Cari Blog Ini

Rabu, 14 Januari 2009

AYAT YANG ‘AMM DAN KHOSH
A. Pengertian dan Bentuk-bentuk lafadz ‘Amm
‘Amm adalah suatu lafadz yang mencakup segala yang pantas baginya tanpa ada pembatasan.
‘Amm adalah lafadz-lafadz yang tercakup dan termasuk semua satuan-satuan yang ada dalam lafadz itu tanpa menghitung ukuran tertentu dari satuan –satuan tersebut.
‘Amm adalah lafal yang diciptakan untuk pengertian umum sesuai dengan pengertian lafal itu sendiri tanpa dibatasi dengan jumlah tertentu.
Ada banyak kata yang menunjukkan lafadz ‘Amm, seperti:
a) Lafadz kull (setiap) dan jami’( semua)
Kullu nafsi dza iqatul maut
“ Setiap yang memiliki jiwa pasti akan merasakan mati “ (QS. Al-Imran: 185)
Huwalladzi khalaqa lakum ma fil ardhi jami’a
“ Dialah Allah yang menjadikan untukmu segala yang ada secara keseluruhan ” (QS.Al-Baqarah)
b) Lafadz jama’ yang disertai alif dan lam di awalnya
Wal walidatu yurdhi’na awla dahunna hawlaini kamilaini
“ para ibu-ibu (hendaklah) menyusui anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi oaring yang ingin menyempurnakan penyusuannya “ (QS. Al-Baqarah: 233)
Lafadz al-walidat dalam ayat tersebut bersifat umum yang mencakup setiap yang bernama ibu.
c) Lafadz yang di ma’rifatkan dengan “al”
Innal insana lafi khusrin
“ Sesungguhnya manusia dalam keadaan rugi” (QS. Al-Ashr: 2)
d) Isim nakirah yang dinafikan (ditolak) dan dinahikan (ditiadakan)
Wala junaha ‘aliakum antankihuhunna idza ataitumuhunna ujurahunna
“ Dan tidak ada dosa atas kamu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya” (QS. Al-Mumtahanah: 10)
e) Isim maushul (kata ganti penghubung)
Walladzani ya’tiyaniha minkum qadzuhuma
“ Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji di antara kamu “ (QS. An-Nisa’: 16)
f) Isim syarat (kata benda yang mensyaratkan)
Wa man qatala mu’minan khata’an fatahriru raqabatin mu’minatin wa diyatum muslimatun ila ahlihi illa an yashshaqu
“ Dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena disengaja (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya, kecuali jika mereka bersedekah “ (QS. An-Nisa: 92)
Mengenai lafadz ‘amm ini, banyak para ulama yang yang berbeda pendapat tentang shiqot , apakah ‘amm di dalam bahasa mempunyai sighot yang khusus menunjukkannya atau tidak?. Hal ini telah menggugah sebagian ulama berpendapat di dalam bahasa dan untuk menunjukkan makna ‘amm.
Ada beberapa argument yang mendukung pendapatnya dari dalil-dalil Nashiyah (tekstual), Ijma’iyah (kesepakatan para ulama), dan Ma’nawiyah (kontekstual), di antaranya:

1. Dalil-dalil Nashiyah, ialah firman Allah
“ Dan Nuh berseru kepada Tuhannya; Wahai Tuhanku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji-Mu itulah yang benar. Dan Engkau yang paling adil. Allah berfirman; Hai Nuh sesungguhnya ia tidak termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan) “ (QS. Hud: 45-46)
Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa Nabu Nuh menghadap kepada Allah dengan permohonan untuk keluarganya, karena ia berpegang teguh pada firman Allah yang berbunyi;
Inna munajjuka wa ahlaka
“ sesungguhnya Kami akan menyelamatkanmu dan keluargamu “ (QS. Al-Ankabut: 33)
Allah membenarkan apa yang dikatakan Nuh, karena Allah menjawab dengan suatu perkataan yang menunjukkan bahwa anaknya itu tidak termasuk keluarganya. Apabila idhofah (penyandaran) kata “keluarga” kepada “Nuh” tidak menunjukkan makna ‘amm, maka jawaban Allah tersebut benar.

2. Dalil-dalil Ijma’iyah, yakni yang menjadi kesepakatan shahabat mengenai firman Allah yaitu;
Azzaniyatu wazzani fajlidu kulla wahidin minhuma miata jaldah
“ perempuan dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap orang dari keduanya seratus dari kali deraan “ (QS. An-Nur: 2)
Wassariqu wassariqatu faqtha’u aidiyahuma
“ laki-laki dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya “ (QS. Al-Maidah: 38)
Ayat tersebut merupakan ‘amm, berlaku dan duterapkan bagi setiap orang yang berzina dan mencuri.

3. Dalil-dalil Ma’nawiyah, bahwa makna ‘amm itu dapat dipahami dari penggunaan lafadz-lafadz syarat, yaitu istifham (pertanyaan), dan mausul (bersambung). Dalam firman Allah:
Qul man anzalal kitabai ladzi ja’abihi musa
“ katakanlah; siapakah yang menurunkan Kitab (taurat) yang dibawa Musa?” (QS. Al-An’am: 91)
Ayat di atas berfungsi untuk mendustakan mereka yang berkata;
Ma ‘anzalallahu ‘ala basyarim minsyai’
“ Allah tidak menurunkan sesuatu apa pun kepada manusia ” (QS. Al-An’am: 91)\

B. Macam-macam Lafadz ‘Amm
Berdasarkan pengkajian terhadap nash-nash, ditetapkan bahwa ‘Amm itu terbagi manjadi tiga, yaitu:
1. ‘Amm yang tetap pada keumumannya (albaqi ‘ala ‘amumihi)
Adalah ‘Amm yang disertai dengan qarinah (indikasi) yang dapat meniadakan kemungkinan takhsis (pengkhususan). Misalnya, ayat 6 surat Hud:
Wama mindabbatin fil ardhi illa ‘alallahi rizquha waya’lamu mustaqarraha wamus tawda’aha kullun fi kitabim mubin
“ Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh) “ (QS. Hud: 6)
Yang dimaksud dengan binatang melata dalam ayat tersebut adalah umum, mencakup seluruh jenis tanpa kecuali, karena diyakini bahwa setiap yang melata di permukaan bumi adalah Allah yang memberi rezekinya. Dan Al-Qadhi Jalaluddin Al-Baqini mengatakan, “ amm yang seperti yang jarang ditemukan sebab tidak ada satu pun lafadz ‘amm kecuali di dalamnya terdapat takhsis ”. Tetapi Az-Zarkasyi dalam Al-Burhan mengemukakan, “ ‘amm yang demikian banyak terdapat dalam Al-Qur’an ”. kemudian beliau member beberapa contoh, yaitu:
Wallahu bikulli syai’in ‘alim
“ Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu “.(QS. An-Nisa’: 176)
Wala yadhlimu rabbuka ahada
“ Dan Tuhanmu tidak menganiaya seorang juapun “ (QS. Al-Kahfi: 49)
2. ‘Amm yang dimaksud adalah khusus (al-‘amm al-murad bihi al-khusus)
Yaitu ‘amm yang disertai dengan indikasi yang dapat meniadakan ketetapan ‘amm kepada keumumnya dan dapat menjelaskan bahwa yang dimaksud dengannya ialah sebagian dari satuannya. Misalnya,
Makana liahlil madinati waman haulahum minal a’rabianyatakhallafu ‘an rasulillahi wala yarghabu bianfusihim ‘annafsihi
“ Tidaklah sepatutnya bagi penduduk Madinah dan orang-orang Arab Badui yang berdiam di sekitar mereka, tidak turut menyertai Rasulullah (pergi perang) dan tidak patut (pula) bagi mereka lebih mencintai diri mereke daripada diri Rasul ” (QS. At-Taubah: 120)
Sepintas lalu dipahami bahwa ayat tersebut menunjukkan makna umum, yaitu setiap penduduk Madinah dan orang-orang arab di sekitarnya termasuk orang-orang sakit dan oramg-orang lemah harus turut menyertai Rasulullah pergi berperang. Namun, yang dimaksud ayat tersebut bukanlah makna umum itu, tetapi hanyalah orang-orang yang mampu.
3. ‘Amm yang dikhususkan (al’amm al-khusus)
‘Amm ini tidak disertai dengan indikasi yang dapat meniadakan kemungkinan kekhususannya atau ‘amm yang terbebas dari indikasi baik menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah makna umumnya atau adalah sebagian cakupannya.
wa kulu wasyrabu hatta yatabayyanalakum
“ Makanlah dan minumlah hingga terang bagimu “ (QS. Al-Baqarah: 187)
Dalam membedakan ‘amm yang dimaksud sebagai kekhususan dan ‘amm yang dikhususkan. Menurut Imam Al-Syaukani bahwa ‘amm yang dimaksudkan sebagai kekhususan ialah ‘amm yang menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan ‘amm itu khusus bukan umum.
Menurut Abu Hanifah, penunjukkan lafadz ‘amm pada seluruh satuan yang dicakupnya adalah qath’i (pasti). Dan kepastiannya berlaku selama belum terbukti pernah ditakhshis oleh dalil yang sama bobotnya,seperti oleh ayat Al-qur’an, hadist mutawatir atau hadist masyhur.
Aliran ini menggunakan alasan kebahasaan, bahwa suatu lafadz jika telah ditetapkanoleh penciptanya untuk seluruh cakupannya, maka lafadz itu menunjukkan kepada satuannya itu secara pasti dan dalam penggunaannya harus sesuai dengan penciptaannya itu.jika seseorang bermaksud menggunakan suatu lafadz kepada selain pengertian aslinya itu, maka perlu diiringi dengan tanda-tanda yang menunjukkan kepada pengertian yang dimaksudnya. Selama tidak ada tanda, maka secara qath’i kita harus mengartikannya dengan makna umum.


C. Lafadz Khosh
Khosh ialah suatu lafadz yang menunjukkan satu jenis atau beberapa satuan yang terbatas.
Khosh adalah lafadz yang menunjukkan pada perseorangan tertentu, seperti kata Muhammad; atau menunjukkan satuan jenis, seperti laki-laki; atau menunjukkan beberapa satuan , seperti limabelas; dan lafadz-lafadz lain yang menunjukkan bilangan beberapa satuan tetapi tidak mencakup satuan tersebut.
Khosh adalah lafadz yang mengandung satu pengertian secara tunggal atau beberapa pengertian yang terbatas. Contoh lafadz khosh adalah ayat 89 surat al-Maidah:
fakaffaratuhu ith’amu ‘asyara masakina min awsati ma tuth’imuna ahlikum awkiswatikum
“ maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah member makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan pada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka ”(QS. Al-Maidah: 89)
Lafadz ‘asyara dalam ayat tersebut diciptakan hanya untuk bilangan sepuluh, tidak lebih dan tidak kurang. Arti sepuluh itu sendiri sudah pasti tidak ada kemungkinan lain. Sebagai contoh terdapat dalam satu ayat yang mengandung khosh dan ‘amm atau dengan kata lain, terdapat ayat ‘amm yang langsung ada mukhashisnya, yaitu pada QS. An-Nur ayat 31:
“ Wala yubdina zinatahunna illa madhahara minha” (QS. An-Nur: 31)
Pada lafadz zinatahunna menunjukkan ‘amm di mana juga terdapat mukhashisnya pada lafadz madhahara. Dan dalam lafadz madhahara ini juga terdapat hadist ahad yang menjelaskan ketentuan wajah dan telapak tangan yang boleh tidak tertutup. Madhahara lafadz khosh yang disebut Takhshis Isti’na’ bil Muttashil.
D. Dalil Pengkhususan
Berdasarkan lafadz, dalil pengkhususan (takhsis) terkadang tidak terlepas dari nash ‘amm. Dalam arti lain bahwa dalil takhsis itu berkaitan dengan nash tersebut atau merupakan bagian daripadanya. Mukhashis (yang mengkhususkan) ada kalanya muttashil (antara ‘amm dengan mukhashis tidak terpisah) oleh sesuatu hal, dan juga munfashil kebalikan dari muttashil. Dalil-dalil yang paling jelas berhubungan dan tidak terpisah dari ‘amm, di antaranya:
1. Isti’na (pengecualian)
“ kecuali jika muamalah itu perdagangan tunai yang kami jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa lagi bagi kamu jika kamu menulisnya “ (QS. Al-Baqarah: 282)
2. Menjadi Sifat
Man nisa ’ikumulaati dakhaltum bihinn
” dari istrimu yang telah kamu campuri ”
Dalam lafadz ”allati dakhaltum bihinn” merupakan sifat bagi lafadz ”nisa’ ikum”. Maksudnya anak perempuan istri yang telah digauli itu haram dinikahi oleh suami, dan halal bila belum menggaulinya.
3. Menjadi Syarat
Kutiba ’alaikum idza hadhara ahadakumul mautu intaraka khairan
” Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta banyak ” (QS. Al-Baqarah: 180)
Pada lafadz ”intaraka khairan” yakni meninggalkan harta adalah syarat dalam wasiat.
4. Sebagai Ghayah (batasan sesuatu)
Wa aidiyakum ilal marafiqi
” dan tanganmu sampai dengan siku ”(QS. Al-Maidah: 6)
5. Sebagai badal ba’dh min kull (pengganti sebagian keseluruhan)
Walillahi ’alannasi hijjul baiti manistatha’a ilaihi sabila
” menunaikan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah yaitu bagi orang-orang yang mampu melakukannya ”(QS. Al-Imran: 97)
Lafadz ” man istatha’a” menunjukkan badal dari ”annas”, maka kewajiban haji hanya khusus bagi mereka yang mampu.
Sedangkan dalil Mukhashis munfashil ialah mukhshis yang terdapat di ayat, hadist, ijma, atau qiyas. Misalnya,yang ditakhshis oleh Al-qur’an dalam QS. Al-Baqarah ayat 228:
Wal muthallaqatu yatarabashna bi anfusihinna tsalasata quru’
” perempuan-perempuan yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu tiga kali quru’)”
Ayat tersebut bersifat umum, mencakup setiap istri yang dicerai baik keadaan hamil maupun tidak, dan sudah digauli maupun belum. Namun, keumumannya ini ditakhshis oleh ayat:
Wa llatul ahmali ajalahunna an yadha’na hamlahunn
”Dan perempuan-perempuan yang hamil, masa iddah mereka ialah sampai mereka melahirkannya”(QS. Ath-thalaq:4)
Idza nakahtumul mu’minati tsumma thalaq tumuhunna min qobli tamassuhunna fama lakum ’alaihinna min iddah
”Kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya, maka sekali-kali tidak wajib atas mereka iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya”. (QS. Al-Ahzab:49).
Adapun dalil yang ditakhsis oleh hadist seperti pada surat Al-Baqarah: 275
Wahallallahul bai’a wa harramar riba
”Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”.
Ayat tersebut di takhsis dengan hadist dari Ibnu Umar: Rasulullah SAW melarang mengambil upah dari air mani kuda jantan.
Dan contoh ‘amm yang ditakhsis oleh ijma adalah ayat tentang warisan, seperti:
Yushikumullahu fi aulabikum lidz-dzakari mitslu hazh zhil untsayain
“Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu”(QS.Annisa: 11)
Berdasarkan ijma, budak tidak mendapat warisan karena sifat budak merupakan faktor penghalang hak waris. Sedangkan yang ditakhsis oleh qiyas adalah ayat tentang zina dalam surat An-Nur ayat 2:
Az-zaniyatu wazzani fajlidu kulla wahidin minhuma mi’atajaldah
Di sini budak laki-laki ditakhsiskan dengan cara diqiyaskan kepada budak perempuan. Dan di tegaskan dalam:
Fa’alaihinna nisfu ma’alal muhshanati minal ‘adzab
“Maka atas mereka separuh hukuman dari hukuman perempuan-perempuan merdeka yang bersuami”. (QS. An-Nisa:25).
E. Dalalah ’Amm
Beberapa ulama ushul tidak berbeda pendapat bahwa setiap lafadz umum seperti yang telah diterangkan, menurut bahasa dibuat untuk mencakup seluruh satuan yang ada di dalmnya. Tidak berarti bahwa lafadz itu ketika muncul dalam nash syara’ dapat menunjukkan ketetapan hukum yang telah di nash bagi setiap satuan yang ada dalam lafadz itu, kecuali apabila terdapat dalil yang mengkhususkan dalil itu bagi sebagian satuan tersebut. Akan tetapi ulama ushul berbeda pendapat mengenai karakteristik dalalah ’amm yang tidak mengkhususkan tercakupnya semua satuannya tersebit, apakah karakteristik itu merupakan dalah yang pasti atau dalah yang bersifat dugaan (dhonni).
Di antara mereka ada sekelompok yang berpendapat, di dalamnya termasuk ulama Syafi’iyah , bahwa ’amm yang tidak dikhususkan itu berarti tampak keumumannya, namun tidak pasti. Jadi ’amm itu dugaan tercakupnya adalah seluruh satuannya. Apabila’amm itu dikhususkan maka dugaannya sisa satuan-satuannya setelah pengkhususan itu. Atas dasar ini dapat di ambil kesimpulan bahwa mengkhususkan ’amm dengan dalil dhonni adalah sah secara mutlak . baik dalil dhonni itu mengkhususkan yang pertama maupun yang kedua. Karena dalil dhonni itu bisa dikhususkan dengan dalil dhonni itu juga. Dan tidak terjadi pertentangan antara yang ’amm dan yang khas qath’i, sebab syarat terjadinya kontradiksi antara kedua dalil tersebut adalah seandainya keduanya sama-sama bersifat pasti atau dugaan. Namun yang khas diamalkan menurut arti yang ditunjukkan olehnya dan yang ’amm diamalkan menurut arti selain yang ditunjukkan olehnya. Alasan pendapat mereka ialah bahwa pengkajian terhadap nash-nash syara’ yang di dalamnya terdapat lafadz-lafadz umum menunjukkan tidak ada dalil umum kecuali harus dikhususkan. Dan dalil umum yang masih tetap pada keumumannya tidak bisa dipahami kecuali terdapat qarinah yang menyertainya, dan jika menurut kebiasaan, setiap dali ’amm itu tidak tetap pada keumumannya jika terdapat dalil ’amm yang juga ada dalil lain yang mengkhususkannya, maka dengan kata lain dalil ’amm itu mengandung pengertian yang dikhususkan. Oleh karena itu, dalil ’amm tidak lagi ditemukan dalil lain yang mengkhususkannya karena sudah jelah pada keumumannya, namun tidak pasti.
Adapun ulama lain, salah satunya termasuk ulama Hanafiyah berpendapat bahwa ’amm yang tidak dikhususkan itu adalah qath’i dalam keumumannya. Jadi semua satuan dalalahnya bersifat pasti. Apabila dikhususkan maka dalalah ’amm berlaku terhadap sisa satuannya setelah dikhususkan, yakni dugaan dugaan dalalahnya terdapat sisa satuan tersebut. Menurut aliran ini ’amm yang tidak dikhususkan itu tercakup semua satuannya, dan dalalahnya bersifat pasti. Setelah dilakukan pengkhususan maka satuan-satuan dalalah ’amm tersebut menjadi dugaan.
Berdasarkan hal ini dapat disimpulkan bahwa ’amm itu tidak sah jika pertama kali dikhususkan oleh dalil dhonni, sebab dalil dhonni itu tidak bisa mengkhususkan dalil qath’i. Namun sah apabila ’amm dikhususka oleh dalil dhoanni kedua atau ketiga kalinya. Karena ’amm itu setelah dikhususkan yang pertama, ia menjadi dhonni, kemudian dhonni mengkhususkan dhonni. Dan bahwa pertentangan antara ’amm yang belum dikhususkan dan khas yang qath’i itu terjadi lantaran keduanya sama-sama bersifat qath’i. Alasan mereka tentang ini ialah lafadz ’amm itu pada hakikatnya dibuat untuk mecakup semua satuan yang ada di dalamnya dan ketika lafadz tersebut dikeluarkan, lafadz itu menunjukkan arti yang sesungguhnya secara qath’i. Maka ’amm yang lepas dari qarinah yang mengkhususkannya, menunjukkan keumumannya secara qath’i dan tidak bisa dipalingkan dari arti yang sesungguhnya kecuali oleh dalil. Oleh karena itu, para sahabat, tabi’in, dan mujtahid mengambil dalil keumuman lafadz ’amm yang terdekat dalam nash-nash yang bebas dari pengkhususan.
Mereka menolak pengkhususan tanpa dalil. Jika ’amm dikhususkan oleh sebuah dalil, hal ini berarti bahwa ’amm itu berpaling dari arti sesungguhnya, yang umum. Dan jadilah ’amm itu mempunyai kemungkinan untuk dikhususkan yang kedua dengan dikiaskan kepada pengkhususkan yang pertama. Karena alasan pengkhususan pertama kadang-kadang tampak pada satuan-satuan yang lain. Maka seakan-akan pengkhususan pertama itu telah membuka lubang keumuman dan mendasari lubang-lubang lain. Karena itu jadilah ’amm yang telah dikhususkan itu sisa-sisa satuannya bersifat dhonni.
Jelasnya, setelah mengadakan komparasi antara dalil-dalil kedua kelompok ulama di atas beserta contoh-contoh dan bukti-buktinya, ternyata bahwa antara kedua pendapat itu tidak terdapat perbedaan esensial dari segi amaliyahnya. Sebab antara keduanya tidak terdapat perbedaan bahwa ’amm itu wajib berlaku keumumannya sampai ada dalil yang mengkhususkannya. Dan juga tidak terdapat perbedaan bahwa ’amm itu mungkin bisa dikhususkan oleh dalil, sedangkan pengkhususan tanpa dalil adalah takwil yang tidak dapat diterima. Adapun mereka yang mengatakan bahwa ’amm yang tidak ada dalil pengkhususannya, keumuman dalalahnya bersifat pasti, mereka menghendaki kepastian dalalah bahwa ’amm itu secara mutlak tidak menerima pengkhususan. Mereka hanya menghendaki bahwa ’amm itu tidak dikhususkan kecuali oleh dalil. Dan mereka mengatakan ’amm itu bersifat dhonni keumumannya, tidak menghendaki bahwa ’amm secara mutlak bisa dikhususkan

Tidak ada komentar: