkan akibat buruknya yang akan terjadi nantinya di hari kiamat.

Menurut Ibrâhim bin Ad-ham wara' artinya meninggalkan semua yang syubhat, sedangkan meninggalkan apa yang tidak menjadi kepentinganmu yaitu meninggalkan hal-hal sampingan (yang melebihi dari urusan). Yahya bin Mu'âdz mengakatakan, wara' mengandung arti berhenti sebatas ilmu yang dimiliki tanpa menakwilnya." Abu Sulaimân ad-Darâny mengemukakan, wara' adalah hal pertama dari zuhud sebagaimana qana'ah (rasa puasdiri)merupakanhalpertamadariridha. Sedangkan menurut Yûnus bin 'Ubaid, Wara' adalah keluar dari semua syubhat dan menghitung diri (muhasabah) dalam setiap saat. Pendapat lain mengatakan bahwa wara' adalah keluar dari hawa nafsu dan meninggalkan hal-hal yang buruk.

Wara' merupakan rasa takut atau kewaspadaan terhadap siksa Allah SWT kepada seorang hamba. Kadar ukuran wara' dapat dikatakan sebanding dengan rasa takut kepada Allah. Apabila seorang hamba rasa takutnya sedikit dengan Allah maka wara'nya pun bernilai sedikit, nilai kemulyaan pada dirinya pun hilang karena ia jatuh di mata Allah dan Allah menjatuhkannya sehingga semua makhluk menganggapnya rendah.
Dalam kitab Mukhtashar Minhâj al-Qâshidîn disebutkan, wara' memiliki empat tingkatan, yaitu:
1. Menarik diri dari setiap hal yang oleh fatwa diindikasikan haram.
2. Wara' yang setiap syubhat yang tidak wajib menjauhinya tetapi dianjurkan.
3. Wara' dari sebagian yang halal karena khawatir terjerumus ke dalam hal yang haram.
4. Wara' dari semua hal yang bukan kartena Allah.
4. Shabr

Berasal dari kata shabara-yashbiru-shabran yang artinya bersabar, tabah hati, dan berani (atas sesuatu). Shabar juga bisa diartikan konsekuen dan konsisten dalam menjalankan perintah, menjauhi larangan-Nya dan dalam menerima segala cobaan. Al-Ghazali mengatakan bahwa shabar itu memiliki dua jenis yang dilihat dari sifatnya, yakni shabar yang bersifat jasmani dan rohani. Pertama, shabar yang bersifat jasmani, yang mencakup dengan ketahanan fisik dalam menjalani semua cobaan atau penderitaan badani. Sedangkan shabar yang kedua, berisikan tentang kesiapan mental dan ketangguhan sikap dalam mengendalikan dan menaklukkan hawa nafsu. Shabar seperti inilah yang sempurna dan terpuji.

Shabar merupakan sikap teguh hati (tidak mengeluh), tabah hati (tidak gampang panik ), dan pasrah hati (tidak kehilangan keseimbangan an tidak mudah pendirian) . Dalam firman Allah yang berbunyi:
“Maka sikap shabar itu adalah sikap yang baik dan hanya Allah sajalah yang dimintai pertolongan” .
“Dan sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang shabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang mereka perbuat”
“Sesungguhnya hanya orang-orang sabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas”

5. Tawadhu'

Asal kata tawadhu' adalah tawadhdha'a-yatawadhdha'u-tawadhdua'an yang berarti tunduk kepada-Nya. Sikap tawadhu' ini menggambarkan seorang hamba yang selalu merendahkan diri dihadapan Allah dan manusia. Lawan dari tawadhu’ adalah takabbur (sombong), jadi tawadhu’ menyingkapi bahwa yang berhak sombong adalah Allah SWT. Tawadhu’ adalah ketundukan seseorang kepada kebenaran yang telah datang pada dirinya dan tidak menganggap dirinya di atas semua orang.

Dalam hal ini terdapat ayat al-Qur’an yang diperintahkan untuk tawadhu’, yaitu:
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu yaitu orang-orang yang beriman.”
Rasulullah SAW, bersabda:
“Sesungguhnya Allah telah mewahyukan kepadaku agar kalian merendahkan diri sehingga seseorang tidak menyombongkan diri atas yang lain dan tidak berbuat zhalim atas yang lain.”

6. Faqr

Faqr ialah situasi seseorang yang dalam kekurangan. Tetapi di sini faqr menunjukkan arti bahwa seorang hamba yang selalu membutuhkan pertolongan-Nya dan selalu mengharapkan limpahan rahmat dan kebesaran-Nya. Secara etimologi kata Faqr berarti kesusahan, kesedihan, kemiskinan9, yaitu orang yang tidak memiliki apa-apa pada dirinya. Kalau sesuatu ditarik dari dirinya maka ia fakir dan jika ia menolak sesuatu tersebut maka ia zahid. Menurut pemahaman Sufi kata Faqr itu ditujukan kepada orang yang memiliki ma’rifah yang paling tinggi dan kondisi mental yang tangguh serta berbudi luhur.
Al-Ghazali menyebutkan bahwa faqr adalah merupakan suatu kondisi di mana sesuatu yang dihajatkan tidak dapat dipenuhi. Idealisme Sufi tentang Faqr telah berkembang jauh, faqr sejati bukan saja jauh dari barang-barang, melainkan juga ketiadaan hasrat untuk menguasai barang.
Al-Ghazali membagi bentuk Faqr menjadi lima, yaitu :
a) Seseorang yang diberi harta sedangkan ia enggan karena benci akan kejelekannya dan khawatir akan disibukkan oleh harta tersebut., orang seperti ini di sebut Zahid
b) Seorang yang tidak senang mempunyai harta dan tidak juga membencinya serta berlaku zuhud terhadapnya, orang ini disebut Radhi ( orang yang Rela ).
c) Seseorang yang lebih suka jika memiliki harta akan tetapi ia tidak disibukkan untuk mencari harta tersebut. Jika harta itu suci dan halal maka ia menerimanya dengan gembira dan puas terhadap apa yang dimilikinya, maka ia disebut Qani’ (Orang yang Puas).
d) Seseorang yang meninggalkan harta karena kelemahannya, yang jika ia memiliki cara untuk mendapatkannya walau dengan bersusah payah, maka orang ini disebut Harish (orang yang Tamak).
e) Orang yang Fakir lantaran keadaan yang memaksa seperti orang yang lapar karena tidak punya makanan atau orang yang telanjang karena tidak memiliki pakaian, orang ini disebut Mudhthar (orang yang Terpaksa).

7. Taqwa

Taqwa adalah takut atas siksa Allah, sehingga berhati-hati dalam bersikap dan taat menjalankan perintah serta larangan-Nya. Taqwa mencerminkan kepatuhan seorang kepada Allah. Selain taqwa memiliki kedudukan yang paling istimwa dan menjadi salah satu sifat orang-orang. Dalam al-Qur'an dinyatakan bahwa tolok ukur kemuliaan dan nilai manusia terletak pada ketaqwaannya. Sebagaimana firman Allah:
”Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah ialah orang-orang yang bertaqwa..”
”Bagi orang-orang yang berbuat kebaikan di antar mereka dan yang bertaqwa adlah pahala yang besar”




8. Ridha

Kata ridha sudah cukup familiar didengar oleh telinga kita, karena kata ridha sudah diserap dari Bahasa Arab ke dalam Bahasa Indonesia yang menurut Kamus Bahasa Arab berasal dari kata radhiya-yardha yang menunjukkan arti rela. Dalam ilmu tasawuf, ridha merupakan salah satu maqam (tingkatan) batiniyah yang harus dilalui oleh orang Sufi dalam usahanya mendekatkan diri kepada Allah. Menurut para mutasawif, sikap ridha adalah tidak menentang qada dan qadar Allah, merasa senang dengan malapetaka yang menimpa dirinya karena dirasakan sebagai nikmat, tidak meminta surga atau dijauhkan dari neraka, karena cintanya kepada Allah.

Menurut Imam al-Ghazali, ridha merupakan buah dari kecintaan (mahabbah). Kalau kerinduannya terus menebal, maka tidak perlu lagi ada proses pemadatan mahabbah, karena mahabbah sudah mendarah daging. Dengan itu akan lahirlah apa yang disebut mahabbah, yaitu ridha. Ridha dengan Qada Allah. Menurut Imam Al Ghazali, ridha bukan hanya sebagai buah mahabbah, tetapi juga termasuk maqam tertinggi di kalangan muqarrabin (orang-orang yang dekat dengan Allah). Jadi dapat kita bayangkan kalau mereka sudah muqarabbin, ditambah memiliki keridhaan yang merupakan maqam tertinggi, maka wajarlah bila kadang-kadang ada sikap yang dimata orang lain yang tidak muqarabbin –sangat tidak rasional.

Hakikat keridhaan menurut al-Ghazali sangat pelik buat kebanyakan orang. Karena ketika kita memperbincangkan masalah ridha, disitu banyak keserupaandan banyak ketidak jelasan. Hakikat ridha tidak akan terungkapkan kecuali bagi orang-orang yang memang diajari oleh Allah, artinya dipahamkan ilmuagamanya. Jadi membicarakan ridha itu terkait dengan makrifatullah yangboleh jadi berdasarkan pendekatan rasional maupun pendekatan hati.

9. Mahabbah

Kata mahabbah berasal dari kata ahabba-yuhibbu-mahabatan yang berarti mencintai secara mendalam, atau kecintaan atau cinta yang mendalam . Menurut Jamil Shaliba dalam al-Mu'jam al-Falsafi, kata mahabbah adalah lawan dari al-baghd, yaitu cinta lawan dari benci. Al- mahabbah juga dapat diartikan al-wadud, yakni yang sangat kasih atau penyayang. Selain itu al-mahabbah dapat pula berarti kecenderngan kepada sesuatu yang sedang berjalan, dengan tujuan untuk memperoleh kebutuhan yang bersifat material maupun spiritual, seperti seseorang yang sedang kasmaran pada sesuatu yang dicintainya, cinta orang tuapada anaknya, seorang pada sahabatnya dan lain-lain.

Mahabbah pada tingkat selanjtunya dapat pula diartikan sebagai suatu usaha yang sungguh-sungguh dari seseorang untuk mencapai tingkat ruhaniah tertinggi dengan tercapainya gambaran yang mutlak, yaitu cinta kepada Tuhan. Kata mahabbah juga digunakan untuk menunjukkan pada suatu paham atau aliran dalam tasawuf. Dalam hal ini, mahabbah terkait sebagai objek yang lebih ditujukan pada Tuhan. Dari pengertian yang sudah dikemukakan di atas, tampaknya terdapat pengertian yang cocok dalam tasawuf, yaitu mahabbah secara ruhaniah yang artinya kecintaan yang mendalam pada Tuhan.

Menurut al-Qusyairi pengertian mahabbah dari segi tasawuf merupakan hal (keadaan) jiwa yang mulia yang bentuknya adalah disaksikannya (kemutlakkan) Allah SWT, oleh hamba, selanjutnya yang dicintainya itu yaitu juga menyatakan cinta kepada yang dikasihi-Nya dan seorang hamba yang mencintai Allah SWT . Sedangkan Harun Nasution mengatakan bahwa mahabbah adalah cinta yang dimaksud ialah cinta kepada Tuhan. Harun Nasution juga memberikan pengertian kepada mahabbah antara lain :
1. Memeluk kepatuhan pada Tuhan dan membenci sikap melawan pada-Nya.
2. Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi.
3. Mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali dari yang dikasihi, yaitu Tuhan.

Selain itu, al-Sarraj mengemukakan pengertian mahabbah dari segi tingkatannya terdapat tiga macam, yaitu mahabbah orang biasa, mahabbah orang shidiq dan mahabbah orang yang 'arif. Pertama, mahabbah orang biasa mengambil bentuk selalu mengingat Allah dengan dzikir, suka menyebut nama-nama Allah, dan memperoleh kesenangan dalam berdialog dengan Tuhan. Yang pada intinya senantiasa memuji Tuhan. Kedua, mahabbah orang shidiq adalah cinta orang yang kenal pada Tuhan, pada kebesaran-Nya, pada kekuasaan-Nya, pada ilmu-Nya dan lain-lain. Cinta yang dapat menghilangkan tabir yang memisahkan diri seorang dari Tuhan dan dengan demikian dapat melihat rahasia-rahasia yang ada pada Tuhan. Cinta tingkat kedua ini membuat orangnya sanggup menghilangkan kehendak dan sifat-sifatnya sendiri, sedang hatinya penuh denagn perasaan cinta pada Tuhan dan selalu rindu pada-Nya. Ketiga, mahabbah orang yang 'arif yaitu cinta orang yang sangat tahu pada Tuhan. Yang dilihat dan dirasa bukan lagi cinta, tetapi diri yang dicintai. Akhirnya sifat-sifat yang dicintai masuk kedalam diri yang mencintai.

10. Ma'rifat

Dari segi bahasa ma'rifah berasal dari kata 'arafa-yu'rifu-'irfatan yang artinya mengetahui atau mengenal sesuatu . Dapat pula berarti pengetahuan tentang rahasia hakikat agama, yaitu ilmu yang lebih tinggi daripada ilmu yang biasa didapati oleh orang-orang pada umumnya . Ma'rifat dalah pengetahuan yang obyeknya bukan pada hal-hal yang bersifat dzahir, tetapi lebih mendalam terhadap batinnya dengan mengetahui rahasianya. Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa akal manusia sanggup mengetahui hakikat ketuhanan, hakikat itu satu, dan segala yang maujud berasal dari yang satu.
Al-Kalabazi mengatakan bahwa ma'rifah ini digunakan untuk menunjukkan pada salah satu tingkatan dalam tasawuf dan diartikan sebagai pengetahuan mengenai Tuhan melalui hati sanubari. Sedangkan menurut Harun Nasution ma'rifah itu menggambarkan hubungan rapat dalam bentuk gnosis, pengetahuan dengan hati sanubari . Berarti ma'rifat mengetahui Tuhan dari dekat, sehingga hati-sanubari dapat melihat Tuhan. Dari sinilah, para sufi mengatakan:
1 Apabila mata yang terdapat dalam hati sanubari manusia terbuka, mata kepalanya akan tertutup, dan ketika itu yang dilihatnya adalah Allah.
2 Ma'rifat adalah cermin, jika seorang 'arif melihat ke cermin itu, yang akan dilihatnya hanyalah Allah.
3 Yang dilihat seorang 'arif baik sewaktu tidur maupun sewaktu bangun hanya Allah.
4 Ma'rifat membuat semua yang melihatnya akan mati karena kecantikan dan keindahannya serta semua cahaya akan menjadi gelap disamping cahaya keindahan yang gilang-gemilang.

Dari beberapa definisi di atas, dapat diketahui bahwa ma'rifah adalah mengatahui rahasia-rahasia Tuhan dengan menggunakan hati sanubari. Dengan demikian, tujuan yang akan dicapai oleh ma'rifah adalah mengetahui rahasia-rahasia yang terdapat dalam diri Tuhan. Melihat ma'rifah ini juga terdapat beberapa pandangan yang terkadang dianggap sebagai maqam dan sebagai hal. Dalam pandangan al-Junaidi (w.381 H), ma'rifah dianggap sebagai hal, sedangkan dalam Risalah al-Qusyairi, ma'rifah dianggap sebagai maqam. Selain itu, menurut al-Ghazali dalam Ihya' Ulum al-Din ma'rifah datang sebelum mahabbah, sedangkan al-Kalabazi mengatakan setelah mahabbah. Dan al-Kalabazi ini menjelaskan ma'rifah lebih menacu pada pengetahuan dan mahabbah menggambarkan kecintaan.

11. Tawakkal
Tawakkal secara etimologi berasal dari kata tawakkala-yatawakkalu-tawakkulan yang berarti pasrah atau Tawakkal adalah kesungguhan hati kepasrahan dalam bersandar kepada Allah Ta’ala untuk mendapatkan kemaslahatan serta mencegah bahaya, baik menyangkut urusan dunia maupun akhirat. Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan barangsiapa bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia akan jadikan baginya jalan keluar dan memberi rizqi dari arah yang tiada ia sangka-sangka, dan barangsiapa bertawakkal kepada Allah, maka Dia itu cukup baginya.” .
Banyak di antara para ulama yang telah menjelaskan makna Tawakkal, diantaranya adalah Al-Allamah Al-Munawi. Beliau mengatakan, “Tawakkal adalah menampakkan kelemahan serta penyandaran (diri) kepada yang diTawakkali.” . Ibnu ‘Abbas mengatakan bahwa Tawakkal bermakna percaya sepenuhnya kepada Allah Ta’ala. Imam Ahmad mengatakan, “Tawakkal berarti memutuskan pencarian disertai keputus-asaan terhadap makhluk.” Al Hasan Al Bashri pernah ditanya tentang Tawakkal, maka beliau menjawab, “Ridho kepada Allah Ta’ala”, Ibnu Rojab Al Hanbali mengatakan, “Tawakkal adalah bersandarnya hati dengan sebenarnya kepada Allah Ta’ala dalam memperoleh kemashlahatan dan menolak bahaya, baik urusan dunia maupun akhirat secara keseluruhan.” Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan, “Tawakkal yaitu memalingkan pandangan dari berbagai sebab setelah sebab disiapkan.”




Daftar Pustaka:
 Kafie, KH. Jamaluddin, Tasawuf Komtemporer. Republika. Jakarta: 2003.
 Siregar, Prof. H. A. Rivay, Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisma. RajawaliPers. Jakarta: 2002.
 Amini, Ibarahim, Risalah Tasawuf. Al-Huda. Jakarta: 2002