Cari Blog Ini

Rabu, 14 Januari 2009

KEUTAMAAN HADIST SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM


Seluruh umat islam telah mengetahui dan sepakat bahwa hadist Rasul merupakan sumber dan dasar hukum islam yang kedua setelah Al-qur’an. Dan juga diwajibkan untuk mengikuti hadist Rasul sebagaimana diwajibkan mengikuti Al-qur’an. Karena Al-qur’an dan hadist merupakan hukum syari’at islam yang tetap, tidak mungkin jika umat islam menjalankan syari’at islam tanpa kembali pada kedua sumber tersebut. Beberapa ayat Al-qur’an dan hadistb memberi penegasan bahwa hadist sebagai sumber hukum islam yang wajib diikuti, baik perintah maupun larangannya.
Para ulama yang sudah meneliti hadist dan memberi kesimpulan bahwa hadist (yang shahih) dapat digunakan sebagai hujjah (bukti, alasan) bagi seluruh umat islam. Mereka menguatkan pendapatnya dengan ayat-ayat Al-qur’an yang mewajibkan semua orang mukmin untuk mengikuti dan menerima ketetapan hukum Rasulullah saw. Menurut mereka, “ Barang siapa menunjukkan sikap berbeda dengan pendapatnya ini, maka tidak pantas baginya bernisbat kepada ilmu dan ahlinya, meskipun dirinya sendiri atau banyak orang menganggapnya memiliki pengetahuan dan paham tentang ilmu agama lebih luas.
Ada beberapa dalil, baik naqli maupun aqli yang menjelaskan hadist sebagai sumber hukum islam, dan kewajiban untuk mempercayai serta menerima segala apa yang disampaikan Rasul kepada umatnya untuk dijadikan pedoman hidup.

1. Dalil Al-qur’an
“ Allah sekali- orang-orang yang beriman dalam keadaan kamu sekarang ini, sehingga Dia menyisihkan yang kali tidak akan membiarkan buruk (munafiq) dari yang baik (mukmin). Dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepadamu hal-hal yang ghaib, akan tetapi Allah memilih siapa yang dikehendaki-Nya di antara Rasul-rasul-Nya. Karena itu berimanlah kepada Allah dan Rasul-rasul-Nya, dan jika kamu beriman dan bertaqwa maka bagimu pahala yang besar “ (QS. Ali Imran: 179)
“ Dan kami turunkan kepadamu Al-qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkannya. (QS.An-Nahl: 44)
“ Apa yang diberikan Rasul kepadamu, terimalah dan apa-apa yang dilarangnya, maka tinggalkanlah. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat keras hukum-nya “ (QS. Al-Hasyr: 7)

Masih banyak lagi ayat-ayat dalam Al-qur’an yang menjelaskan hal ini, dan dalam QS. Ali Imran di atas, dijelaskan bahwa Allah memisahkan antara orang-orang mukmin dengan orang-orang munafiq sehingga Allah memperbaiki keadaan orang-orang mukmin dan memperkuat iman mereka. Oleh karena itulah orang mukmin dituntut agar tetap beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Sedangkan ayat yang kedua pada QS. An-Nahl, Al-qur’an mengatakan bahwa Rasulullah adalah sebagai penafsir dari ayat-ayat Al-qur’an, meskipun otoritas pokok bagi hukum islam adalah Al-qur’an.

2. Dalil Hadist
“ aku tinggalkan dua pustaka untukmu sekalian, yang kalian tidak akan sesat selagi kamu bepegang teguh pada keduanya, yaitu berupa kitab Allah dan sunah Rasul-Nya.” (HR.Malik)
“Wajib bagi kamu semua berpegang teguh dengan Sunahku dan Khulafa ar-Rasyidin (khalifah yang mendapat petunjuk),beroegang teguhlah kamu sekalian denagnnya”.(HR. Abu Daud dan Ibn Majah)
Hadist di atas, menunjukkan kepada kita umat islam untuk berpegah teguh terhadap hadis dan menjadikannya sebagai pedoman hidup. Dari sinilah sebenarnya dapat dinyatakan bahwa ungkapan wajib taat kepada Rasul SAW dan larangan mendurhakainya, merupakan suatu kesepakatan yang tidak diperselisihkan oleh umat islam.

Fungsi Hadist Terhadap Al-qur’an

Secara umum fungsi hadist adalah sebagai penjelas (bayan) sebagaimana dalam Al-qur’an:
“ Dan Kami turunkan kepadamu Al-qur’an agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang diturunkan kepada mereka dan supaya mereka berfikir “(QS. An-Nahl: 14)
Berdasarkan ayat tersebut, dijelaskan bahwa Allah telah menurunkan Al-qur’an bagi umat islam, agar dapat dipahami. Dan Rasul SAW diperintahkan untuk menjelaskan kandungan serta pelaksanaannya kepada mereka melalui hadist-hadistnya. Maka fungsi hadist Rasul adalah sebagai penjelas Al-qur’an yang memiliki bermacam-macam fungsi. Diantaranya, ada yang menyebutkan lima macam fungsi; bayan at-taqrir, bayan at-tafsir, bayan at-tafshil, bayan al-ba’ts, dan bayan at-tasyri’. Dan ada yang mengatakan; bayan at-tafshil, bayan at-takhsish, bayan at-ta’yin, bayan at-tasyri’, dan bayan an-nasakh. Tetapi beliau juga menambahkannya dengan bayan al-isyarah. Kemudian ada juga menyebutkan empat fungsi saja; bayan at-ta’qid, bayan at-tafsir, bayan at-tasyri’, dan bayan at-takhsish.

1. Bayan at-Taqrir
Bayan at-taqrir disebut juga bayan at-ta’kid dan bayan al-itsbat. Maksudnya ialah menetapkan dan memperkuat apa yang telah diterangkan di dalam Al-qur’an. Dalam hal ini fungsi hadist hanya memperkokoh isi kandungan Al-qur’an. Contoh:
” Rasulullah SAW telah bersabda: tidak diterima sholat seseorang yang berhadas sebelum ia berwudhu ”(HR.Bukhari)
Hadist ini mentaqrir QS. Al-Maidah ayat 6tentang keharusan berwudhu ketika seseorang akan melaksanakan shalat.

2. Bayan at-Tafsir
Bayan ini berfungsi untuk memberi penjelasan yang lebih rinci dan tafsiran terhadap ayat-ayat Al-qur’an yang bersifat global (mujmal), memberikan batasan (taqyid) terhadap ayat-ayat yang bersifat mutlak, dan mengkhususkan (takhsis) ayat-ayat yang bersifat umum. Sebagai contoh yang mujmal:
” shalatlah sebagaimana engkau melihat aku shalat ” (HR. Bukhari)
Dalam hadist ini dijelaskan bagaimana cara mengerjakan shalat, sebab dalam Al-qur’an tidak menjelaskan lebih detail.
Contoh hadist yang mentaqyid:
” Rasulullah SAW didatangi seseorang dengan membawa pencuri, maka beliau memotong tangan pencuri dari pergelangan tangan ”
Dan hadist tersebut mentaqyid QS. Al-Maidah ayat 38 yang berbunyi:
” Laki-laki dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya sebagai pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah ”(QS. Al-Maidah: 38)
Sedangkan contoh hadist yang mentakhsis ayat umum dalam Al-qur’an, yaitu menjelaskan bahwa yang dimaksud oleh Allah adalah sebagian dari lafal umum itu, bukan seluruhnya.
” Rasulullah SAW melarang memadu antara seorang perempuan dengan bibinya saudara ayah atau ibun ”(HR. Bukhari dan Muslim)
Dan hadist tersebut mentakhsis keumuman pada QS. An-Nisa’ ayat 24, yang dalam isinya menegaskan boleh mengawini selain perempuan-perempuan yang telah disebut sebelumya, seperti ibu, saudara perempuan, anak saudara dan lain-lainnya yang tertera dalam ayat 23 sebelumnya. Berdasarkan kepada keumuman ayat 24 surat An-Nisa’, yang mana boleh memadu seorang perempuan dengan bibinya. Maka setelah datang hadist tersebut sebagai pentakhsis, sehingga maksud ayat tersebut tidak lagi mencakup masalah poligami antara seorang perempuan dengan bibinya.

3. Bayan at-Tasyri’
Bayan yang mewujudkan suatu hukum atau ajaran-ajaran yang tidak didapati dalam Al-qur’an. Dengan kata lain, menetapkan hukum yang belum disinggung dalam Al-qur’an. Contohnya:
” Nabi SAW bersabda semua jenis binatang buruan yang memepunyai taring dan burung yang mempunyai cakar, maka hukum memakannya adalah haram ”(HR. An-Nasa’i)
Hadist bayan at-tasyri’ ini, wajib diamalkan sebagaimana mengamalkan hadist-hadist lainnya. Ibnu Qayyim berkata: bahwa hadist-hadist Rasulullah SAW, yang berupa tambahan terhadap Al-qur’an merupakan kewajiban atau aturan yang harus ditaati, tidak boleh menolak atau mengingkarinya, dan ini bukanlah sikap (Rasul) mendahului Al-qur’an melainkan semata-mata karena perintah-Nya.

4. Bayan An-Nasakh
Bayan yang ke empat ini, terjadi perbedaan pendapat yang sangat tajam. Sebab ada yang mengakui dan menerima fungsi hadist sebagai nasakh terhadap sebagian hukum Al-qur’an dan ada juga yang menolaknya. Para ulama dalam mengartikan bayan an-nasakh ini banyak melalui pendekatan bahasa, sehingga terdapat perbedaan pendapat dalam menta’rifkannya. Kata nasakh secara bahasa ada yang mengartikan ibthal (membatalkan), izalah (menghilangkan), tahwil (memindahkan), dan taghyir (mengubah).
Menurut pendapat ulama mutaqaddimin, bahwa terjadinya nasakh ini karena adanya dalil syara’ yang mengubah suatu hukum meskipun jelas, karena telah berakhir masa keberlakuannya serta tidak bisa diamalkan lagi. Jadi, pada intinya ketentuan yang datang kemudian menghapus ketentuan yang terdahulu, karena yang terakhir lebih luas dan lebih cocok pada masanya. Contoh yang biasa diajukan para ulama yaitu:
”Tidak ada wasiat bagi ahli waris”
Hadist di atas menurut mereka menasakh ayat 18 QS. Al-Baqarah, tetapi Imam Syafi’i dan sebagian para pengikutnya menolak nasakh jenis ini, meskipun nasakh tersebut dengan hadist mutawatir. Dan juga kelompok lain yang menolak sebagian besar pengikut mazhab Zhahiriyah dan kelompok khawarij.
Berdasarkan yang tertulis, dapat kita ketahui bahwa hadist itu memiliki fungsi yang berperan sebagai sumber hukum islam yang kedua setelah Al-qur’an, dan mungkin bisa jadi sebagai sumber hukum islam utama dari Al-qur’an.

1 komentar:

Zafin mengatakan...

assalamualaikm.syukron ilmunya