Cari Blog Ini

Jumat, 26 Desember 2008

DEMOKRASI DAN DISILUSI

GOENAWAN MOHAMAD

Sekian lama Indonesia merdeka, namun bangsa ini hidup dalam demokrasi tidak lebih dari beberapa tahun saja, yaitu demokrasi terpimpin. Setelah Ir. Soekarno membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat pada tahun 1958. kemudian sistem ini diganti dengan format politik yang disebut demokrasi pancasila. Dalam varian ini ditegakkannya Angkatan Darat dan DPR dipilih secara regular, tetapi semua kontriksi ditentikan oleh sang penguasa, yaitu Suharto. Dan kekuasaan yang berkembang dari sifat “ birokratik-otoriter “ menjadi otokratik.

Pada tahun 1998, Suharto rubuh dan Indonesia mendapatkan ”demokrasi libera ”-nya kembali. Tetapi jika memang hal itu benar kembali berarti pemilihan umum dilakukan secara reguler, partisipasi masyarakat untuk memilih lewat partai, pembentukkan undang-undang melalui para legislator di parlemen, dan pengawasan kinerja kabinet dari sebuah lembaga negara yang dipilih oleh rakyat. Masihkah bertahan kepercayaan itu hingga sekarang?

Melihat para anggota DPR yang sekarang meluap korupnya, mereka tak peduli lagi dengan partai-partai, melainkan hanya untuk mendapatkan kursi dan kekuasaan. Dalam hal inilah terjadi disilusi dan persoalan terhadap demokrasi, sejauh mana dan dalam bentuk apa demokrasi dapat dipertahankan.

Demokrasi sebagai salah satu cara yang adil untuk mencapai suatu kedamaian dan memberikan hak yang sama kepada setiap orang untuk dapat memilih dan dipilih. Dengan kata lain demokrasi adalah suatu perjuangan keadilan dan kemerdekaan. Demokrasi ini sebagai pemegang pucuk pemerintahan negara, oleh karena itu ia selalu menjaga dirinya dari khaos. Tetapi ia juga sebagai sebuah format, sehingga ia tidak asal menangkap apa yang tidak praktis dan yang tidak tertata.

Dalam hal ini demokrasi bagaikan ” kurva lonceng ” yang membuat semua orang menjadi moderat. Dan pengaruh demokrasi terhadap kurva lonceng ini mengharuskan untuk selalu berada pada posisi tengah, sehingga menjadikan partai-partai memilih di tengah, yang disebut Moderating Effect of Democrasy. Alasannya karena sebagian besar orang tidak menginginkan perubahan yang ekstrim, yang dapat membuat mereka terguncang-guncang dan merasa tidak nyaman.

Robertus Robert dan Ronny Agustinus memberikan suatu kemungkinan atau bisa jadi suatu kenyataan, bahwa ketika demokrasi telah membunuh politik dan menggantikannya dengan konsensus. Jelasnya, politik yang dibunuh bukan politik sebagai saling tukar kekuasaan dan pengaruh yang terjadi melalui pemilihan umum serta negosiasi legislatif di Indonesia. Di sini yang terbunuh adalah politik sebagai proses perjuangan. Konsensus ini memang memberikan suatu penyatuan bagi negeri yang terbelah antara ”hitam dan putih”, seperti negara Amerika. Tetapi konsensus ini tidak akan selalu mudah menjadi wadah perubahan.

Di sini Bapak Goenawan Mohamad berharap dapat menunjukkan sebuah pemaparan mengenai teori Ranciere yang agaknya diperlukan untuk disilusi terhadap demokrasi. Selintas dijelaskan tentang teori ini,”La Police”, mungkin kata ini ada hubungannya dengan ”polis” sebagai negeri dan ”polisi” sebagai penjaga ketertiban, yang keduanya bersifat oligarkis (pemerintahan yang dipegang oleh beberapa orang dari bangsawan). Dalam La Police ini terdapat yang kuat dan yang lemah, yang menguasai dan yang dikuasai. Di mana yang kuat dapat menjadi kuat jika ia diakui kuat oleh yang lemah. Dengan kata lain, si kuat menjalankan apa yang menjadi tugasnya karena mendapat pengakuan dari potensi si lemah. Maka terbentuklah suatu kesetaraan antara kedua belah pihak tersebut.

Selain itu, Bapak Goenawan Mohamad memberikan solusi dalam permasalahan ini, yaitu membawa kebebasan dan kembali pada etika bahwa kita tidak bisa mencapai yang benar serta mengundurkan diri dari harapan-harapan besar –kembali untuk mengubah diri sendiri dengan menganggap kenyataan dunia tidak dapat dirubah. Dan mungkin juga menurut saya, untuk menghasilkan negara yang demokrasi secara stabil (Stable Democrasy) perlu kita mengambil sedikit pemaparan yang diberikan oleh Bapak Burhanuddin Muhtadi (seorang political analist). Pertama, Civic Culture –memiliki masyarakat yang dapat mendukung terbentuknya suatu pemerintahan yang demokrasi. .Kedua, Constitutional Reform –sebagai konstitusi yang menjamin aturan main politik demokratis, yaitu UUD 1945, yang sudah diamandemen dan berubah secara mendasar. Ketiga, Institutional Design –adanya penyatuan dan kerja sama antara intsitusi negara dalam membentuk negara yang demokrasi. Di samping itu, Loekman Soetrisno dalam Konflik Sosial Studi Kasus Indonesia, menurutnya untuk mencapai Indonesia yang demokratis, maka dilakukan, pertama, Indonesia harus mau mengadopsi paradigma baru yaitu paradigma pluralisme. Kedua, militer harus juga mau mengikuti paradigma baru, yakni paradigma militer yang profesional, bangga terhadap profesi mereka sebagai militer, dan tidak tertarik pada jabatan non-militer serta tidak senang berpolitik.

Tidak ada komentar: