Cari Blog Ini

Kamis, 25 Desember 2008

PANDANGAN ORIENTALIS TERHADAP LITERATUR HADIST

Literatur Hadist menjadi sebagai sumber legitimasi, yang merupakan penggabungan pandangan para orientalis yang membicarakan ketertarikannya atas hadist juga mengenai hukum islam, sejarah islam dan Al-qur’an. Khususnya mengenai analisis kronologis yang terfokus pada periode antara sekitar 1848-1950.

Di bawah ini beberapa pandangan orientalis tehadap literatur hadist:

1. Gustav Weil (1808-1889)

Semua hadist dalam Bukhori harus ditolak. Selain itu, ia juga skeptis terhadap keotentikan beberapa versi Al-qur’an, khususnya tentang Nabi sebagai hal yang mutlak dan tentang peristiwa isra’.

2. Aloys Sprenger (1813-1893)

Literatur hadist berisi tentang materi otentik dari beberapa peristiwa yang merupakan hasil penyederhanaan dari pandangan Gustav Weil.

3. William Muir (1819-1905)

Secara umum literatur hadist berisis tentang fakta-fakta sejarah, meskipun penyususn seringkali membuat distorsi dalam teks hadist.

4. Reinhart Dozy (1820-1883)

Hanya sebagian hadist Bukhori adalah benar, karena fakta penulisan yang ditanyakan hadist pada abad kedua hijriyah adalah menjadi alasan mengapa hadist fiksi dimasukkan ke dalam literatur.

5. Hongaria Ignaz Goldziher (1850-1921)

Kebanyakan hadist merupakan produk aksi religi, sejarah, dan kondisi sosial pada dua abad pertama masa islam. Baginya literatur hadist berisi semua jenis persaingan pandangan politik, meskipun ia terkadang mengartikannya mungkin berisi sejumlah kebenaran.

6. C.Shnouck Hurgrounje (1857-1936)

Literatur hadist banyak berisi elemen wasiat lama dan baru, yang menjadi pedoman dan yang telah disederhanakan. Ini merupakan pendapat Hurgrounje dengan Goldziher. Dan Hurgrounje sendiri menanyakan bahwa dasar ide-ide dari suatu hadist dapat diartikan sebagai implementasi terhadap tingkah laku Nabi yang merupakan kesalahan fatal dan bahwa kehidupan serta pengajaran tidak bisa dibangun kembali atas dasar tradisi.

7. Henri Lammens (1862-1937)

Hukum islam telah banyak dipengaruhi oleh hukum Romawi dan unsur-unsur yang dipinjam dari sumber asing bukan hanya faktor kesalahan Nabi juga kesepakatan selama penulisan hadist.

8. Josef Horovitz (1874-1937)

Horovitz mencoba menetapkan kronologi isnad dengan menggunakan metode-metode dari Ibn Ishak (85/704-151/768). Pendapatnya bahwa isnad pertama kali dikemukakan pada seperempat akhir abad pertama hijriyah dan ia masih skeptis dalam perannya menetapkan sumber-sumber hadist. Ia juga menjelaskan islam sebagai wilayah yang mendominasi persamaan.

9. Arent Jan Wensinck (1882-1939)

Hadist merupakan sumber penting bagi sejarah teologi islam, alasannya bahwa unsur-unsur yang diambil dari tradisi asing adalah pengganti dari tradisi yang hilang dan mereka mengisinya dalam literatur hadist. Wensinck juga mengakui literatur ini dimasukkan bukan hanya elemen-elemen yang dipinjam dari suatu tradisi, tetapi juga yang disusun oleh kelompok-kelompok yang bersaing. Seperti pendapat Goldziher sebelumnya. Dan asumsi bahwa Al-qur’an adalah otoritas Nabi, sedangkan pendapatnya bahwa hadist merupakan produk masyarakat islam setelah Nabi, sehingga hal ini menjadi alasan mengapa mereka menjadi sangat terkenal di seluruh masyarakat islam.

10. Alfred Guillaume (1888-1965)

Hanya beberapa hadist yang mendekati otoritas kepada mereka yang berperan atas dasar kesalahan-kesalahan yang dibuat selama proses penyusunan.

11. Johannn Fueck (1894-1974)

Literatur hadist berfokus pada kebebasan dan netralitas sarjana hadist dari persaingan kelompok-kelompok penyususn tradisi kenabian, di samping itu fakta bahwa sarjana hadist tidak berhasil melengkapi hilangnya susunan hadist, di mana hdist banyak berisi tradisi yang otentik. Fueck juga berpandanga bahwa riwayat narasi hadist hanya bisa ditinjau kembali pada abad kedua hijriyah dan beberapa modifikasi serta revisi dalam hadist telah dibuat oleh generasi berikutnya.

12. Joseph Schaft (1902-1969)

Hadist sebagai legitimasi hukum islam adalah upaya Syafi’i atau Al-Shafi (160/767-204/820) atas persaingan otoritas posisi dalam opini “ via-a-vis “ yang dalam 50 tahun terdapat gelombang besar marfu (hadist menurut Nabi) narasi, sehingga ia menekankan bahwa hadist marfu awalnya diterapkan pada pertengahan kedua hijriyah, dan keabsahan hadist merujuk pada kesepakatan (tradisi mawkuf) yang diterapkan pada awal abad kedua. Ia juga mengakui bahwa adopsi hadist Nabi sebagai sumber hukum islam dalam posisi di kemudian hari atas tradisi kesepakatan, lalu diadaptasi dengan masa yang lebih dekat dengan Nabi. Karena menurutnya tidak mungkin menemukan tradisi yang otentik selama diwarnai kesepakatan. Dan tradisi otentik yang sah hanya dapat ditemukan selama hal itu didukung oleh generasi sebelum dan berikutnya (tabi’un).

13. David Samuel Margoliouth (1958-1940)

Hukum islam adalah tiruan sistem lain sebagai bukti, ide ini telah banyak dipengaruhi oleh Goldziher dan Muir. Pandangannya bahwa pembuatan literatur hadist menjadi sebagai penalaran dalam studi Goldziher, yang pokok penelitiannya tetap pada skeptis dan pertanyaan mengenai alasan menyusun hadist yang khusus. Konsep sunnsh merupakan keaslian menurut tradisi kebiasaan pra-islam yang tidak dijelaskan dalam Al-qur’an. Menurutnya atribut sunnsh yang dikatakan Nabi dan perilakunya adalah hasil proses berkelanjutan. Kemudian tentang konsep kesempurnaan (ismah) dan bukan pewahyuan (wahy, ghayr, matluw) sebagai teori yang dibangun berdasarkan posisi sunnah Nabi, sebagai sumber keabsahan hukum.

Para aliran orientalis ini telah mengemukakan mengenai pokok bahasan tradisi dalam studi islam. Dan rancangan Schaft telah mengubah tema, yang tidak hanya mengubah pengaruh besar terhadap keberhasilannya, tetapi juga ia membuat aturan disiplin dengan meneruskan reaksi kuat terhapdap pertanyaannya. Penekanan atas penelitiannya, pada umumnya dapat disimpulkan bahwa apa yang dipikirkan orang islam, di mana tidak ada intensitas atas susunan hadist atau upaya sistematik ilmu pengetahuan terhadap para sarjana islam selama ini atau setelah hidup Nabi. Berdasarkan alasan tersebut, aliran orientalis tidak mempercayai keotentikan literatur hadist. Dan para sarjana barat telah menyatakan dan mencoba menggunakan hadist atas dasar keyakinan mereka yang menetapkan dengan cara lain, sebagaimana apa yang dikatakan oleh Schaft dengan ” merendahkan standar ”. Mungkin menurut saya hal ini perlu dinetralisirkan dan aliran orientalis dapat memberi kebebasan kepada mereka yang meyakini literatur hadist dengan cara apapun, meskipun aliran orientalis tidak mempercayai keotentikan literatur hadist.

.

Tidak ada komentar: