Cari Blog Ini

Senin, 06 April 2009

KEKUATAN DAN KELEMAHAN
PAHAM ASY'ARIYAH
SEBAGAI DOKTRIN AQIDAH ISLAM


A. Latar Belakang Asy'ariyah

Asy`ariyah adalah sebuah paham aqidah yang dinisbatkan kepada Abû al-Hasan 'Alî al-Asy`arî. Beliau lahir di Bashrah, Iraq tahun 260 Hijriyah bertepatan dengan tahun 873 Masehi. Beliau wafat pada tahun 324 H / 935 M. Beliau hadir sekitar satu abad setelah imam al-Syâfi'î, atau setengah abad setelah al-Bukhari.

Awalnya al-Asy`arî pernah belajar kepada Al-Jubba`i, seorang tokoh dan guru dari kalangan Mu`tazilah. Sehingga untuk sementara waktu, al-Asy`arî menjadi penganut Mu`tazilî, sampai tahun 300 H. Namun setelah beliau mendalami paham Mu`tazilah hingga berusia 40 tahun, terjadilah debat panjang antara dia dan gurunya, Al-Jubba`i dalam berbagai masalah terutama masalah Kalam. Debat itu membuatnya tidak puas dengan konsep Mu`tazilah dan beliau pun keluar dari paham itu dan bergabung dengan paham kaum Hadits (Ahl al-Hadits/Ahl as-sunnah) yang dipelopori oleh kaum Hanbalî dan yang bertindak sebagai pemegang bendera ortodoksi atau sunni.

Namun, tidak menutup kemungkinan jika al-Asy`arî masih memegang metode logis dan dialektis yang sekarang akan berbalik untuk membela paham Ahl al-Hadits. Pada umumnya, kaum Hadits masih mencurigakan metodologi yang digunakan oleh al-Asy`arî sehingga dalam diri al-Asy`arî merasa bahwa ia perlu membela diri dengan risalahnya yaitu Istihsân al-Khawdl fi 'ilm al-Kalâm (Anjuran untuk mendalami ilmu Kalâm).

Al-Asy`ariyah membuat sistem hujjah yang dibangun berdasarkan perpaduan antara dalil nash (naql) dan dalil logika (`aql). Dengan itu belaiu berhasil memukul telak hujjah para pendukung Mu`tazilah yang selama ini mengacak-acak eksistensi Ahl al-Hadits. Bisa dikatakan, sejak berdirinya aliran Asy`ariyah, Mu`tazilah berhasil dilemahkan dan dijauhkan dari kekuasaan. Setelah sebelumnya sangat berkuasa dan melakukan penindasan terhadap lawan-lawan debatnya termasuk di dalamnya Imam Ahmad bin Hanbal.

Kemampuan Asy`ariyah dalam memukul Mu`tazilah bisa dimaklumi karena sebelumnya Al-Asy`ari pernah berguru kepada mereka. Beliau paham betul lika-liku logika Mu`tazilah dan dengan mudah menguasai titik-titik lemahnya. Meski awalnya kalangan Ahl al-Hadits sempat menaruh curiga kepada beliau dan pahamnya, namun setelah keberhasilannya memukul Mu`tazilah dan komitmennya kepada aqidah Ahl al-Hadits atau yang sekarang ini terkenal dengan sebutan ahlus sunnah wal jama'ah.

B. Inti Pokok Paham Asy'ariyah

Pada dasarnya, inti pokok paham Asy'ariyah adalah Sunnisme. Dalam hal ini, al-Asy`arî menuturkan bahwa ia mendukung dan menganut paham Ahl al-Hadits. Maka ada beberapa hal yang dianut oleh para pendukung Hadits dan Sunnah yaitu mengakui adanya Allah, para malaikat, kitab-kitab, rasul-rasul, segala apa yang datang dari Allah dan apa yang disampaikan oleh Rasulullah SAW, percaya terhadap Qadha dan Qadar Allah, dan mempercayai adanya Dajjal. Selain itu, juga mengharuskan untuk taat kepada imam atau pemimpin dan tidak memerdulikan pemimpin itu orang baik atau orang jahat.

Adapun pandangan-pandangan Asy'ariyah yang agaknya berbeda dengan Mu'tazilah, di antaranya ialah:
1. Tentang Tuhan, bahwa Allah adalah Tuhan Yang Maha Esa. Allah berada di atas 'Arsy (Singgasana) dan Allah satu-satunya yang menciptakan segala sesuatu di bumi serta pemilik ilmu (pengetahuan). Allah dapat dilihat nantinya di akhirat, memiliki sifat-sifat seperti berkuasa, melihat, mendengar dan lai-lain.
2. Tentang al-Qur'an, yang merupakan Kalami Ilahi yang bukan makhluk dan bersifat Qadim.
3. Tentang Manusia, kebaikan dan keburukan yang dilakukan oleh manusia itu merupakan kehendak dari-Nya maka semua perilaku mereka diciptakan oleh-Nya.
4. Tentang pelaku dosa besar, bahwa seorang mukmin yang berdosa besar tidak pasti dihukumi masuk neraka dan tidak dikatakan kafir atau keluar dari keislamannya, karena Allah Maha Menerima Taubat dan Maha pengampun. Oleh karena itu, Asy'ariyah menolak konsep tentang posisi tengah (manzilah bainal manzilataini), sebab tidak mungkin pada diri seseorang tidak ada iman dan sekaligus tidak ada kafir. Harus dibedakan antara iman, kafir, dan perbuatan.
5. Tentang anthropomorphisme, bahwa Allah mempunyai mata, tangan, mata dan sebagainya yang tidak dapat dikatakan bagaimana.

Selain yang tertera di atas, paham Asy'ariyah ini menentang paham keadilan Tuhan yang di bawa oleh kaum Mu'tazilah. Menurutnya, keadilan Tuhan terletak pada keyakinan bahwa Tuhan berkuasa mutlak dan berkehendak mutlak. Apa pun yang dilakukan Allah adalah adil. Dengan demikian ia tidak setuju dengan konsep janji dan ancaman (al-wa’d wa al-wa’id).

C. Alur Argumen Kalam Asy'ariyah

Selain al-Asy'ari menganut aqidah Ahl Sunnah, ia juga mengembangkan alur argumen logis dan dialektisnya yang pernah ia dapatkan selama menjadi bagian dari Mu'tazilah. Pengembangannya ini dilakukan al-Asy'ari yang kemudian berlanjut pada pengikutnya yaitu al-Ghazali yang menjadi tumpuan kekuatan paham Asy'ariyah sebagai doktrin dalam aqidah islam kaum Sunni.

Dalam pembahasan ini, menjelaskan tentang teologi yang terpusat pada argumentasi Kalam Asy'ari yang berupaya untuk membuktikan adanya Sang Maha Pencipta yang menciptakan seluruh jagad raya dan dikatakan bahwa adanya jagad raya itu karena diciptakan dari ketiadaan. Argumen ini berkembang dan menjadi salah satu kontribusi alam pikiran islam yang paling orisional kepada pikiran umat manusia. Oleh karena itu, Ilmu Kalam memiliki karakteristik yang sangat khas dalam islam, yang menjadikan agama islam berbeda dengan agama lain mana pun. Sehingga mempengaruhi semua agama di dunia karena perkembangan Ilmu Kalam.

Meskipun paham Asy'ariyah memiliki kekuatan sampai ia menyebar di seluruh dunia yang kenyataannya banyak dianut oleh sebagian orang hingga sekarang, akan tetapi ia juga tidak lepas dari kelemahan-kelemahan. Yang menunjukkan kelemahan-kelemahannya itu ia mendapat beberapa kritikan dalam pandangannya mengenai perbuatan-perbuatan manusia bukan aktualisasi diri manusia sendiri, melainkan diciptakan oleh Tuhan. Padahal setiap yang dilakukan oleh manusia itu juga merupakan suatu usahanya. Dengan kata lain, Allah menghendaki kepada manusia atas usaha yang ia lakukan.

Selanjutnya, kritikan yang dilontarkan oleh Muhammad Abu Baki al- Baqillani (w. 1013 M), yang tidak begitu saja menerima ajaran-ajaran Asy’ari. Misalnya tentang sifat Allah dan perbuatan manusia. Menurut al-Baqillani yang tepat bukan sifat Allah, melainkan hal Allah, sesuai dengan pendapat Abu Hasyim dari Mu'tazilah. Kemudian pengikut Asy’ari lain yang juga menunjukkan penyimpangan adalah Abdul Malik al-Juwaini yang dijuluki Imam al-Haramain (419-478 H). Misalnya tentang anthropomorfisme al-Juwaini beranggapan bahwa yang disebut tangan Allah harus diartikan (ditakwilkan) sebagai kekuasaan Allah. Mata Allah harus dipahami sebagai penglihatan Allah, wajah Allah harus diartikan sebagai wujud Allah, dan seterusnya. Jadi bukan sekadar bila kaifa atau tidak seperti apapun, seperti dikatakan Asy’ari.

Mungkin selain yang tertera di atas, menurut saya mengenai paham Asy'ariyah yang mengharuskan untuk taat kepada seorang pemimpin yang tidak perduli apakah ia seorang yang baik atau jahat. Setidaknya mereka tidak bersikap seperti itu, apabila seorang pemimpin orang yang jahat maka sebaiknya tidaklah harus ditaati melainkan bersikap tegas karena hal ini akan merugikan banyak orang.

Demikian dan terima kasih.






Daftar Pustaka

Madjid, Nur Cholis. Islam dan Peradaban
Nasution, Harun. Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan. UIP. Jakarta: 1986.
http: // andaleh. blogsome. com
http: // bagustris. blogspot. com
Pandangan Pemikir Islam Tentang Ilmu Kalam

Ilmu Kalâm merupakan salah satu dari beberapa kajian keilmuan yang tumbuh dan berkembang serta telah menjadi bagian dari tradisi kajian tentang agama islam. Seperti cabang-cabang keilmuan yang telah banyak di konsumsi oleh mayoritas kaum Muslim. Jika kita melihat secara bahasa, “'ilmu kalâm” berasal dari bahasa Arab yaitu 'Ilmu adalah ma'rifah (pengetahuan) dan fahm (pemahaman). tetapi Lembaga bahasa Arab Mesir, mengartikan sebagai akumulasi persamalahan dan dasar yang menyeluruh tentang suatu pembahasan, yang dibahas dengan metode kajian tertentu, dan berakhir dengan lahirnya teori dan hukum. Sedangkan kalâm, menurut Abû Bakar al-Razî (w.478 H/1086 M) diambil dari kata kalm, yang berarti al-jurh atau cacat dan kelemahan. al-Taftazânî (w. 783 H/1391 M) juga mengemukakan dengan analisisnya bahwa lafadz kalâm dapat diinggriskan yaitu dialectic, yang berarti diskusi atau perdebatan.

Tetapi, secara terminologis ilmu kalam ini telah banyak didefinisikan oleh para Pemikir Islam seperti; Jahm bin Safwan, Washil bin 'Atha', al-Juwayni, al-Iji, dan al-Jurjani menganggap bahwa ilmu kalam sebagai disiplin ilmu yang membahas akidah islam. Sementara Ibn Khaldun (w.785 H/1364 M) mendefinisikan ilmu kalam sebagai ilmu yang berisi berbagai argumentasi teologis dan dalil-dalil rasional ('aqliyyah) serta kritik terhadap ahli bid'ah yang melakukan penyimpangan teologis dari madzhab salaf dan Ahlussunnah. Sedangkan menurut al-Mulla 'Alî al-Qari (w.997 H/1605 M) bahwa ilmu kalâm adalah ilmu-ilmu mengenai teologi keagamaan atau yang diambil dari dalil-dalil yang meyakinkan. Kelihatannya, definisi ini agak mirip dengan yang dikemukakan 'Abd. al-Fattâh yaitu ilmu yang berfungsi untuk menguatkan teologi keagamaan dengan menggunakan dalil-dalil rasional.
Berdasarkan definisi yang telah dikaji di atas, ternyata masih banyak ulama lain yang menyebutkan atau memberikan definisi dengan istilah yang berbeda-beda. Seperti Abû Hanîfah (w.150 H/787 M) yang menggunakan dengan istilah 'ilm al-fiqh al-akbar. Al-Baghdâdî (w. 429 H/1037 M) menyebutnya ushûl al-dîn. Kemudian ada juga yang mengatakan 'ilm al-tauhîd, 'ilm al-nazhar wa al-istidhlâl, dan lain sebagainya. Dari berbagai definisi itu jelaslah bahwa ilmu kalam sering di terjemahkan dengan sebutan teologi, tetapi yang sangatlah perlu untuk diperhatikan adalah, makna teologia disini tidaklah sama persis dengan teologi yang ada dalam agama Kristen, sebagai contoh misalnya: dalam pengertian teologi yang berkembang di dalam ranah agama Kristen, ilmu tentang hukum-hukum atau syari’at keagamaan akan termasuk dalam teologi. Disebabkan hal itu pula, sebagaian dari para pemikir yang menginginkan pengertian yang lebih “tepat sasaran” akan menerjemahkan ilmu kalâm dengan pengertian teologi dialektis ataupun teologi rasional, dengan begitu ilmu kalâm terlihat sebagai suatu disiplin keilmuan yang sangatlah khas Islam.

Berangkat dari sanalah, maka terdapat perbedaan pandangan ulama sejak dulu tentang keperluan disiplin ilmu kalâm dan membantu umat untuk mendekati persoalan keagamaan, terutama yang bersifat ‘aqadiyyah. Secara umum dapat dikatakan bahwa perbedaan pandangan tersebut berakar pada perbedaan ulama dalam menilai akurasi pengetahuan yang ditimbulkan oleh capaian-capaian akal atau nalar. Sebenarnya ilmu kalâm hadir karena beberapa faktor yang menyelimutinya, 'Abd. Al-Fattah menjelaskan lebih rinci mengenai faktor-faktor tersebut, di antaranya;

1. Faktor-faktor Internal; diklasifikasikan bahwa faktor-faktor intern umat Islam itu terdapat dua macam: Pertama, al- Qur'an yang di dalamnya banyak mendorong manusia agar mempunyai ilmu pengetahuan, melakukan penelitian mengenai fenomena alam, mengangkat kedudukan orang yang berilmu, membantah taqlid dalam berakidah, dan membantah akidah yang dibangun dengan spekulasi. Sedangkan yang kedua, peristiwa politik yang berawal dari fitnah besar yang terjadi setelah terbunuhnya 'Utsman bin 'Affan sehingga melahirkan konflok politik yang kemudian merembet ke dalam persoalan akidah, karena masing-masing pihak menjastifikasi kelompoknya dengan argumentasi teologis.


2. Faktor-faktor Eksternal; yang terdapat karena pengaruh futûhât (penaklukkan)yang dilakukan kaum Muslim terhadap wilayah Romawi, Persia, dan India, yang merupakan tempat lahir dan berkembangnya filsafat serta agama-agama non-Islam. Disamping itu juga karena faktor-faktor penerjemahan filsafat ke dalam bahasa Arab.

Meskipun sudah jelas mengenai awal mula munculnya ilmu kalâm, akan tetapi perbedaan pandangan tetaplah gencar. Dari ide-ide al-Qur'an di ataslah maka kelompok Mutakallimûn menciptakan dan mengembangkan sebuah ilmu tentang kebutuhan (teologi Islam) yang dikenal dengan sebutan ilmu kalâm. Tetapi secara historis dapat diketahui bahwa kaum Hanbaliah merupakan kelompok yang paling keras menolak kehadiran ilmu kalâm dalam sistem ajaran Islam. Karena pada umumnya kaum Hanbaliah melihat problematika ilmu kalâm (teologi) yang terpenting adalah terletak pada metode argumentasinya yang tidak sesuai dengan tuntutan Al-Qur’an dan Sunnah karena menggunakan metode dialektis dan rasional, yang pada dasarnya pinjaman dari luar, khususnya filsafat Yunani.

Selain itu, Imam Syafi'i berlaku kasar terhadap kalâm dan Mutakallimûn karena menurutnya Ahl kalâm itu telah terbukti membawa hasil kerja nalar yang berbahaya bagi umat. Perlakuan kasar ini juga disetujui oleh Ibn Taimiyyah yang menganggap bahwa kaum Mutakallimûn telah mengabaikan metodologi yang ditawarkan Al-Qur’an dalam menjelaskan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan ushûl al-dîn. Hal ini erat kaitannya dengan kepercayaannya bahwa Al-Qur’an meskipun tidak pantas disebut selain sebagai kalâm, mengandung ajaran yang sesungguhnya pantas di sebut ushûl al-dîn itu. Al-Qur’an dan Sunnah, menurutnya mengajukan bukti-bukti dalam berbagai bentuk dan cara, sesuai dengan kebutuhan manusia. Tetapi pandangan Ibn Taimiyyah ini merupakan tuduhan yang diberikan oleh kaum Mutakallimûn, menurut mereka.

Ulama lain yang mempunyai sikap anti kalam yang cukup ekstrim adalah Fakhr al-Dîn al-Râzi. kalâm menurutnya lebih banyak memberikan keraguan daripada kepastian. Al-Râzi ini pernah mengatakan bahwa ia telah lama melakukan perenungan yang mendalam tentang metodologi kalam dan prosedur-prosedur yang dilalui filsafat, dan ia menemukan bahwa kedua-duanya tidak pernah dapat menyembuhkan penyakit sebagaimana kedua-duanya tidak pernah dapat melepaskan lapar dan dahaga iman. Metodologi yang terbaik menurutnya adalah apa yang disodorkan oleh al-Qur’an.

Pandangan-pandangan di atas ini, disanggah oleh kaum Mutakallimûn sendiri, terutama oleh Al-Asy’ari. Menurut al-Asy’ari, Nabi Muhamamd memang tidak merumuskan ilmu kalam (teologi), tetapi dasar-dasar pemikiran dalam ilmu kalâm yang dikembangkan kaum Mutakallimûn terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah. Kaum Mutakallimûn mempunyai pandangan bahwa metode dan teori rasional-lah yang dapat menghasilkan pengetahuan yang benar, oleh karena itu mempelajarinya merupakan suatu keharusan (wajib).

Meskipun ulama-ulama tersebut di atas telah mengkritik tajam terhadap ilmu kalâm, tetapi al-Asy’ari melihat argumen-argumen yang dikemukakan oleh pengkritik kalâm adalah argumen-argumen yang tidak mempunyai dasar sama sekali. Dan ia berupaya untuk memberi sanggahan-sanggahan kepada mereka. Imam al-Zarkasyî juga melihat upaya yang dilakukan oleh kaum Mutakallimûn sebagai upaya yang positif. Ia menyatakan dengan tegas bahwa tidak ada argumen dan dalil pembagian dan pembatasan terhadap semua pengetahuan 'aqliyyah dan sam’iyyah melainkan al-Qur’an juga membicarakannya.

Mayoritas Ahl kalâm berpendapat bahwa nalar merupakan jalan untuk membuka pengetahuan, yang terdapat pengetahuan tentang ketuhanan. Sementara Abû Mâ’in dari kubu Ahl al-Sunnah berpendapat bahwa setiap orang yang sudah balligh harus sanggup membuktikan adanya Tuhan, pencipta alam semesta, melalui argumen rasional. Al-Baqillânî mendeskripsikan pandangan Al-Asy’ariah yang mewajibkan seseorang karena yang demikian itu adalah perintah syara’. Ia menyatakan bahwa yang pertama kali diwajibkan Allah atas hamba-hamba-Nya, dan berargumen secara rasional dengan bukti kekuasaan-Nya sebab Allah tidak dapat diketahui begitu saja dan tidak dapat dicapai dengan pandangan empiris. Maka tak ada salahnya jika ilmu kalâm dipelajari oleh semua kaum Muslim yang sesungguhnya ilmu kalâm menjadi bagian terpenting dalam islam.

Daftar Pustaka:

 Oliver Leaman, Ensiklopedia Tematis Islam. Buku pertama, terj. Mizan. Bandung: 2003.
 Muhammad Maghfur W. MA. Koreksi atas Kesalahan Pemikiran Kalam dan Filsafat Islam. Al-Izzah. Bangil-Jatim: 2002.
 http: //www. sinshad. blogspot.com
 http: //www. hakiy. multyply. com
TASAWUF

A. Latar Belakang Tasawuf
Berawal dari abad 7 M, di wilayah Arab terdapat sebuah masyarakat yang terpecah-belah, yang selama beberapa abad lamanya telah mengalami perkembangan dalam tradisi yang mapan berupa peperangan, paganisme dan nilai-nilai kesukuan lainnya. Meskipun pada masa itu bangsa Arab telah melakukan aktivitas perniagaan diluar wilayah Arab, namun mereka tidak begitu banyak dipengaruhi oleh budaya lain.
Setelah beberapa lamanya mengalami zaman kehancuran, atau disebut zaman Jahiliyah. Tiba-tiba sebuah “cahaya nubuwat” yang mengagumkan hadir dihadapan mereka. Cahaya ini pertama-tama menyingkap dan menghancurkan sifat kebinatangan dan ketidakadilan dalam masyarakat tersebut. Manusia yang luar biasa, membawa cahaya baru dari pengetahuan ini adalah Nabi Muhammad SAW.
Dalam waktu 23 tahun, Nabi Muhammad SAW mengajarkan kebenaran abadi yaitu bahwa manusia dilahirkan ke dunia ini demi mempelajari jalannya penciptaan seraya akan kembali pada sumbernya, Maha Pencipta Yang Satu. Beliau berhasil membawa mereka pada jalan yang benar, meskipun dalam meraihnya penuh dengan penderitaan. Mereka dapat menerima ajarannya dan penjelasan tentang ayat-ayat Al-qur’an yang diwahyukan kepadanya. Mereka menyembah Allah dan mengikuti Nabi yang hidup penuh dengan pengetahuan dan kecintaan kepada Allah.
Ketika Nabi Muhammad wafat, umat islam mengalami keguncangan yang sangat, yang berakhir dengan pemilihan Abu Bakar sebagai khalifah pertama umat islam. Masa kepemimpinannya yang berlangsung selama 2 tahun ini penuh dengan perselisihan internal. Di mana mentalitas orang Arab yang sama sekali tidak suka ditindas, sebab mereka memiliki mental jiwa yang tidak bisa terikat. Salah satu menurut mereka untuk menindas adalah pemungutan pajak.
Pembayaran zakat, yang diwajibkan Abu Bakar oleh mereka dipahami sebagai penindasan yang tidak disukai mereka. Akhirnya, periode kepemimpinan Abu Bakar sebagian besar dihabiskan untuk menyelesaikan perselisihan internal. Abu bakar wafat, maka Umar diangkat sebagai khalifah selanjutnya. Pada masa kepemimpinannya terjadi ekspansi islam yang begitu luas, di antaranya; Mesir,Persia dan Kerajaan Byzantium dapat ditaklukkan. Umar yang terkenal dengan kesederhanaannya dan tidak bermewah-mewahan. Beliau wafat ditikam oleh seorang budak Persia ketika sedang melaksanakan shalat di masjid.
Kemudian dilanjutkan oleh khalifah ustman, pada periode itu banyak istana yang dibangun dan orang-orang mulai berlomba-lomba dalam membangun gedung-gedung yang megah. Setelah ustman terbunuh maka diteruskan oleh Ali bin Abi Thalib. Pada masa itu, banyak orang-orang yang mengaku sebagai seorang muslim, tetapi tidak sepenuhnya mengetahui atau mempraktikkan jalan hidup (way of live) Nabi.
Masa kepemimpinan terus berjalan dan berganti, yang pada akhirnya masuk masa kekuasaan dinasti Umayyah yang korup ini, penaklukan-penaklukan terus berlangsung dan orang-orang yang masuk islam semakin bertambah. Akan tetapi secara umum sebagian besar penguasa itu adalah tiran dan berorientasi duniawiyah, meskipun terdapat orang islam yang tulus dan arif yang memahami serta melaksanakan ajaran islam, tetapi secara aktual mereka dihalangi oleh haus akan kekuasaan dan kekayaan.
Maka, pada 750 H muncullah dinasti lainnya dan dalam tahun-tahun berikutnya keadaan menjadi lebih memburuk, hal yang lumrah bagi seorang raja yang membunuh keluarganya demi memperebutkan kekuasaan atau untuk memposisikan dirinya dari rival lain. Sebagai contoh, Al-Ma’mun membunuh saudara laki-lakinya Al-Amin, yang menjadi rival dalam perebutan dinasti ‘Abasyiyah. Beberapa perempuan yang terlibat dalam tipu daya mereka dari balik layar, dan para raja yang bercita-cita menjadi kaisar dan hidup dalam kemewahan dan kesenangan.
Keadaan-keadaan yang penuh dengan kekacauan politik dan ketegangan sosial seperti itulah yang menyebabkan muncul para sufi yang dalam perjalanan kehidupannya lebih mengkhususkan diri untuk beribadah dan pengembangan kehidupan rohaniah dengan mengabaikan kenikmatan duniawi. Pola hidup seperti itulah yang dapat merubah kehancuran yang telah terjadi dan kesalehan yang merupakan awal pertumbuhan tasawuf yang kemudian berkembang dengan pesatnya. Dari aspek ini, tasawuf didefinisikan sebagai upaya memahami hakikat Allah seraya melupakan segala sesuatu yang berkaitan dengan kesenangan duniawi. Definisi lain mengatakan, bahwa tasawuf adalah usaha mengisi hati dengan hanya ingat kepada Allah, yang merupakan landasan lahirnya ajaran al-hubb atau cinta ilahi.
A. Pengertian Taqlid

Secara bahasa, taqlid berarti rantai atau sesuatu yang diikatkan pada leher. Menurut istilah Hukum Islam, ialah mengikuti pendapat seorang Faqih, ata seorang imam, tanpa mengetahui dalil atau sumber hukumnya. Sedangkan menurut istilah ushul fiqh, taqlid diartikan sebagai menirukan orang lain dalam melakukan atau meninggalkan sesuatu. Seperti mengusap sebagian kepala saat wudhu dengan mengikuti Imam Syafi'i dan tidak membaca surah al-Fatihah dalam shalat ketika menjadi seorang ma'mum karena mengikuti Imam Abu Hanifah, dan lain sebagainya.

Berdasarkan definisi di atas, ternyata muncul berbagai pendapat mengenai taqlid, di antaranya yaitu:
1. Definisi taqlid menurut Saifuddin Abul Hasan Ali al-Amidi dalam Ahkamul Ahkam: “Mengamalkan pendapat orang lain tanpa argumentasi yang mantap”.
2. Ibnu Hummam dalam Tahrir: “Mengamalkan pendapat orang yang perkataannya tidak termasuk sebagai hujjah (argumentasi), atau tanpa hujjah”.
3. Menurut Imam Syaukani dalam Irsyadul Fuhul: “Menerima pendapat atau ucapan orang, sementara engkau sendiri tidak mengetahui dari mana datangnya ucapannya itu”.

Demikianlah definisi yang biasa kita kenal. Dan dalam hal ini, para ulama berbeda pendapat mengenai boleh tidaknya bertaqlid pada masalah-masalah hukum. Jumhur ulama tidak membolehkannya secara mutlak, karena supaya setiap orang Muslim berusaha mengetahui hukum Allah beserta dalil atau sumbernya. Sedangkan sebagian ulama mewajibkan secara mutlak dan sebagian ulama lain merinci, yaitu wajib atas orang awam untuk bertaqlid karena ia harus mengetahui hukum-hukum agama dan tidak harus mengetahui dalil-dalilnya. Kemudian taqlid yang diharamkan bagi mujtahid karena sudah memiliki kompetensi ijtihad.

Kewajiban bertaqlid bagi orang awam ini diperkuat dalam firman Allah QS.an-Nahl ayat 43:
Fas alû ahladzdzikri in kuntum lâ ta'lamûn
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai kemampuan, jika kamu semua tidak mengetahuinya”. (QS. an-Nahl: 43)
Ayat di atas merupakan perintah untuk bertanya yang bersifat umum bagi setiap individu, mengenai bahan yang dipertanyakan dan meliputi apapun yang tidak tahu.

B. Bentuk-bentuk Taqlid

Secara garis besar bentuk taqlid terbagi atas:
1. Taqlid Syakhsyi

Taqlid Syakhsyi ialah mengikuti kepada pribadi seseorang, yang menjadi sosok utama dan yang dikehendaki oleh al-Qur'an adalah Nabi Muhammad SAW. Allah SWT telah menjadikan beliau sebagai panutan untuk diikuti (ditaati) ajaran dan perilakunya bagi umat Muslim. Ini merupakan keharusan bagi semua orang mukmin di dunia untuk bertaqlid kepadanya. Dalam firman-Nya:
Laqad kâna lakum fî rasûlillâhi usawatun hasanatul liman kâna yarjullâha walyaumal âkhira wadzakarallâha katsîrâ.
“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharapkan (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyabut nama Allah”. (QS. Al-Ahzab: 21)
Innaka laminal mursalîn. 'Alâ shirâtin mustaqîm.
“Sesungguhnya kamu salah seorang dari Rasul-rasul. Yang berada di atas jalan yang lurus”. (QS. Yasin: 3-4)
Innaka 'alal haqqil mubîn.
“Sesungguhnya kamu berada di atas kebenaran yang nyata”. (QS. An-Naml: 79)

Berdasarkan pernyataan al-Qur'an terhadap pribadi beliau telah jelas, bahwa umat Muslim tidak hanya diajak untuk mengikuti tingkah lakunya saja, tetapi lebih jauh lagi harus mendorong untuk benar-benar bertaqlid kepadanya dengan penuh keyakinan. Atas dasar itu juga, semua perkataan, perbuatan, dan ketetapannya atau yang disebut Hadits atau Sunnah yang menjadi bagian penting sebagai dasar hukum islam yang menduduki urutan kedua setelah al-Qur'an.

Selain itu, meskipun al-Qur'an dan Hadits menjadi sumber hukum islam yang sudah jelas dalam kerangka syari'ah, tetapi keduanya tidak menyatakan bahwa al-Qur'an dan Hadits mengandung seluruh hukum yang senantiasa berkembang seirama dengan perubahan umat Muslim dan zaman. Karena aturan-aturan syari'at terbatas, sedangkan kebutuhan umat Muslim yang terus berubah, meluas, tidak ada habisnya, dan tidak terbatas .

Melihat kebutuhan umat seperti itu, tentu memerlukan aturan-aturan baru yang sesuai dengan kelangsungan hidupnya agar kesejahteraan tetap terjalin. Oleh karena itulah, setiap sesuatu yang dilakukan Fuqaha (para ahli hukum islam) dalam kerangka syari'ah dapat dianggap sebagai bagian dari hukum islam . Al-Qur'an dengan jelas menyatakan kebolehan bagi umat Muslim mengikuti para mujtahid atau bertaqlid kepada mereka:
Fas alû ahladzdzikri in kuntum lâ ta'lamûn
“Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui”. (QS. Al-Anbiya': 7)

2. Taqlid Muthlaq

Taqlid Muthlaq merupakan bagian dari cara ittiba' (mengikuti), yang memberikan kebebasan kepada muqallid untuk mengikuti pendapat mujtahid manapun dari madzhab-madzhab yang diakui. Dengan kata lain, taqlid muthlaq ini mengikuti pendapat orang lain secara bebas, tidak terikat pada salah satu madzhab, atau mujtahid. Ia boleh mengikuti pendapat mana saja yang dianggap memuaskan pikirannya.

Muqallid dalam taqlid muthlaq ini tetap merupakan pengikut madzhab tertentu yang diakui, tetapi ia juga berhak menerima fatwa dari Faqih madzhab-madzhab lain yang terkenal. Bahkan, ia dapat pula menjalankan fatwa madzhab lain tadi dalam kehidupan sehari-hari dan ini tidak sama sekali menghilangkan arti keterikatannya pada madzhabnya. Cara seperti itulah yang dilakukan orang pada abad pertama dan kedua. Oleh karena itu, seorang Muslim yang mempunyai keilmuan yang mantap sangat dianjurkan untuk langsung bertaqlid kepada Rasulullah, atau setidak-tidaknya sebagai Muqallid Muthlaq. Dan sebagai penganut taqlid ini, ia dapat mengikuti fatwa siapa saja yang dipandang lebih dekat kepada sunnah Rasulullah dan sistemnya.

Tetapi , ada yang mengatakan bahwa taqlid muthlaq adalah taqlid terendah dari tingkatan taqlid seperti yang dilakukan oleh kebanyakan orang awam, di mana dalam keseluruhan hukum Islam, mereka mengikuti pendapat imam mujtahid dalam madzhabnya, baik dengan mengetahui dalilnya atau bahkan tanpa mengetahui dalilnya karena kemampuannya yang sangat-sangat terbatas sekali.

3. Taqlid Mahdhi

Adalah mengikuti madzhab tertentu dan menetap dengan setia, tidak berpindah-pindah selama hidupnya. Tetapi dalam taqlid ini, dijelaskan pula bahwa terdapat perbedaan dan perdebatan di kalangan Fuqaha mengenai apakah syari'ah islam mengharuskan seorang Muslim bertaqlid kepada satu madzhab tertentu sepanjang hidupnya? Ibnu Hummam al-Hanafi berkeyakinan bahwa seorang muqallid tidaklah harus terus-menerus mengikuti satu madzhab saja, karena keharusan seperti ini memang tidak diwajibkan . Dan seorang pengikut madzhab Hanafi yang menulis kitab Musallam ats-Tsubut mengatakan bahwa seseorang yang mengambil dasar fiqih dari suatu madzhab, tidak ada salahnya untuk tetap mengamalkan dasar-dasar madzhabnya jika dia masih senang dengan madzhabnya itu. Tidak ada salahnya pula jika mengambil pendapat madzhab yang lain. Tradisi ini berkembang pada abad permulaan islam.

Dengan demikian, taqlid mahdhi merupakan cara seseorang mengikuti fatwa seorang mujtahid dalam suatu masa tertentu, dan mengambil fatwa dari mujtahid yang berbeda untuk waktu yang lain. Ini adalah cara mengatasi persoalan di antara mereka . Taqlid mahdhi ini juga telah menggantikan kedudukan taqlid muthlaq, meskipun tidak lagi diamalkan oleh mayoritas kaum Muslim .

4. Taqlid Jamid

Taqlid Jamid adalah cara mengikuti pendapat suatu madzhab secara fanatis, atau dengan kata lain merupakan bentuk ekstrim daripada taqlid mahdhi yang tampaknya memang menjadi puncak dari semua taqlid. Para pengikut taqlid ini hanya menganggap benar pada Imam atau yang diikutinya, sementara pendapat lain dipandang salah. Taqlid ini hadir pada masa transisi atau fanatisme madzhab.

Secara esensi, taqlid jamid ini dikatakan tidak benar karena ia menjurus ke arah yang bertentangan dengan semangat taqlid itu sendiri. Bahkan, ia juga bertentangan dengan ijma' sahabat, tabi'in, tabi'it tabi'in, dan semua mujtahid dari golongan salaf. Pendeknya, taqlid jamid ialah jenis taqlid paling menyimpang dari sistem taqlid sendiri. Ia juga bertentangan dengan syari'ah. Ia tidak berbeda dengan sistem kehidupan yang dikecam al-Qur'an, yakni serupa dengan taqlid umat-umat Yahudi dan Nashrani.

C. Pengertian Ijtihad

Secara harfiah, Ijtihad adalah usaha maksimal untuk mewujudkan sesuatu yang dituju. Sedangkan menurut ulama Ushul ialah usaha seseorang dalam merumuskan hukum yang bersifat amaliyah (praktis) dari dalil-dalil terperinci. Tetapi lagi-lagi terdapat beberapa pendefinisian yang diutarakan oleh para pakar , yaitu:
 Definisi yang diberikan oleh al-Amudi dan Ibn al-Hajib; ”Pengerahan kemampuan dalam mendapatkan pengetahuan bertaraf asumtif (zhann) atas hukum-hukum syara'”.
 Al-Ghazali mengemukakan: ”Pengerahan kemampuan dari seorang mujtahid dalam mencapai keyakinan atas hukum-hukum syara'”.
 Definisi yang dikemukakan al-Baidhawi: ”Pengerahan kemampuan dalam menemukan hukum-hukum syara' yang mencakup dengan kebenaran rasio ('aqliyyah) dan doktrinal (naqliyyah), kebenaran pasti (qath'i) dan kebenaran asumtif (zhanni)”.
 Al-Zarkasyi mendefinisikan ijtihad: ”pengerahan segenap kemampuan dalam menemukan hukum-hukum syara' yang bersifat amaliyah dengan menggalinya dari sumber-sumber nya (istinbath)

D. Syarat-syarat Mujtahid

Dalam menentukan kriteria-kriteria seorang mujtahid yang telah disepakati oleh ulama, maka secara sistematis dapat disimpulkan bahwa seseorang dapat mencapai pada level mujtahid dengan penguasaannya terhadap delapan bidang pengetahuan , di antaranya:

Pertama, menguasai bahasa arab dari segi vocabulary (lughah), gramatika (nahwu-sharaf), sastra dan gaya bahasa. Karena selain al-Qur'an dan Hadist diturunkan sebagai sumber hukum islam yang tersusun dengan bahasa Arab, juga dapat memudahkan berkomunikasi dengan orang Arab yang beragam kebiasaan pemakaiaannya, sehingga dapat dibedakan dan diketahui kata per kata, susunan kata, hakikat dan majas, yang umum dan khusus, muhkam dan mutasyabih, serta muthlaq dan muqayyad.

Kedua, memiliki pemahaman atas ayat-ayat hukum al-Qur'an secara etimologis, yaitu mengetahui makna-makna kata per kata dan susunannya, serta secara tekstual dan kontekstual. Kemudian secara epistemologi ialah seorang mujtahid diharuskan untuk memiliki pengetahuan ayat-ayat yang 'amm dan khash, mengenai nasakh dan mansukh, mengenai beragam kausa ('illat), variabel-variabel penetap hukum dan lain-lain.

Dalam hal ini, sebagian ulama berpendapat bahwa seorang mujtahid tidak diharuskan untuk hafal al-Qur'an secara keseluruhan. Cukup hanya kemampuan dalam merujuk ayat-ayat yang dibutuhkan. Tetapi menurut Imam Syafi'i, seorang mujtahid disyaratkan untuk hafal al-Qur'an diluar kepala secara keseluruhan dan menguasai isi kandungannya.

Ketiga, mengetahui Hadits-hadits mengenai hukum seperti yang mengandung hukum taklifi, nasakh dan mansukhnya, 'amm dan khashnya, muthlaq dan muqayyadnya, mengetahui betul seluk-beluk dan isi dari Hadits atau Sunnah juga harus mengetahui riwayat dan sanadnya. Di sini tidak ada keharusan untuk menghafalkan Hadits sama halnya seperti pada al-Qur'an. Dalam hal ini, yang harus dipenuhi seorang mujtahid adalah kemampuan merujuk pada saat dibutuhkan. Menurut al-Mawardi, bahwa seorang mujtahid haruslah mengetahui setidaknya 500 buah Hadits tentang hukum. Sedangkan Ibn 'Arabi mengatakan 3000 Hadits dan banyak lagi ulama lain yang mengatakan bilangannya hingga 500.000 Hadits.

Keempat, mengerti ijma’ dan ikhtilaf. Mujtahid haruslah mengetahui ijma’ para ulama dan dasar-dasarnya. Dapat memastikan bahwa hukum yang dikeluarkan tidak melanggar garis mujtahid pendahulnya. Dan mujtahid juga harus mengetahui hal-hal ikhtilaf (perbedaan pendapat) beserta seluk-beluknya. Sehingga dalam mencetuskan suatu hukum ia tidak memunculkan pendapat baru yang menyalahi konsesus ulama atas ikhtilaf hukum dalam versi-versi baru.

Kelima, mengetahui tata cara qiyas, syarat-syaratnya, dan metode-metode yang dipakai ulama salaf yang shahih dalam mengetahui 'illat-'illat hukum. Karena dengan demikian mujtahid dapat mengembangkan penerapan hukum dan mengantarnya pada hukum-hukum yang lebih rinci, sebab qiyas merupakan wujud nyata dari aktivitas mujtahid.

Keenam, memiliki pengetahuan tentang penalaran yang benar terhadap berbagai bentuk argumentasi, pendefinisian, dan metode penyimpulan atau yang terdapat dalam ilmu logika (manthiq). Mengenai ilmu logika ini, terdapat perbedaan pendapat seperti Ibn Taimiyyah yang membenci adanya ilmu logika. Karena mungkin pada saat itu, melukukan ijtihad tanpa adanya ilmu logika masih belum berkembang dalam dunia islam. Tetapi melihat kebudayaan dan peradaban manusia yang semakin maju , maka ilmu logika berguna sebagai ukuran dalam penalaran dan mempertahankan kebenaran. Sebagaimana imam Syafi'i mensyaratkan pemahaman dan penalaran yang benar, agar dapat mencapai inti kebenaran.

E. Macam-macam Tingkatan Mujtahid

Menurut ulama Ushl Fiqh tingkatan mujtahid terbagi pada tujuh tingkatan, yang diperinci dengan lima tingkatan pertama tergolong mujtahid dan dua tingkatan berikutnya masuk dalam kategori muqallid yang belum mencapai derajat mujtahid. Tingkatannya sebagai berikut:

1. Mujtahid Mutsaqil

Adalah tingkatan mujtahid yang independen atau mandiri, mempunyai kemampuan dalam mengkaji ketetapan hukum langsung dari al-Qur'an dan Sunnah, melakukan qiyas, mengeluarkan fatwa atas pertimbangan, dan menerapkan dalil istihsan yang mereka ciptakan sendiri. Mereka mengambil metode yang mereka ambil sebagai pedoman dan tidak mengekor pada mujtahid lain, artinya mereka merumuskan sendiri metodologi ijtihadnya dan menerapkannya pada masalah-masalah furu' (cabang) yang kemudian disebarluaskan kepada masyarakat.

Ada beberapa yang termasuk dalam kategori Mujtahid Mutsaqil, yaitu; seluruh Fuqaha Sahabat, Fuqaha Thabi'in seperti Sa'id bin Musayyab dan Ibrahim an-Nukha'i, dan Fuqaha Mujtahid seperti Ja'far ash-Shadiq, Muhammad al-Baqir, Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi'i, al-Laits bin Sa'ad, Sufyan ats-Tsauri, dan lain-lain.


2. Mujtahid Muntasib

Tingakatan yang kedua ini, merupakan tingkatan mujtahid yang memilih atau mengambil pendapat-pendapat imamnya dalam masalah ushul, tetapi berbeda pendapat dalam masalah furu'. Dengan kata lain, tingkatan mujtahid Muntasib ini hanya terikat pada sistem ijtihad imamnya yang mempunyai otoritas untuk mengkaji masalah furu' yang pernah dikaji oleh imamnya. Dan hasil dari ijtihadnya bisa saja sejalan atau bertentangan dengan hasil ijtihad imamnya. Selain itu, juga mempunyai otoritas dalam berijtihad mengenai masalah-masalah yang belum pernah dijumpai oleh imamnya.

Menurut Ibnu 'Abidin yang termasuk dalam mujtahid muntasib adalah murid-murid Abu Hanifah, tetapi pendapat Ibnu 'Abidin ini kiranya harus dipertimbangkan lagi karena murid-murid Abu Hanifah seperti Abu Yusuf dan muridnya, Muhammad bin Ja'far, dan Zufar lebih banyak memakai Hadits daripada menggunakan qiyas. Oleh karena itu, mereka cenderung masuk pada tingkatan mujtahid Mutsaqil. Selain itu, dalam madzhab Syafi'i yang tergolong dalam tingkatan ini adalah al-Muzany, sedangkan dalam madzhab Maliki ialah Abdurrahman Ibnu Qasim, Ibnu Wahhab, Ibnu Abdul Hakam, dan lain sebagainya.

3. Mujtahid Madzhab

Ialah tingkatan mujtahid yang mengikuti atau mengambil masalah-masalah mengenai ushul maupun furu' dari imamnya. Mereka memiliki peran dalam ijtihadnya dalam menerapkan 'illat-'illat fiqih yang telah digali oleh para seniornya terhadap masalah-masalah yang belum dijumpai pada saat itu juga. Secara otentik, mujtahid Madzhab ini mengambil kaedah-kaedah yang telah dipakai oleh imam pendahulunya, sehingga mereka hanya menggali hukum-hukum yang belum ada ketetapannya berdasarkan kaedah-kaedah tersebut.

Dari tingkatan inilah maka lahir aliran-aliran fiqih atau disebut dengan al-Fiqh al-Madzhabi, dapat meletakkan asas-asas bagi perkembangan madzhab, mengeluarkan ketentuan-ketentuan hukum baru berdasarkan prinsip-prinsip dari madzhab-madzhab tersebut. Selain itu, mujtahid ini pula yang meletakkan asas-asas tarjih (pengunggulan) dan muqayasah (perbandingan) terhadap pendapat-pendapat ulama dalam menilai keshahihan atau kedha'ifannya.

Beberapa yang termasuk ke dalam tingkatan ini, yaitu dari kalangan Hanafiyyah seperti Hasan bin Ziyad, al-Karkhi dan al-Thahawi. Dari kalangan Malikiyyah seperti al-Abhari dan Ibnu Abi Ziyad. Dari kalangan Syafi'iyyah yaitu Abu Ishaq al-Syairazi.

4. Mujtahid Murajjih

Tingkatan mujtahid yang keempat ini merupakan tingkatan mujtahid yang hanya melakukan pentarjihan (pengunggulan) terhadap pendapat-pendapat yang diriwayatkan oleh seorang imam dengan menggunakan alat tarjih yang telah dirumuskan oleh mujtahid pada tingkatan sebelumnya atau di atasnya. Mereka mentarjih sebagian pendapat atas pendapat lain karena dipandang lebih kuat dalilnya atau sesuai dengan konteks keadaan masyarakat pada saat itu. Oleh karena itu, mereka tidak melakukan atau tidak masuk ke dalam kategori untuk melakukan istinbath (pengambilan hukum) baru yang independen atau mengikuti metode istinbath imamnya. Yang tergolong dalam tingkatan mujtahid ini adalah Abu al-Hasan al-Quduri dan al-Marghinani dari kalangan Hanafiyyah.

5. Mujtahid Muwazin

Adalah tingkatan mujtahid yang hanya melakukan perbandingan antara beberapa pendapat dan riwayat, seperti mengetahui bahwa pendapat ini lebih shahih atau kuat riwayatnya dari pada pendapat lain. Sebenarnya perbedaan antara tingkatan ini dengan tingkatan sebelumnya tidak begitu jelas, maka menurut Ibnu Abidin bahwa dari tingkatan tersebut sebaiknya dibuang satu tingkatan, yang menjadi penggabungan dari tingkatan ketiga, keempat, dan kelima sehingga melahirkan dua tingkatan, yaitu:

Pertama, tingkatan Mukharrij ialah mujtahid yang melahirkan ketetapan hukum terhadap masalah-masalah yang belum dibahas oleh para perintis madzhab sebelumnya dengan didasarkan kaedah-kaedah dari madzhab tersebut.

Kedua, tingkatan Murajjih, yaitu seorang mujtahid yang melakukan tarjih di antara beberapa riwayat dan pendapat yang berbeda-beda. Dan hasilnya, dapat diketahui riwayat yang paling shahih dan paling kuat, atau paling dekat dengan Sunnah atau qiyas yang shahih, atau pula lebih besar manfaatnya untuk kepentingan masyarakat.


Adapun tingkatan berikutnya yang termasuk dalam kategori Muqallid, hal ini disebabkan karena tidak terdapat aktivitas dalam berijtihad hanya saja menghimpun dan membukukkan pendapat-pendapat ulama. Di antaranya, yaitu:

6. Muhafizh

Tingkatan Muhafizh merupakan tingkatan yang tergolong pada Muqallid yang mengetahui pendapat yang kuat atau yang shahih dan urutan tarjih sesuai dengan hasil garapan dari mujtahid-mujtahid Murajjih. Ibnu Abidin mengatakan bahwa mereka adalah yang mampu menbedakan antara pendapat yang terkuat, yang kuat, yang dha'if, riwayat yang zhahir, madzhab yang zhahir, dan riwayat yang nadir (langka).

Dengan kata lain, mereka dapat memberikan penilaian mengenai pendapat-pendapat mujtahid Murajjih yang dipandang paling kuat dari segi tarjihnya, selain itu mereka berhak mengeluarkan fatwa seperti para ulama di atasnya, akan tetapi hanya dalam ruang lingkup yang terbatas.

7. Muqallid

Pada tingkat terakhir ini, merupakan posisi terbawah dari semua tingkatan yang telah diuraikan di atas. Mereka adalah seorang yang mengetahui kitab-kitab Allah, Hadits-hadits Rasulullah serta fatwa para sahabat, tetapi ia tidak mempunyai kemampuan dalam mentarjih suatu pendapat ataupun riwayat.
Karena tingkat keilmuan yang dimilikinya belum cukup mendukung untuk dapat mentarjih pendapat-pendapat atau riwayat mujtahid Murajjih dan tingkatan tarjih.

F. Ijtihad dan Dinamisasi Hukum Islam

Melihat zaman yang semakin berkembang ini, berbagai perubahan pun berlangsung secara cepat. Dari berbagai aspek kehidupan, pikiran, tingkah laku, hubungan-hubungan, dan lain sebagainya. Kenyataan yang terjadi dalam perkembangan zaman ini, maka perlu adanya ijtihad baru dalam dinamisasi hukum islam. Menurut Dr. Yusuf Qardhawi dalam al-Ummah memberikan beberapa ijtihad baru, yaitu:
a) Ijtihad Insya-i, yakni upaya melahirkan hukum yang sama sekali orisinal atau upaya pemikiran yang belum pernah dihasilkan oleh orang-orang terdahulu atau tidak ada keputusan yang tegas mengenai suatu masalah tertentu. Misalnya dalam persoalan zakat apartemen, pabrik, saham dan lain-lain.
b) Ijtihad Intiqa-i, ialah memilih pendapat yang terkuat dan dipandang lebih sesuai dengan syara', kepentingan masyarakat, dan kondisi zaman. Dan penyeleksian hukum ini dilakukan oleh empat madzhab. Misalnya, mengambil pendapat Imam Hanafi dalam masalah wajib zakat pada setiap hasil bumi, pendapat imam Syafi'i dalam hal memberikan zakat kepada fakir miskin, dan lain-lain.
c) Ijtihad Jama'i adalah ijtihad kolektif, upaya yang dilakukan oleh orang-orang yang ahli dalam bidangnya masing-masing untuk menghasilkan suatu hukum.
d) Ijtihad Fardhi yaitu ijtihad perorangan, upaya pemikiran hukum yang dilakukan oleh pribadi-pribadi. Ijtihad ini diperlukan sebagai pemberi jalan terang bagi ijtihad kolektif tersebut.

Dalam pembaruan ini ternyata banyak dihambat dan mendapatkan tanggapan yang serius oleh kebanyakan orang, yaitu terdapat tiga pandangan orang dalam menilai masalah di atas. Pertama, pandangan yang menolak secara total. Karena mereka cenderung mempertahankan kondisi yang ada dan mereka menyatakan warisan generasi leluhur sudah mencukupi. Oleh karena itu, istilah ”tajdid” (modernisasi) bagi mereka dipandang sebagai perbuatan bid'ah yang menyesatkan. Kedua, pandangan kaum modern yang ektrim. Golongan ini menghendaki agar dihapusnya semua yang berbau jadul (kuno), meski sudah menjadi akar pada budaya masyarakat. Mereka sangat setuju bila untuk menerima budaya barat secara total yang biasa disebut Waternisasi. Ketiga, pandangan moderat. Mereka menolak golongan pertama yang kaku dan golongan kedua yang ekstrim. Mereka menerima pembaruan bahkan menganjurkannya tetapi pembaruan yang mereka inginkan harus tetap dalam koridor Islam. Mereka juga setuju mengambil hal-hal baru yang sesuai dan menolak yang tidak sejalan dengan Islam.










Daftar Pustaka:

 Dr. Yusuf Qardhawi, Muhammad Madani dan Mu'inuddin Qadri, Dasar Pemikiran Hukum Islam. Pustaka Firdaus. Jakarta: 1987.
 Forum Karya Ilmiah, Kilas Balik Teoritis Fiqh Islam. PP. Lirboyo. Kediri: 2006.
 Prof. Muhammad Abu Zahrah. Ushul Fiqh. Pustaka Firdaus. Jakarta: 2008.cet.12.
 http://hotarticle.org