Cari Blog Ini

Minggu, 04 Januari 2009

PENELUSURAN TERHADAP EKSISTENSI THOMAS AQUINAS DAN PARA FILSUF EKSISTENSIALIS

Amat sukar mengatakan apa eksistensialisme itu, karena di dalamnya terkandung beberapa aliran yang sungguh-sungguh tidak sama. Padahal dalam filsafat Scholastik misalnya, kata eksistensi ini tidak asing lagi. Istilah ini digunakan untuk membedakan daripada esensi. Di sini mencoba menelusuri pandangan Thomas Aquinas yang termasuk dalam filsafat Scholastik dan beberapa filsuf eksistensialis.

Thomas Aquinas (1225-1274)

Thomas dilahirkan di Roccasecca, dekat Aquina, Italia, tahun 1225. Ayahnya ialah Pangeran Landulf dari Aquino. Orang tuanya adalah orang Kristen Katolik yang saleh. Itulah sebabnya anaknya, Thomas, pada umur lima tahun diserahkan ke biara Benedictus di Monte Cassino untuk dibina agar kelak menjadi seorang biarawan. Setelah sepuluh tahun Thomas berada di Monte Cassino, ia dipindahkan ke Naples untuk menyelesaikan pendidikan bahasanya. Selama di sana, ia mulai tertarik kepada pekerjaan kerasulan gereja, dan ia berusaha untuk pindah ke Ordo Dominikan, suatu ordo yang sangat berperanan pada abad itu. Keinginannya tidak direstui oleh orang tuanya sehingga ia harus tinggal di Roccasecca setahun lebih lamanya. Namun, tekadnya sudah bulat sehingga orang tuanya menyerah kepada keinginan anaknya. Pada tahun 1245, Thomas resmi menjadi anggota Ordo Dominikan.

Eksistensi menjadi bagian dari filsafatnya, yang tergolong pada ajaran ontologi. Menurut Thomas, eksistensi menunjuk kepada kenyataan bahwa sesuatu itu ada (that it is). Jelasnya, eksistensi berarti konsep keberadaan sesuatu. Baginya makhluk yang berjasad atau yang jasmaniah dan makhluk yang tidak tampak, seperti malaikat -memiliki struktur esensi-eksistensi. Dan hanya Allah yang tidak memiliki struktur esensi-eksestensi, karena Allah bersifat aktual –sempurna, Maha Pencipta. Jika makhluk ciptaan mempunyai adanya berarti ia bereksistensi, dan Allah sendiri adalah adanya berarti Allah itu ada.

Manusia tidak lepas dari eksistensi, karena eksistensi pada manusia bersifat terus-menerus, lain halnya dengan suatu benda yang bereksistensi dan berhenti pada saat itu jua. Eksistensi yang dimiliki manusia bahwa ia dapat berproses dengan berpikir, berpendapat, mempertimbangkan, merenung, mengambil keputusan, dan sebagainya.

Soren Kierkegaard (1813-1855)

Seorang filsuf dan teolog abad ke-19 yang berasal dari Denmark. Kierkegaard sendiri melihat dirinya sebagai seseorang yang religius dan seorang anti-filsuf, tetapi sekarang ia dianggap sebagai bapaknya filsafat eksistensialisme. Kierkegaard menjembatani jurang yang ada antara filsafat Hegelian dan apa yang kemudian menjadi Eksistensialisme. Kierkegaard terutama adalah seorang kritikus Hegel pada masanya dan apa yang dilihatnya sebagai formalitas hampa dari Gereja Denmark. Filsafatnya merupakan sebuah reaksi terhadap dialektik Hegel.

Manusia menurut Kierkegaard selalu berada dalam situasi eksistensial yang menuntutnya untuk selalu berpikir dalam eksistensi. Situasi eksistensial berarti manusia menyadari bahwa ia berhadapan dengan pilihan-pilihan personal. Ia mengatakan bahwa adanya pergerakan dari kondisi esensial manusia menuju kondisi eksistensialnya, atau pergerakan dari esensi menuju eksistensi. Dan ia juga menafsirkan doktrin kristen mengenai kejatuhan manusia sebagai kejatuhan atau ketercerabutan manusia dari yang tak terbatas (Allah) dan terlempar pada serba terbatas. Misanya, manusia yang terasing dari wujud esensinya dan karena itu menyebabkan kecemasan yang akut, sehingga manusia selalu berusaha melakukan sesuatu untuk mengatasi rasa cemasnya dan apa pun yang ia lakukan hanya meningkatkan persoalan dengan menambah rasa bersalah dan putus asa pada kecemasannya. Berarti, kodrat esensi manusia adalah relasinya dengan Tuhan, Sang Tak Terbatas. Dan kondisi eksistensinya adalah akibat dari keterasingannya dari Tuhan. Manusia akan selalu dihinggapi kecemasan sampai ia merealisasikan kodrat esensinya dalam genggaman Tuhan. Kecemasannya disebabkan oleh kesadarannya atas keterasingan eksistensi dari wujud esensinya. Dan keterasingan inilah yang menjadikan manusia dalam pergerakan dinamis.

Dalam penjelasan dinamis ini, Kierkegaard membagi tiga tahap eksistensi manusia, di antaranya, pertama, tahap estetik –pada tahap ini manusia bertindak menurut impuls-impuls dan emosinya. Sebagian besar ia dikendalikan oleh sensasinya. Dengan kata lain, semua tindakan yang dilakukan ditujukan pada kenikmatan sensasional. Oleh karena itu, manusia tahap ini tidak mengenal apa itu batasan-batasan atau patokan-patokan moral dan berpikir secara abstrak serta memandang hal-hal dalam kemungkinannya. Dia tidak mengenal keyakinan dalam religius tertentu, tetapi dia memiliki motivasi utamanya untuk menikmati pelbagai jenis kenikmatan sensasional. Meski begitu, manusia tidak selsmsnya hidup dalam suasana estetik karena ia telah berada pada satu titik sadar akan keruhaniannya.

Manusia juga menginginkan tetap pada estetik atau terus berjalan menuju tahap selanjutnya. Ini merupakan transisi yang mana menurut Kierkegaard tidak terjadi karena hasil renungan dan nalar, melainkan harus ditempuh lewat sebuah keputusan, kehendak, atau komitmen. kedua, tahap etik –di mana terdapat syarat dengan kode-kode moral. Beda dengan manusia estetik yang tidak memiliki patokan universal kecuali seleranya, manusia etik justru mengenal dan menerima kode-kode perilaku yang diformulasikan oleh akal budi. Kierkigaard memberikan ilustrasi kontras antara manusia estetik dengan manusia etik dalam sikap terhadap perilaku seksual. Jika manusia estetik mengikuti implsimpuls semaunya, kapan saja jika ada ragsangan padanya. Sedangkan manusia etik menerima dengan syarat yang mengikat –obligasi menikah sebagai ekspresi dari akal budi.

Ketiga, tahap religius –dalam ini juga manusia memilih tetap pada estetik atau langsung melompat pada tahap religius. Lompatan tersebut lompatan iman yang merupakan respon manusia terhadap kesadaran barunya, yaitu kesadaran akan keterbatasannya dan keterasingannya dari Tuhan. Jelasnya, hanya berserah diri dan mendekatkan diri kepada Tuhanlah semua itu bisa teratasi. Apabila manusia memilih bergerak dari tahap etik ke tahap religius, berarti menuntut kehendak dan komitmen. Maksudnya, pengetahuan yang ada tentang kode-kode moral menjadi nisbi. Contoh, keputusan Nabi Ibrahim untuk mengorbankan anaknya, Ismail. Pada saat ini Nabi Ibrahim melakukan lompatan iman yang menisbikan kode moral –yang melarang seseorang membunuh anaknya sendiri. Tetapi itu dilakuakan karena kesadaran Nabi Ibrahim akan keterbatasannya kepada Sang Tak Terbatas, Tuhan. Pengorbanan yang dilakukan Ismail merupakan kehendak dan komitmen, bukan pertimbangan akal budi. Singkatnya, Nabi Ibrahim telah meninggalkan komitmennya pada akal budi menuju komitmen pada Tuhan.

Jean-Paul Sartre (1905-1980)

Jean-Paul Sartre Charles Aymard, yang umum dikenal hanya sebagai Jean-Paul Sartre adalah seorang Perancis existentialist filsuf, dramawan, novelis, penulis skenario, aktivis politik, penulis biografi , dan kritikawan. Dia adalah salah satu tokoh terkemuka dalam filsafat Perancis abad ke-20. Bicara tentang eksistensi ini, Sartre membuat konsep agar menjadi mudah untuk dipahami. Seperti halnya Kierkegaard, Sartre mengatakan bahwa eksistensi selalu berupa yang individual, unik, dan bukan universal. Artinya, eksistensi tidak bisa direduksi pada esensi, kodrat, hakikat yang bersifat universal. Dalam tesisnya, bahwa eksistensi mendahului esensi –ia membalik tradisi filsafat barat sejak plato –esensi mendahului eksistensi. Sartre menegaskan bahwa kita tidak bisa menjelaskan esensi manusia, seperti halnya esensi benda-benda manufaktur. Ketika kita melihat sebilah pisau dapur, kita langsung tahu pisau itu dibuat oleh seseorang yang memiliki konsep tentang tujuan dan prosedur pembuatannya. Sebelum dibuat sebilah pisau dapur, ia telah memiliki tujuan tertentu dan merupakan produk dari sebuah proses pembuatan tertentu. Maka esensi pisau dapur mendahului keberwujudan pisau tersebut.

Melihat demikian, kita cenderung mengartikan proses manusia sama halnya dengan pisau dapur tadi. Sebelum manusia ada, Tuhan memiliki konsep tentang manusia –tujuan dan prosedur penciptaannya. Setiap individu adalah realisasi konsepsi tertentu yang telah ada dipemahaman Tuhan sebelumnya. Tuhan dan kodrat manusia adalah dua hal yang tak terpisahkan. Tetapi di sini Sartre membalik semua, ia mengambil jalur ateisme. Logikanya berbunyi ”jika Tuhan tidak ada otomatis manusia pun bebas dari beban kodratnya, karena tidak ada Tuhan yang memasangnya dan terus-menerus megawasinya”. Manusia mula-mula ada dan kemudian baru mewujudkan esensi atau kodratnya. Meurut Sartre, manusia lebih tinggi derajatnya dari entitas lainnya, karena ia tidak memiliki kodrat yang sudah ditentukan sebelumnya. Hematnya, manusia adalah sosok yang bebas seperti entitas lainnya yang juga bereksistensi. Namun, eksistensinya berbeda karena manusia dimuati kesadaran dan kesadaranlah yang menjadi dasar pemikiran eksistensialisme.

Di sini Sartre membagi dua tipe eksistensi. Yang pertama, ada-pada-dirinya (etre-en-soa). Yakni, tipe eksistensi yang bersifat jasmani atau eksistensi pada benda-benda yang tak berkesadaran dan padat –tanpa ada celah yang dapat bereksistensi lagi. Jelasnya, kepadatan benda-benda membuatnya tak mungkin ”menjadi” (becoming), ”menjadi” di sini diartikan sebagai ada, tetapi belum mewujudkan dirinya dan lepas dari adanya sekarang. Contohnya, seorang Mahasiswa yang mempunyai cita-cita menjadi seorang filsuf dan terus berusaha mempelajari pelbagai pemikiran filsafat. Di sini kefilsufannya belum terwujud namun Mahasiswa tersebut sedang berjalan merealisasikan cita-citanya. Singkatnya, ia belum menjadi filsuf, namun cita-citanya membuatnya berbeda dengan Mahasiswa lainnya pada saat itu.

Tipe eksistensi yang kedua, ada-bagi-dirinya (etre-paur-soa) yang berkesadaran. Yaitu, terdapat kesadaran yang mempunyai sifat intensionalitas, ia selalu terarahkan kepada yang lain. Maksudnya, ia sadar (tahu) bahwa ia itu bukan yang lain. Dan kesadaran yang demikian itu, dinamakan Sartre peniadaan (neantisation). Dengan itu, tidaklah mungkin kesadaran bertemu dengan dirinya sendiri, karena tidak mungkin aku menyamakan diri aku dengan aku yang sekarang ini, sebab aku selalu mengatasi aku dan meniadakan segala sesuatu yang ada pada aku.

Berdasarkan apa yang tertulis, bagi saya cukup sulit untuk memahami eksistensi, terutama pada manusia dan Tuhannya. Tetapi hal ini menjadi sangat menarik untuk terus dapat memahami dan menelusuri lebih jauh lagi. Dalam ini, manusia terdapat pada pusat pikiran eksistensi dan yang menjadi tujuannya adalah mengerti akan realitas seluruhnya. Untuk menyadari apakah sebenarnya mengerti itu, maka orang harus mempunyai pengetahuan tentang manusia. Dan dari sini, kita tahu eksistensi Thomas Aquinas dan dua orang filsuf eksistensialis. Mungkin terdapat perbedaan dan anggapan. Melihat penjelasan yang yang diuraikan Kierkegaard pada tahap eksistensi estetik, secara umum dia menentang dengan pengertian yang abstrak dan pernyataannya, karena itu banyak orang yang menganggap dia menjauhkan orang dari realitas yang kita hidupi, secara kongkrit. Sedangkan memyelidiki filsafat hendak diarahkan pada realitas kepada subyektivitas yang bersifat manusia.

Tidak ada komentar: