Cari Blog Ini

Senin, 06 April 2009

A. Pengertian Taqlid

Secara bahasa, taqlid berarti rantai atau sesuatu yang diikatkan pada leher. Menurut istilah Hukum Islam, ialah mengikuti pendapat seorang Faqih, ata seorang imam, tanpa mengetahui dalil atau sumber hukumnya. Sedangkan menurut istilah ushul fiqh, taqlid diartikan sebagai menirukan orang lain dalam melakukan atau meninggalkan sesuatu. Seperti mengusap sebagian kepala saat wudhu dengan mengikuti Imam Syafi'i dan tidak membaca surah al-Fatihah dalam shalat ketika menjadi seorang ma'mum karena mengikuti Imam Abu Hanifah, dan lain sebagainya.

Berdasarkan definisi di atas, ternyata muncul berbagai pendapat mengenai taqlid, di antaranya yaitu:
1. Definisi taqlid menurut Saifuddin Abul Hasan Ali al-Amidi dalam Ahkamul Ahkam: “Mengamalkan pendapat orang lain tanpa argumentasi yang mantap”.
2. Ibnu Hummam dalam Tahrir: “Mengamalkan pendapat orang yang perkataannya tidak termasuk sebagai hujjah (argumentasi), atau tanpa hujjah”.
3. Menurut Imam Syaukani dalam Irsyadul Fuhul: “Menerima pendapat atau ucapan orang, sementara engkau sendiri tidak mengetahui dari mana datangnya ucapannya itu”.

Demikianlah definisi yang biasa kita kenal. Dan dalam hal ini, para ulama berbeda pendapat mengenai boleh tidaknya bertaqlid pada masalah-masalah hukum. Jumhur ulama tidak membolehkannya secara mutlak, karena supaya setiap orang Muslim berusaha mengetahui hukum Allah beserta dalil atau sumbernya. Sedangkan sebagian ulama mewajibkan secara mutlak dan sebagian ulama lain merinci, yaitu wajib atas orang awam untuk bertaqlid karena ia harus mengetahui hukum-hukum agama dan tidak harus mengetahui dalil-dalilnya. Kemudian taqlid yang diharamkan bagi mujtahid karena sudah memiliki kompetensi ijtihad.

Kewajiban bertaqlid bagi orang awam ini diperkuat dalam firman Allah QS.an-Nahl ayat 43:
Fas alû ahladzdzikri in kuntum lâ ta'lamûn
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai kemampuan, jika kamu semua tidak mengetahuinya”. (QS. an-Nahl: 43)
Ayat di atas merupakan perintah untuk bertanya yang bersifat umum bagi setiap individu, mengenai bahan yang dipertanyakan dan meliputi apapun yang tidak tahu.

B. Bentuk-bentuk Taqlid

Secara garis besar bentuk taqlid terbagi atas:
1. Taqlid Syakhsyi

Taqlid Syakhsyi ialah mengikuti kepada pribadi seseorang, yang menjadi sosok utama dan yang dikehendaki oleh al-Qur'an adalah Nabi Muhammad SAW. Allah SWT telah menjadikan beliau sebagai panutan untuk diikuti (ditaati) ajaran dan perilakunya bagi umat Muslim. Ini merupakan keharusan bagi semua orang mukmin di dunia untuk bertaqlid kepadanya. Dalam firman-Nya:
Laqad kâna lakum fî rasûlillâhi usawatun hasanatul liman kâna yarjullâha walyaumal âkhira wadzakarallâha katsîrâ.
“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharapkan (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyabut nama Allah”. (QS. Al-Ahzab: 21)
Innaka laminal mursalîn. 'Alâ shirâtin mustaqîm.
“Sesungguhnya kamu salah seorang dari Rasul-rasul. Yang berada di atas jalan yang lurus”. (QS. Yasin: 3-4)
Innaka 'alal haqqil mubîn.
“Sesungguhnya kamu berada di atas kebenaran yang nyata”. (QS. An-Naml: 79)

Berdasarkan pernyataan al-Qur'an terhadap pribadi beliau telah jelas, bahwa umat Muslim tidak hanya diajak untuk mengikuti tingkah lakunya saja, tetapi lebih jauh lagi harus mendorong untuk benar-benar bertaqlid kepadanya dengan penuh keyakinan. Atas dasar itu juga, semua perkataan, perbuatan, dan ketetapannya atau yang disebut Hadits atau Sunnah yang menjadi bagian penting sebagai dasar hukum islam yang menduduki urutan kedua setelah al-Qur'an.

Selain itu, meskipun al-Qur'an dan Hadits menjadi sumber hukum islam yang sudah jelas dalam kerangka syari'ah, tetapi keduanya tidak menyatakan bahwa al-Qur'an dan Hadits mengandung seluruh hukum yang senantiasa berkembang seirama dengan perubahan umat Muslim dan zaman. Karena aturan-aturan syari'at terbatas, sedangkan kebutuhan umat Muslim yang terus berubah, meluas, tidak ada habisnya, dan tidak terbatas .

Melihat kebutuhan umat seperti itu, tentu memerlukan aturan-aturan baru yang sesuai dengan kelangsungan hidupnya agar kesejahteraan tetap terjalin. Oleh karena itulah, setiap sesuatu yang dilakukan Fuqaha (para ahli hukum islam) dalam kerangka syari'ah dapat dianggap sebagai bagian dari hukum islam . Al-Qur'an dengan jelas menyatakan kebolehan bagi umat Muslim mengikuti para mujtahid atau bertaqlid kepada mereka:
Fas alû ahladzdzikri in kuntum lâ ta'lamûn
“Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui”. (QS. Al-Anbiya': 7)

2. Taqlid Muthlaq

Taqlid Muthlaq merupakan bagian dari cara ittiba' (mengikuti), yang memberikan kebebasan kepada muqallid untuk mengikuti pendapat mujtahid manapun dari madzhab-madzhab yang diakui. Dengan kata lain, taqlid muthlaq ini mengikuti pendapat orang lain secara bebas, tidak terikat pada salah satu madzhab, atau mujtahid. Ia boleh mengikuti pendapat mana saja yang dianggap memuaskan pikirannya.

Muqallid dalam taqlid muthlaq ini tetap merupakan pengikut madzhab tertentu yang diakui, tetapi ia juga berhak menerima fatwa dari Faqih madzhab-madzhab lain yang terkenal. Bahkan, ia dapat pula menjalankan fatwa madzhab lain tadi dalam kehidupan sehari-hari dan ini tidak sama sekali menghilangkan arti keterikatannya pada madzhabnya. Cara seperti itulah yang dilakukan orang pada abad pertama dan kedua. Oleh karena itu, seorang Muslim yang mempunyai keilmuan yang mantap sangat dianjurkan untuk langsung bertaqlid kepada Rasulullah, atau setidak-tidaknya sebagai Muqallid Muthlaq. Dan sebagai penganut taqlid ini, ia dapat mengikuti fatwa siapa saja yang dipandang lebih dekat kepada sunnah Rasulullah dan sistemnya.

Tetapi , ada yang mengatakan bahwa taqlid muthlaq adalah taqlid terendah dari tingkatan taqlid seperti yang dilakukan oleh kebanyakan orang awam, di mana dalam keseluruhan hukum Islam, mereka mengikuti pendapat imam mujtahid dalam madzhabnya, baik dengan mengetahui dalilnya atau bahkan tanpa mengetahui dalilnya karena kemampuannya yang sangat-sangat terbatas sekali.

3. Taqlid Mahdhi

Adalah mengikuti madzhab tertentu dan menetap dengan setia, tidak berpindah-pindah selama hidupnya. Tetapi dalam taqlid ini, dijelaskan pula bahwa terdapat perbedaan dan perdebatan di kalangan Fuqaha mengenai apakah syari'ah islam mengharuskan seorang Muslim bertaqlid kepada satu madzhab tertentu sepanjang hidupnya? Ibnu Hummam al-Hanafi berkeyakinan bahwa seorang muqallid tidaklah harus terus-menerus mengikuti satu madzhab saja, karena keharusan seperti ini memang tidak diwajibkan . Dan seorang pengikut madzhab Hanafi yang menulis kitab Musallam ats-Tsubut mengatakan bahwa seseorang yang mengambil dasar fiqih dari suatu madzhab, tidak ada salahnya untuk tetap mengamalkan dasar-dasar madzhabnya jika dia masih senang dengan madzhabnya itu. Tidak ada salahnya pula jika mengambil pendapat madzhab yang lain. Tradisi ini berkembang pada abad permulaan islam.

Dengan demikian, taqlid mahdhi merupakan cara seseorang mengikuti fatwa seorang mujtahid dalam suatu masa tertentu, dan mengambil fatwa dari mujtahid yang berbeda untuk waktu yang lain. Ini adalah cara mengatasi persoalan di antara mereka . Taqlid mahdhi ini juga telah menggantikan kedudukan taqlid muthlaq, meskipun tidak lagi diamalkan oleh mayoritas kaum Muslim .

4. Taqlid Jamid

Taqlid Jamid adalah cara mengikuti pendapat suatu madzhab secara fanatis, atau dengan kata lain merupakan bentuk ekstrim daripada taqlid mahdhi yang tampaknya memang menjadi puncak dari semua taqlid. Para pengikut taqlid ini hanya menganggap benar pada Imam atau yang diikutinya, sementara pendapat lain dipandang salah. Taqlid ini hadir pada masa transisi atau fanatisme madzhab.

Secara esensi, taqlid jamid ini dikatakan tidak benar karena ia menjurus ke arah yang bertentangan dengan semangat taqlid itu sendiri. Bahkan, ia juga bertentangan dengan ijma' sahabat, tabi'in, tabi'it tabi'in, dan semua mujtahid dari golongan salaf. Pendeknya, taqlid jamid ialah jenis taqlid paling menyimpang dari sistem taqlid sendiri. Ia juga bertentangan dengan syari'ah. Ia tidak berbeda dengan sistem kehidupan yang dikecam al-Qur'an, yakni serupa dengan taqlid umat-umat Yahudi dan Nashrani.

C. Pengertian Ijtihad

Secara harfiah, Ijtihad adalah usaha maksimal untuk mewujudkan sesuatu yang dituju. Sedangkan menurut ulama Ushul ialah usaha seseorang dalam merumuskan hukum yang bersifat amaliyah (praktis) dari dalil-dalil terperinci. Tetapi lagi-lagi terdapat beberapa pendefinisian yang diutarakan oleh para pakar , yaitu:
 Definisi yang diberikan oleh al-Amudi dan Ibn al-Hajib; ”Pengerahan kemampuan dalam mendapatkan pengetahuan bertaraf asumtif (zhann) atas hukum-hukum syara'”.
 Al-Ghazali mengemukakan: ”Pengerahan kemampuan dari seorang mujtahid dalam mencapai keyakinan atas hukum-hukum syara'”.
 Definisi yang dikemukakan al-Baidhawi: ”Pengerahan kemampuan dalam menemukan hukum-hukum syara' yang mencakup dengan kebenaran rasio ('aqliyyah) dan doktrinal (naqliyyah), kebenaran pasti (qath'i) dan kebenaran asumtif (zhanni)”.
 Al-Zarkasyi mendefinisikan ijtihad: ”pengerahan segenap kemampuan dalam menemukan hukum-hukum syara' yang bersifat amaliyah dengan menggalinya dari sumber-sumber nya (istinbath)

D. Syarat-syarat Mujtahid

Dalam menentukan kriteria-kriteria seorang mujtahid yang telah disepakati oleh ulama, maka secara sistematis dapat disimpulkan bahwa seseorang dapat mencapai pada level mujtahid dengan penguasaannya terhadap delapan bidang pengetahuan , di antaranya:

Pertama, menguasai bahasa arab dari segi vocabulary (lughah), gramatika (nahwu-sharaf), sastra dan gaya bahasa. Karena selain al-Qur'an dan Hadist diturunkan sebagai sumber hukum islam yang tersusun dengan bahasa Arab, juga dapat memudahkan berkomunikasi dengan orang Arab yang beragam kebiasaan pemakaiaannya, sehingga dapat dibedakan dan diketahui kata per kata, susunan kata, hakikat dan majas, yang umum dan khusus, muhkam dan mutasyabih, serta muthlaq dan muqayyad.

Kedua, memiliki pemahaman atas ayat-ayat hukum al-Qur'an secara etimologis, yaitu mengetahui makna-makna kata per kata dan susunannya, serta secara tekstual dan kontekstual. Kemudian secara epistemologi ialah seorang mujtahid diharuskan untuk memiliki pengetahuan ayat-ayat yang 'amm dan khash, mengenai nasakh dan mansukh, mengenai beragam kausa ('illat), variabel-variabel penetap hukum dan lain-lain.

Dalam hal ini, sebagian ulama berpendapat bahwa seorang mujtahid tidak diharuskan untuk hafal al-Qur'an secara keseluruhan. Cukup hanya kemampuan dalam merujuk ayat-ayat yang dibutuhkan. Tetapi menurut Imam Syafi'i, seorang mujtahid disyaratkan untuk hafal al-Qur'an diluar kepala secara keseluruhan dan menguasai isi kandungannya.

Ketiga, mengetahui Hadits-hadits mengenai hukum seperti yang mengandung hukum taklifi, nasakh dan mansukhnya, 'amm dan khashnya, muthlaq dan muqayyadnya, mengetahui betul seluk-beluk dan isi dari Hadits atau Sunnah juga harus mengetahui riwayat dan sanadnya. Di sini tidak ada keharusan untuk menghafalkan Hadits sama halnya seperti pada al-Qur'an. Dalam hal ini, yang harus dipenuhi seorang mujtahid adalah kemampuan merujuk pada saat dibutuhkan. Menurut al-Mawardi, bahwa seorang mujtahid haruslah mengetahui setidaknya 500 buah Hadits tentang hukum. Sedangkan Ibn 'Arabi mengatakan 3000 Hadits dan banyak lagi ulama lain yang mengatakan bilangannya hingga 500.000 Hadits.

Keempat, mengerti ijma’ dan ikhtilaf. Mujtahid haruslah mengetahui ijma’ para ulama dan dasar-dasarnya. Dapat memastikan bahwa hukum yang dikeluarkan tidak melanggar garis mujtahid pendahulnya. Dan mujtahid juga harus mengetahui hal-hal ikhtilaf (perbedaan pendapat) beserta seluk-beluknya. Sehingga dalam mencetuskan suatu hukum ia tidak memunculkan pendapat baru yang menyalahi konsesus ulama atas ikhtilaf hukum dalam versi-versi baru.

Kelima, mengetahui tata cara qiyas, syarat-syaratnya, dan metode-metode yang dipakai ulama salaf yang shahih dalam mengetahui 'illat-'illat hukum. Karena dengan demikian mujtahid dapat mengembangkan penerapan hukum dan mengantarnya pada hukum-hukum yang lebih rinci, sebab qiyas merupakan wujud nyata dari aktivitas mujtahid.

Keenam, memiliki pengetahuan tentang penalaran yang benar terhadap berbagai bentuk argumentasi, pendefinisian, dan metode penyimpulan atau yang terdapat dalam ilmu logika (manthiq). Mengenai ilmu logika ini, terdapat perbedaan pendapat seperti Ibn Taimiyyah yang membenci adanya ilmu logika. Karena mungkin pada saat itu, melukukan ijtihad tanpa adanya ilmu logika masih belum berkembang dalam dunia islam. Tetapi melihat kebudayaan dan peradaban manusia yang semakin maju , maka ilmu logika berguna sebagai ukuran dalam penalaran dan mempertahankan kebenaran. Sebagaimana imam Syafi'i mensyaratkan pemahaman dan penalaran yang benar, agar dapat mencapai inti kebenaran.

E. Macam-macam Tingkatan Mujtahid

Menurut ulama Ushl Fiqh tingkatan mujtahid terbagi pada tujuh tingkatan, yang diperinci dengan lima tingkatan pertama tergolong mujtahid dan dua tingkatan berikutnya masuk dalam kategori muqallid yang belum mencapai derajat mujtahid. Tingkatannya sebagai berikut:

1. Mujtahid Mutsaqil

Adalah tingkatan mujtahid yang independen atau mandiri, mempunyai kemampuan dalam mengkaji ketetapan hukum langsung dari al-Qur'an dan Sunnah, melakukan qiyas, mengeluarkan fatwa atas pertimbangan, dan menerapkan dalil istihsan yang mereka ciptakan sendiri. Mereka mengambil metode yang mereka ambil sebagai pedoman dan tidak mengekor pada mujtahid lain, artinya mereka merumuskan sendiri metodologi ijtihadnya dan menerapkannya pada masalah-masalah furu' (cabang) yang kemudian disebarluaskan kepada masyarakat.

Ada beberapa yang termasuk dalam kategori Mujtahid Mutsaqil, yaitu; seluruh Fuqaha Sahabat, Fuqaha Thabi'in seperti Sa'id bin Musayyab dan Ibrahim an-Nukha'i, dan Fuqaha Mujtahid seperti Ja'far ash-Shadiq, Muhammad al-Baqir, Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi'i, al-Laits bin Sa'ad, Sufyan ats-Tsauri, dan lain-lain.


2. Mujtahid Muntasib

Tingakatan yang kedua ini, merupakan tingkatan mujtahid yang memilih atau mengambil pendapat-pendapat imamnya dalam masalah ushul, tetapi berbeda pendapat dalam masalah furu'. Dengan kata lain, tingkatan mujtahid Muntasib ini hanya terikat pada sistem ijtihad imamnya yang mempunyai otoritas untuk mengkaji masalah furu' yang pernah dikaji oleh imamnya. Dan hasil dari ijtihadnya bisa saja sejalan atau bertentangan dengan hasil ijtihad imamnya. Selain itu, juga mempunyai otoritas dalam berijtihad mengenai masalah-masalah yang belum pernah dijumpai oleh imamnya.

Menurut Ibnu 'Abidin yang termasuk dalam mujtahid muntasib adalah murid-murid Abu Hanifah, tetapi pendapat Ibnu 'Abidin ini kiranya harus dipertimbangkan lagi karena murid-murid Abu Hanifah seperti Abu Yusuf dan muridnya, Muhammad bin Ja'far, dan Zufar lebih banyak memakai Hadits daripada menggunakan qiyas. Oleh karena itu, mereka cenderung masuk pada tingkatan mujtahid Mutsaqil. Selain itu, dalam madzhab Syafi'i yang tergolong dalam tingkatan ini adalah al-Muzany, sedangkan dalam madzhab Maliki ialah Abdurrahman Ibnu Qasim, Ibnu Wahhab, Ibnu Abdul Hakam, dan lain sebagainya.

3. Mujtahid Madzhab

Ialah tingkatan mujtahid yang mengikuti atau mengambil masalah-masalah mengenai ushul maupun furu' dari imamnya. Mereka memiliki peran dalam ijtihadnya dalam menerapkan 'illat-'illat fiqih yang telah digali oleh para seniornya terhadap masalah-masalah yang belum dijumpai pada saat itu juga. Secara otentik, mujtahid Madzhab ini mengambil kaedah-kaedah yang telah dipakai oleh imam pendahulunya, sehingga mereka hanya menggali hukum-hukum yang belum ada ketetapannya berdasarkan kaedah-kaedah tersebut.

Dari tingkatan inilah maka lahir aliran-aliran fiqih atau disebut dengan al-Fiqh al-Madzhabi, dapat meletakkan asas-asas bagi perkembangan madzhab, mengeluarkan ketentuan-ketentuan hukum baru berdasarkan prinsip-prinsip dari madzhab-madzhab tersebut. Selain itu, mujtahid ini pula yang meletakkan asas-asas tarjih (pengunggulan) dan muqayasah (perbandingan) terhadap pendapat-pendapat ulama dalam menilai keshahihan atau kedha'ifannya.

Beberapa yang termasuk ke dalam tingkatan ini, yaitu dari kalangan Hanafiyyah seperti Hasan bin Ziyad, al-Karkhi dan al-Thahawi. Dari kalangan Malikiyyah seperti al-Abhari dan Ibnu Abi Ziyad. Dari kalangan Syafi'iyyah yaitu Abu Ishaq al-Syairazi.

4. Mujtahid Murajjih

Tingkatan mujtahid yang keempat ini merupakan tingkatan mujtahid yang hanya melakukan pentarjihan (pengunggulan) terhadap pendapat-pendapat yang diriwayatkan oleh seorang imam dengan menggunakan alat tarjih yang telah dirumuskan oleh mujtahid pada tingkatan sebelumnya atau di atasnya. Mereka mentarjih sebagian pendapat atas pendapat lain karena dipandang lebih kuat dalilnya atau sesuai dengan konteks keadaan masyarakat pada saat itu. Oleh karena itu, mereka tidak melakukan atau tidak masuk ke dalam kategori untuk melakukan istinbath (pengambilan hukum) baru yang independen atau mengikuti metode istinbath imamnya. Yang tergolong dalam tingkatan mujtahid ini adalah Abu al-Hasan al-Quduri dan al-Marghinani dari kalangan Hanafiyyah.

5. Mujtahid Muwazin

Adalah tingkatan mujtahid yang hanya melakukan perbandingan antara beberapa pendapat dan riwayat, seperti mengetahui bahwa pendapat ini lebih shahih atau kuat riwayatnya dari pada pendapat lain. Sebenarnya perbedaan antara tingkatan ini dengan tingkatan sebelumnya tidak begitu jelas, maka menurut Ibnu Abidin bahwa dari tingkatan tersebut sebaiknya dibuang satu tingkatan, yang menjadi penggabungan dari tingkatan ketiga, keempat, dan kelima sehingga melahirkan dua tingkatan, yaitu:

Pertama, tingkatan Mukharrij ialah mujtahid yang melahirkan ketetapan hukum terhadap masalah-masalah yang belum dibahas oleh para perintis madzhab sebelumnya dengan didasarkan kaedah-kaedah dari madzhab tersebut.

Kedua, tingkatan Murajjih, yaitu seorang mujtahid yang melakukan tarjih di antara beberapa riwayat dan pendapat yang berbeda-beda. Dan hasilnya, dapat diketahui riwayat yang paling shahih dan paling kuat, atau paling dekat dengan Sunnah atau qiyas yang shahih, atau pula lebih besar manfaatnya untuk kepentingan masyarakat.


Adapun tingkatan berikutnya yang termasuk dalam kategori Muqallid, hal ini disebabkan karena tidak terdapat aktivitas dalam berijtihad hanya saja menghimpun dan membukukkan pendapat-pendapat ulama. Di antaranya, yaitu:

6. Muhafizh

Tingkatan Muhafizh merupakan tingkatan yang tergolong pada Muqallid yang mengetahui pendapat yang kuat atau yang shahih dan urutan tarjih sesuai dengan hasil garapan dari mujtahid-mujtahid Murajjih. Ibnu Abidin mengatakan bahwa mereka adalah yang mampu menbedakan antara pendapat yang terkuat, yang kuat, yang dha'if, riwayat yang zhahir, madzhab yang zhahir, dan riwayat yang nadir (langka).

Dengan kata lain, mereka dapat memberikan penilaian mengenai pendapat-pendapat mujtahid Murajjih yang dipandang paling kuat dari segi tarjihnya, selain itu mereka berhak mengeluarkan fatwa seperti para ulama di atasnya, akan tetapi hanya dalam ruang lingkup yang terbatas.

7. Muqallid

Pada tingkat terakhir ini, merupakan posisi terbawah dari semua tingkatan yang telah diuraikan di atas. Mereka adalah seorang yang mengetahui kitab-kitab Allah, Hadits-hadits Rasulullah serta fatwa para sahabat, tetapi ia tidak mempunyai kemampuan dalam mentarjih suatu pendapat ataupun riwayat.
Karena tingkat keilmuan yang dimilikinya belum cukup mendukung untuk dapat mentarjih pendapat-pendapat atau riwayat mujtahid Murajjih dan tingkatan tarjih.

F. Ijtihad dan Dinamisasi Hukum Islam

Melihat zaman yang semakin berkembang ini, berbagai perubahan pun berlangsung secara cepat. Dari berbagai aspek kehidupan, pikiran, tingkah laku, hubungan-hubungan, dan lain sebagainya. Kenyataan yang terjadi dalam perkembangan zaman ini, maka perlu adanya ijtihad baru dalam dinamisasi hukum islam. Menurut Dr. Yusuf Qardhawi dalam al-Ummah memberikan beberapa ijtihad baru, yaitu:
a) Ijtihad Insya-i, yakni upaya melahirkan hukum yang sama sekali orisinal atau upaya pemikiran yang belum pernah dihasilkan oleh orang-orang terdahulu atau tidak ada keputusan yang tegas mengenai suatu masalah tertentu. Misalnya dalam persoalan zakat apartemen, pabrik, saham dan lain-lain.
b) Ijtihad Intiqa-i, ialah memilih pendapat yang terkuat dan dipandang lebih sesuai dengan syara', kepentingan masyarakat, dan kondisi zaman. Dan penyeleksian hukum ini dilakukan oleh empat madzhab. Misalnya, mengambil pendapat Imam Hanafi dalam masalah wajib zakat pada setiap hasil bumi, pendapat imam Syafi'i dalam hal memberikan zakat kepada fakir miskin, dan lain-lain.
c) Ijtihad Jama'i adalah ijtihad kolektif, upaya yang dilakukan oleh orang-orang yang ahli dalam bidangnya masing-masing untuk menghasilkan suatu hukum.
d) Ijtihad Fardhi yaitu ijtihad perorangan, upaya pemikiran hukum yang dilakukan oleh pribadi-pribadi. Ijtihad ini diperlukan sebagai pemberi jalan terang bagi ijtihad kolektif tersebut.

Dalam pembaruan ini ternyata banyak dihambat dan mendapatkan tanggapan yang serius oleh kebanyakan orang, yaitu terdapat tiga pandangan orang dalam menilai masalah di atas. Pertama, pandangan yang menolak secara total. Karena mereka cenderung mempertahankan kondisi yang ada dan mereka menyatakan warisan generasi leluhur sudah mencukupi. Oleh karena itu, istilah ”tajdid” (modernisasi) bagi mereka dipandang sebagai perbuatan bid'ah yang menyesatkan. Kedua, pandangan kaum modern yang ektrim. Golongan ini menghendaki agar dihapusnya semua yang berbau jadul (kuno), meski sudah menjadi akar pada budaya masyarakat. Mereka sangat setuju bila untuk menerima budaya barat secara total yang biasa disebut Waternisasi. Ketiga, pandangan moderat. Mereka menolak golongan pertama yang kaku dan golongan kedua yang ekstrim. Mereka menerima pembaruan bahkan menganjurkannya tetapi pembaruan yang mereka inginkan harus tetap dalam koridor Islam. Mereka juga setuju mengambil hal-hal baru yang sesuai dan menolak yang tidak sejalan dengan Islam.










Daftar Pustaka:

 Dr. Yusuf Qardhawi, Muhammad Madani dan Mu'inuddin Qadri, Dasar Pemikiran Hukum Islam. Pustaka Firdaus. Jakarta: 1987.
 Forum Karya Ilmiah, Kilas Balik Teoritis Fiqh Islam. PP. Lirboyo. Kediri: 2006.
 Prof. Muhammad Abu Zahrah. Ushul Fiqh. Pustaka Firdaus. Jakarta: 2008.cet.12.
 http://hotarticle.org

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Thank Kak :)