Cari Blog Ini

Kamis, 12 Maret 2009

KONSEP DAN DEFINISI FALSAFAH ISLAM
Sejarah pemikiran Islam ditandai secara tajam antara lain oleh adanya polemik-polemik sekitar isi, subyek bahasan dan sikap keagamaan falsafah dan para failasuf. Karena itu pembahasan tentang falsafah dapat diharapkan menjadi pengungkapan secara padat dan mampat tentang peta dan perjalanan pemikiran Islam di antara sekalian mereka yang terlibat.
Sebelum yang lain-lain, di sini harus ditegaskan bahwa sumber dan pangkal tolak falsafah dalam Islam adalah ajaran Islam sendiri sebagaimana terdapat dalam al-Qur'an dan Sunnah. Para failasuf dalam lingkungan agama-agama yang lain, sebagaimana ditegaskan oleh R.T. Wallis, adalah orang-orang yang berjiwa keagamaan (religious), sekalipun berbagai titik pandangan keagamaan mereka cukup banyak berbeda, jika tidak justru berlawanan, dengan yang dipunyai oleh kalangan ortodoks. Dan tidak mungkin menilai bahwa falsafah Islam adalah carbon copy pemikiran Yunani atau Hellenisme.
Meskipun begitu, kenyataannya ialah bahwa kata Arab "falsafah" sendiri dipinjam dari kata Yunani yang sangat terkenal, "philosophia", yang berarti kecintaan kepada kebenaran (wisdom). Dengan sedikit perubahan, kata "falsafah" itu di-Indonesia-kan menjadi "filsafat" atau, akhir-akhir ini, juga "filosofi" (karena adanya pengaruh ucapan Inggris, "philosophy"). Dalam ungkapan Arabnya yang lebih "asli", cabang ilmu tradisional Islam ini disebut 'ulum al-hikmah atau secara singkat "alhikmah" (padanan kata Yunani "sophia"), yang artinya ialah "kebijaksanaan" atau, lebih tepat lagi, "kawicaksanaan" (Jawa) atau "wisdom" (Inggris). Maka "failasuf' (ambilan dari kata Yunani "philosophos", pelaku filsafat), disebut juga "al-hakîm" (ahli hikmah atau orang bijaksana), dengan bentuk jamak "al-hukama"
Dari sepintas riwayat kata "filsafah" itu kiranya menjadi jelas bahwa disiplin ilmu keislaman ini, meskipun memiliki dasar yang kokoh dalam sumber-sumber ajaran Islam sendiri, banyak mengandung unsur-unsur dari luar, yaitu terutama Hellenisme atau dunia pemikiran Yunani. Disinilah pangkal kontroversi yang ada sekitar falsafah: sampai di mana agama Islam mengizinkan adanya masukan dari luar, khususnya jika datang dari kalangan yang tidak saja bukan "ahl al-kitậb" seperti Yahudi dan Kristen, tetapi malahan dari orang-orang Yunani kuno yang pagan atau musyrik (penyembah binatang). Sesungguhnya beberapa ulama ortodoks, seperti Ibn Taymiyyah dan Jalal al-DÎn al-Suyûthi (salah seorang pengarang tafsir Jalalayn), menunjuk kemusyrikan orang-orang Yunani itu sebagai salah satu alasan keberatan mereka terhadap falsafah.
Pengertian filsafat islam terdapat banyak perbedaan anggapan dari kalangan-kalangan terdahulu, pada dasarnya kata falsafah tersebut pengambilan dari Yunani, sebagaimana sudah dijelaskan pada sebelumnya. Menyadari kedudukan filsafat Islam ini penting untuk memberikan ruang bagi filsafat, Buku Dr. Haidar dan pengantar Musa Kazhim menjelaskan secara umum definisi dan karakter filsafat Islam. Secara ringkas, kedua intelektual tersebut ingin mengatakan bahwa filsafat Islam benar-benar eksis dan memiliki posisi unik di peta filsafat pada umumnya. Filsafat Islam adalah filsafat profetis yang bersumber dari ajaran Islam, khususnya dari al-Quran dan Sunnah. Filsafat Islam bahkan mencapai puncak pencapaiannya di tangan Mulla Shadra yang merumuskan apa yang disebut filsafat hikmah dan ini menjadi suatu permasalahan besar.
Pandangan kedua inteletual ini sejalan dengan pandangan Kazhîm cendekiawan muslim dari Iran. “Filsafat Islam disebut Islam bukan hanya lantaran pemekarannya di Dunia Islam dan di tangan orang-orang Muslim, melainkan lebih utama lantaran seluruh prinsip, inspirasi, dan pokok soalnya bermuara pada sumber-sumber wahyu Islam, “ kata Nasr dalam buku History of Islamic Philosophy terbitan Routledge (London, 1996) yang memang dijadikan rujukan Musa Kazhîm.
Timbul suatu pertanyaan, tepatkah penggunaan istilah filsafat hikmah untuk padanan filsafat Islam. Kata hikmah seperti ditulis Musa Kazhîm, berakar sama dengan sifat Allah Al-Hakim (Mahabijaksana), dan hukm (hukum). Hikmah merupakan perjalanan tritunggal ruh-akal-raga mendaki puncak-puncak kesempurnaan spiritual, intelektual dan ritual manusia. Itulah makna sejati philosophos sebagai perpaduan antara kebajikan aktif (philo atau cinta) dan kebijakan intelektif (sophos).
Pemakaian istilah hikmah oleh para failasuf Islam, menurut Musa Kazhîm, sebenarnya untuk menegaskan posisi unik filsafat Islam. Hikmah bukan sekadar pelancongan mental yang tidak ada sangkut pautnya dengan aspek praksis kehidupan – seperti tren umum di dunia Barat sejak era Renaisans. Hikmah muncul pada era pasca Ibu Rusyd. Kata Musa Kazhim, filsafat Islam semakin menampakkan otonominya setelah wafatnya Ibnu Rusyd pada 1198 M dan berpindahnya ladang filsafat Islam dari belahan barat dunia Islam ke timur. Orang-orang seperti Surahwardi, Mulla Shadra, Sabzewari, Khomeini, Thabaththaba’i dan Muthahhari, bahkan sudah tidak lagi menggunakan istilah falsafah dalam pengertian filsafat yang umum dikenal di Barat. Dalam pengantar tulisan-tulisan selalu ada penjelasan mengenai makna falsafah yang sepadan dengan hikmah ilậhiyyah atau teosofi.
Menurut Muhammad Nugroho dalam artikelnya bahwa hikmah sebagai bagian dari khasanah filsafat Islam boleh-boleh saja eksis dan memang harus muncul dari pemikiran para filsuf muslim. Persoalannya, tepatkah filsafat Islam dipadankan dengan hikmah? Mengapa para filsuf muslim begitu bersemangatnya untuk memiliki istilah tersendiri untuk filsafat Islam dengan istilah hikmah? Ada kemungkinan beberapa faktor psikologis yang melatar-belakangi keinginan sebagian filsuf muslim untuk memiliki istilah sendiri hikmah untuk padanan filsafat Islam.
Pertama, untuk menepis tudingan inferioritas filsafat Islam. Seperti kata Musa Kazhim, ada kesan kuat yang berkembang di kalangan sarjana Barat – Muslim maupun bukan – bahwa filsafat Islam tidak benar-benar Islam. Filsafat Islam tidak lebih dari sekadar filsafat Yunani dalam bahasa Arab. Perannya tak lebih sebagai penyambung peradaban Yunani. Tidak ada autentisitas dan keaslian di dalamnya. Bahkan, adalah mungkin filsafat Islam justru menjadi limbah yang mengotori kejernihan dan kebeningan arus peradaban. Kedua, ada semangat apologia dari sebagian filsuf Muslim yang ingin menunjuk-nunjukkan bahwa Islam memiliki filsafat sendiri yang bersumber dari wahyu al-Quran dan Sunnah. Ada latar psikologis untuk menunjukkan diri sebagai yang superior di depan filsafat-filsafat yang lain.
Para pendukung filsafat hikmah sebetulnya tak perlu mengupayakan agar hikmah dipadankan dengan filsafat Islam. Hikmah harus diakui sebagai produk genuine yang bersumber dari ajaran Islam, khususnya dari al-Quran dan Sunnah. Namun posisinya dalam peta filsafat tak bisa serta merta disamakan dengan filsafat Islam. Filsafat Islam seharusnya diberi definisi yang lebih luas dari hikmah. Paling tidak, filsafat Islam harus didefinisikan sebagai filsafat yang berkembang di lingkungan umat Islam, atau dirumuskan oleh para filsuf muslim. Filsafat Islam karena itu mengakomodasi konsep filsafat sejak Al-Farabi hingga Muhammad Iqbal (India).
Kaum filsuf muslim mestinya mengakui dengan rendah hati sifat hibriditas filsafat Islam. Hibriditas adalah kecenderungan untuk mengambil berbagai unsur untuk menjadi bagian dari dirinya. Sifat hibriditas itu fakta sejarah, karena filsafat Islam muncul berkat pengaruh berbagai peradaban yang berkembang sebelum Islam, antara lain filsafat Yunani. Jadi, filsafat sebagaimana adanya memang harus diakui sebagai anak pungut dalam keluarga keilmuan Islam. Untuk bergerak bebas sesuai habitatnya. Dengan sikap begini, para filsuf muslim bisa leluasa mengeksplorasi pemikiran seliar mungkin untuk memberikan kontribusi terhadap peradaban dunia. Harus diakui bahwa panggung filsafat kontemporer dunia masih didominasi para filsuf liberal seperti Derrida, Foucault, Baudrillard dan Gilles Deleuze. Ini merupakan komentar dari Muhammad Nugroho dalam artikelnya. Jadi hemat saya, bahwa falsafah islam itu tercakup apa yang mengenai hubungan antara manusia dan Allah, kehidupan, dan yang terjadi dalam alam raya ini, yang berasaskan Al-Qur’an dan Al-Hadist dan bertujuan untuk mencari kebenaran yang abadi.

Tidak ada komentar: