Cari Blog Ini

Kamis, 28 Mei 2009

'TAHAPAN MENUJU KEBAHAGIAAN'


1. Taubat

Kata taubat berasal dari kata tâba-yatûbu-tauban yang berarti menyesal atas perbuatan dosa atau dapat berarti pula kembali pada jalan yang benar atau kembali pada kesucian jiwa. Rasa penyesalan ini muncul setelah seseorang melakukan dosa, dan ia sadar serta mempunyai tekad untuk tidak mengulanginya lagi. Ada beberapa syarat dalam bertaubat dengan murni atau biasa disebut taubatan nasuha, di antaranya:
1. Memiliki kesadaran bahwa telah melakukan kesalahan atau berbuat dosa.
2. Menyesali perbuatan dosa yang sudah dilakukan.
3. Mampu menjauhkan diri dan meninggalkan perbuatan dosa.
4. Berjanji tidak mengulanginya lagi.

Bertaubat tidak hanya terlintas dari ucapan saja, seperti mengucapkan istighfar, akan tetapi dalam hatinya terdapat empat syarat di atas. Maka taubat seperti itulah yang disebut taubat sebenarnya dan Allah akan menerima serta mengampuni dosa-dosanya. Dalam firman-Nya yang artinya:
“Dan Dialah yang menerima taubat dari hamba-hambanya dan memaafkan kesalahan-kesalahan dan mengetahui apa yang kamu kerjakan”
“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang bertaubat dan mencintai orang-orang yang menyucikan diri”

2. Zuhud

Secara bahasa, kata zuhud berasal dari kata zahuda-yazhudu-zuhdan yang berarti tiada rasa ingin kepada sesuatu atau tidak suka kepada hal-hal yang bersifat duniawi. Sikap zuhud ini menjauhi kemewahan dunia seperti jabatan, harta, dan lain sebagainya. Zâhid adalah orang yang zuhud, yang memandang dunia sebagai sesuatu yang berubah dan akan lenyap. Orang yang zuhud akan bisa mengendalikan dunia, bahkan menjadikan dunia menjadi budaknya dan istiqamah dalam menjalani hidup untuk mencapai tujuan yaitu kehidupan ukhrawi.

Ada beberapa keadaan manusia dalam menghadapi dunia, yaitu pertama, kelompok manusia yang masuk dalam perangkap dunia dan mereka menguncinya dengan kerakusan dan kekikiran. Kedua, golongan manusia yang tidak mendapat kesenangannya di dunia sehingga mereka kecewa dan bersedih hati. Pada akhirnya mereka terjerumus dalam ketamakan dan kerakusan. Ketiga, kelompok orang yang telah mendapatkan kesenangan di dunia tetapi mereka menyimpannya untuk hari nanti jika telah hadir kemiskinan menimpa. Keempat, kelompok manusia yang dengan sengaja meninggalkan dan menyingkirkan hal-hal keduniawiaan dari pikiran serta jiwanya .

3. Wara'

Secara lughah kata wara' berasal dari wari'a-yaura'u-wara'an atau waru'a-yauru'u-warâ'atan yang artinya menjauhkan diri dari segala dosa. Di sini wara' juga berarti sikap menjauhkan diri dari hal-hal yang shubhat. Orang yang memiliki sifat wara' tidak mementingkan urusan dunia melainkan urusan akhirat, apabila ia berkehendak untuk mengambil sesuatu dunia, maka terlebih dahulu ia memikirkan akibat buruknya yang akan terjadi nantinya di hari kiamat.

Menurut Ibrâhim bin Ad-ham wara' artinya meninggalkan semua yang syubhat, sedangkan meninggalkan apa yang tidak menjadi kepentinganmu yaitu meninggalkan hal-hal sampingan (yang melebihi dari urusan). Yahya bin Mu'âdz mengakatakan, wara' mengandung arti berhenti sebatas ilmu yang dimiliki tanpa menakwilnya." Abu Sulaimân ad-Darâny mengemukakan, wara' adalah hal pertama dari zuhud sebagaimana qana'ah (rasa puasdiri)merupakanhalpertamadariridha. Sedangkan menurut Yûnus bin 'Ubaid, Wara' adalah keluar dari semua syubhat dan menghitung diri (muhasabah) dalam setiap saat. Pendapat lain mengatakan bahwa wara' adalah keluar dari hawa nafsu dan meninggalkan hal-hal yang buruk.

Wara' merupakan rasa takut atau kewaspadaan terhadap siksa Allah SWT kepada seorang hamba. Kadar ukuran wara' dapat dikatakan sebanding dengan rasa takut kepada Allah. Apabila seorang hamba rasa takutnya sedikit dengan Allah maka wara'nya pun bernilai sedikit, nilai kemulyaan pada dirinya pun hilang karena ia jatuh di mata Allah dan Allah menjatuhkannya sehingga semua makhluk menganggapnya rendah.
Dalam kitab Mukhtashar Minhâj al-Qâshidîn disebutkan, wara' memiliki empat tingkatan, yaitu:
1. Menarik diri dari setiap hal yang oleh fatwa diindikasikan haram.
2. Wara' yang setiap syubhat yang tidak wajib menjauhinya tetapi dianjurkan.
3. Wara' dari sebagian yang halal karena khawatir terjerumus ke dalam hal yang haram.
4. Wara' dari semua hal yang bukan kartena Allah.
4. Shabr

Berasal dari kata shabara-yashbiru-shabran yang artinya bersabar, tabah hati, dan berani (atas sesuatu). Shabar juga bisa diartikan konsekuen dan konsisten dalam menjalankan perintah, menjauhi larangan-Nya dan dalam menerima segala cobaan. Al-Ghazali mengatakan bahwa shabar itu memiliki dua jenis yang dilihat dari sifatnya, yakni shabar yang bersifat jasmani dan rohani. Pertama, shabar yang bersifat jasmani, yang mencakup dengan ketahanan fisik dalam menjalani semua cobaan atau penderitaan badani. Sedangkan shabar yang kedua, berisikan tentang kesiapan mental dan ketangguhan sikap dalam mengendalikan dan menaklukkan hawa nafsu. Shabar seperti inilah yang sempurna dan terpuji.

Shabar merupakan sikap teguh hati (tidak mengeluh), tabah hati (tidak gampang panik ), dan pasrah hati (tidak kehilangan keseimbangan an tidak mudah pendirian) . Dalam firman Allah yang berbunyi:
“Maka sikap shabar itu adalah sikap yang baik dan hanya Allah sajalah yang dimintai pertolongan” .
“Dan sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang shabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang mereka perbuat”
“Sesungguhnya hanya orang-orang sabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas”

5. Tawadhu'

Asal kata tawadhu' adalah tawadhdha'a-yatawadhdha'u-tawadhdua'an yang berarti tunduk kepada-Nya. Sikap tawadhu' ini menggambarkan seorang hamba yang selalu merendahkan diri dihadapan Allah dan manusia. Lawan dari tawadhu’ adalah takabbur (sombong), jadi tawadhu’ menyingkapi bahwa yang berhak sombong adalah Allah SWT. Tawadhu’ adalah ketundukan seseorang kepada kebenaran yang telah datang pada dirinya dan tidak menganggap dirinya di atas semua orang.

Dalam hal ini terdapat ayat al-Qur’an yang diperintahkan untuk tawadhu’, yaitu:
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu yaitu orang-orang yang beriman.”
Rasulullah SAW, bersabda:
“Sesungguhnya Allah telah mewahyukan kepadaku agar kalian merendahkan diri sehingga seseorang tidak menyombongkan diri atas yang lain dan tidak berbuat zhalim atas yang lain.”

6. Faqr

Faqr ialah situasi seseorang yang dalam kekurangan. Tetapi di sini faqr menunjukkan arti bahwa seorang hamba yang selalu membutuhkan pertolongan-Nya dan selalu mengharapkan limpahan rahmat dan kebesaran-Nya. Secara etimologi kata Faqr berarti kesusahan, kesedihan, kemiskinan9, yaitu orang yang tidak memiliki apa-apa pada dirinya. Kalau sesuatu ditarik dari dirinya maka ia fakir dan jika ia menolak sesuatu tersebut maka ia zahid. Menurut pemahaman Sufi kata Faqr itu ditujukan kepada orang yang memiliki ma’rifah yang paling tinggi dan kondisi mental yang tangguh serta berbudi luhur.
Al-Ghazali menyebutkan bahwa faqr adalah merupakan suatu kondisi di mana sesuatu yang dihajatkan tidak dapat dipenuhi. Idealisme Sufi tentang Faqr telah berkembang jauh, faqr sejati bukan saja jauh dari barang-barang, melainkan juga ketiadaan hasrat untuk menguasai barang.
Al-Ghazali membagi bentuk Faqr menjadi lima, yaitu :
a) Seseorang yang diberi harta sedangkan ia enggan karena benci akan kejelekannya dan khawatir akan disibukkan oleh harta tersebut., orang seperti ini di sebut Zahid
b) Seorang yang tidak senang mempunyai harta dan tidak juga membencinya serta berlaku zuhud terhadapnya, orang ini disebut Radhi ( orang yang Rela ).
c) Seseorang yang lebih suka jika memiliki harta akan tetapi ia tidak disibukkan untuk mencari harta tersebut. Jika harta itu suci dan halal maka ia menerimanya dengan gembira dan puas terhadap apa yang dimilikinya, maka ia disebut Qani’ (Orang yang Puas).
d) Seseorang yang meninggalkan harta karena kelemahannya, yang jika ia memiliki cara untuk mendapatkannya walau dengan bersusah payah, maka orang ini disebut Harish (orang yang Tamak).
e) Orang yang Fakir lantaran keadaan yang memaksa seperti orang yang lapar karena tidak punya makanan atau orang yang telanjang karena tidak memiliki pakaian, orang ini disebut Mudhthar (orang yang Terpaksa).

7. Taqwa

Taqwa adalah takut atas siksa Allah, sehingga berhati-hati dalam bersikap dan taat menjalankan perintah serta larangan-Nya. Taqwa mencerminkan kepatuhan seorang kepada Allah. Selain taqwa memiliki kedudukan yang paling istimwa dan menjadi salah satu sifat orang-orang. Dalam al-Qur'an dinyatakan bahwa tolok ukur kemuliaan dan nilai manusia terletak pada ketaqwaannya. Sebagaimana firman Allah:
”Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah ialah orang-orang yang bertaqwa..”
”Bagi orang-orang yang berbuat kebaikan di antar mereka dan yang bertaqwa adlah pahala yang besar”




8. Ridha

Kata ridha sudah cukup familiar didengar oleh telinga kita, karena kata ridha sudah diserap dari Bahasa Arab ke dalam Bahasa Indonesia yang menurut Kamus Bahasa Arab berasal dari kata radhiya-yardha yang menunjukkan arti rela. Dalam ilmu tasawuf, ridha merupakan salah satu maqam (tingkatan) batiniyah yang harus dilalui oleh orang Sufi dalam usahanya mendekatkan diri kepada Allah. Menurut para mutasawif, sikap ridha adalah tidak menentang qada dan qadar Allah, merasa senang dengan malapetaka yang menimpa dirinya karena dirasakan sebagai nikmat, tidak meminta surga atau dijauhkan dari neraka, karena cintanya kepada Allah.

Menurut Imam al-Ghazali, ridha merupakan buah dari kecintaan (mahabbah). Kalau kerinduannya terus menebal, maka tidak perlu lagi ada proses pemadatan mahabbah, karena mahabbah sudah mendarah daging. Dengan itu akan lahirlah apa yang disebut mahabbah, yaitu ridha. Ridha dengan Qada Allah. Menurut Imam Al Ghazali, ridha bukan hanya sebagai buah mahabbah, tetapi juga termasuk maqam tertinggi di kalangan muqarrabin (orang-orang yang dekat dengan Allah). Jadi dapat kita bayangkan kalau mereka sudah muqarabbin, ditambah memiliki keridhaan yang merupakan maqam tertinggi, maka wajarlah bila kadang-kadang ada sikap yang dimata orang lain yang tidak muqarabbin –sangat tidak rasional.

Hakikat keridhaan menurut al-Ghazali sangat pelik buat kebanyakan orang. Karena ketika kita memperbincangkan masalah ridha, disitu banyak keserupaandan banyak ketidak jelasan. Hakikat ridha tidak akan terungkapkan kecuali bagi orang-orang yang memang diajari oleh Allah, artinya dipahamkan ilmuagamanya. Jadi membicarakan ridha itu terkait dengan makrifatullah yangboleh jadi berdasarkan pendekatan rasional maupun pendekatan hati.

9. Mahabbah

Kata mahabbah berasal dari kata ahabba-yuhibbu-mahabatan yang berarti mencintai secara mendalam, atau kecintaan atau cinta yang mendalam . Menurut Jamil Shaliba dalam al-Mu'jam al-Falsafi, kata mahabbah adalah lawan dari al-baghd, yaitu cinta lawan dari benci. Al- mahabbah juga dapat diartikan al-wadud, yakni yang sangat kasih atau penyayang. Selain itu al-mahabbah dapat pula berarti kecenderngan kepada sesuatu yang sedang berjalan, dengan tujuan untuk memperoleh kebutuhan yang bersifat material maupun spiritual, seperti seseorang yang sedang kasmaran pada sesuatu yang dicintainya, cinta orang tuapada anaknya, seorang pada sahabatnya dan lain-lain.

Mahabbah pada tingkat selanjtunya dapat pula diartikan sebagai suatu usaha yang sungguh-sungguh dari seseorang untuk mencapai tingkat ruhaniah tertinggi dengan tercapainya gambaran yang mutlak, yaitu cinta kepada Tuhan. Kata mahabbah juga digunakan untuk menunjukkan pada suatu paham atau aliran dalam tasawuf. Dalam hal ini, mahabbah terkait sebagai objek yang lebih ditujukan pada Tuhan. Dari pengertian yang sudah dikemukakan di atas, tampaknya terdapat pengertian yang cocok dalam tasawuf, yaitu mahabbah secara ruhaniah yang artinya kecintaan yang mendalam pada Tuhan.

Menurut al-Qusyairi pengertian mahabbah dari segi tasawuf merupakan hal (keadaan) jiwa yang mulia yang bentuknya adalah disaksikannya (kemutlakkan) Allah SWT, oleh hamba, selanjutnya yang dicintainya itu yaitu juga menyatakan cinta kepada yang dikasihi-Nya dan seorang hamba yang mencintai Allah SWT . Sedangkan Harun Nasution mengatakan bahwa mahabbah adalah cinta yang dimaksud ialah cinta kepada Tuhan. Harun Nasution juga memberikan pengertian kepada mahabbah antara lain :
1. Memeluk kepatuhan pada Tuhan dan membenci sikap melawan pada-Nya.
2. Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi.
3. Mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali dari yang dikasihi, yaitu Tuhan.

Selain itu, al-Sarraj mengemukakan pengertian mahabbah dari segi tingkatannya terdapat tiga macam, yaitu mahabbah orang biasa, mahabbah orang shidiq dan mahabbah orang yang 'arif. Pertama, mahabbah orang biasa mengambil bentuk selalu mengingat Allah dengan dzikir, suka menyebut nama-nama Allah, dan memperoleh kesenangan dalam berdialog dengan Tuhan. Yang pada intinya senantiasa memuji Tuhan. Kedua, mahabbah orang shidiq adalah cinta orang yang kenal pada Tuhan, pada kebesaran-Nya, pada kekuasaan-Nya, pada ilmu-Nya dan lain-lain. Cinta yang dapat menghilangkan tabir yang memisahkan diri seorang dari Tuhan dan dengan demikian dapat melihat rahasia-rahasia yang ada pada Tuhan. Cinta tingkat kedua ini membuat orangnya sanggup menghilangkan kehendak dan sifat-sifatnya sendiri, sedang hatinya penuh denagn perasaan cinta pada Tuhan dan selalu rindu pada-Nya. Ketiga, mahabbah orang yang 'arif yaitu cinta orang yang sangat tahu pada Tuhan. Yang dilihat dan dirasa bukan lagi cinta, tetapi diri yang dicintai. Akhirnya sifat-sifat yang dicintai masuk kedalam diri yang mencintai.

10. Ma'rifat

Dari segi bahasa ma'rifah berasal dari kata 'arafa-yu'rifu-'irfatan yang artinya mengetahui atau mengenal sesuatu . Dapat pula berarti pengetahuan tentang rahasia hakikat agama, yaitu ilmu yang lebih tinggi daripada ilmu yang biasa didapati oleh orang-orang pada umumnya . Ma'rifat dalah pengetahuan yang obyeknya bukan pada hal-hal yang bersifat dzahir, tetapi lebih mendalam terhadap batinnya dengan mengetahui rahasianya. Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa akal manusia sanggup mengetahui hakikat ketuhanan, hakikat itu satu, dan segala yang maujud berasal dari yang satu.
Al-Kalabazi mengatakan bahwa ma'rifah ini digunakan untuk menunjukkan pada salah satu tingkatan dalam tasawuf dan diartikan sebagai pengetahuan mengenai Tuhan melalui hati sanubari. Sedangkan menurut Harun Nasution ma'rifah itu menggambarkan hubungan rapat dalam bentuk gnosis, pengetahuan dengan hati sanubari . Berarti ma'rifat mengetahui Tuhan dari dekat, sehingga hati-sanubari dapat melihat Tuhan. Dari sinilah, para sufi mengatakan:
1 Apabila mata yang terdapat dalam hati sanubari manusia terbuka, mata kepalanya akan tertutup, dan ketika itu yang dilihatnya adalah Allah.
2 Ma'rifat adalah cermin, jika seorang 'arif melihat ke cermin itu, yang akan dilihatnya hanyalah Allah.
3 Yang dilihat seorang 'arif baik sewaktu tidur maupun sewaktu bangun hanya Allah.
4 Ma'rifat membuat semua yang melihatnya akan mati karena kecantikan dan keindahannya serta semua cahaya akan menjadi gelap disamping cahaya keindahan yang gilang-gemilang.

Dari beberapa definisi di atas, dapat diketahui bahwa ma'rifah adalah mengatahui rahasia-rahasia Tuhan dengan menggunakan hati sanubari. Dengan demikian, tujuan yang akan dicapai oleh ma'rifah adalah mengetahui rahasia-rahasia yang terdapat dalam diri Tuhan. Melihat ma'rifah ini juga terdapat beberapa pandangan yang terkadang dianggap sebagai maqam dan sebagai hal. Dalam pandangan al-Junaidi (w.381 H), ma'rifah dianggap sebagai hal, sedangkan dalam Risalah al-Qusyairi, ma'rifah dianggap sebagai maqam. Selain itu, menurut al-Ghazali dalam Ihya' Ulum al-Din ma'rifah datang sebelum mahabbah, sedangkan al-Kalabazi mengatakan setelah mahabbah. Dan al-Kalabazi ini menjelaskan ma'rifah lebih menacu pada pengetahuan dan mahabbah menggambarkan kecintaan.

11. Tawakkal
Tawakkal secara etimologi berasal dari kata tawakkala-yatawakkalu-tawakkulan yang berarti pasrah atau Tawakkal adalah kesungguhan hati kepasrahan dalam bersandar kepada Allah Ta’ala untuk mendapatkan kemaslahatan serta mencegah bahaya, baik menyangkut urusan dunia maupun akhirat. Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan barangsiapa bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia akan jadikan baginya jalan keluar dan memberi rizqi dari arah yang tiada ia sangka-sangka, dan barangsiapa bertawakkal kepada Allah, maka Dia itu cukup baginya.” .
Banyak di antara para ulama yang telah menjelaskan makna Tawakkal, diantaranya adalah Al-Allamah Al-Munawi. Beliau mengatakan, “Tawakkal adalah menampakkan kelemahan serta penyandaran (diri) kepada yang diTawakkali.” . Ibnu ‘Abbas mengatakan bahwa Tawakkal bermakna percaya sepenuhnya kepada Allah Ta’ala. Imam Ahmad mengatakan, “Tawakkal berarti memutuskan pencarian disertai keputus-asaan terhadap makhluk.” Al Hasan Al Bashri pernah ditanya tentang Tawakkal, maka beliau menjawab, “Ridho kepada Allah Ta’ala”, Ibnu Rojab Al Hanbali mengatakan, “Tawakkal adalah bersandarnya hati dengan sebenarnya kepada Allah Ta’ala dalam memperoleh kemashlahatan dan menolak bahaya, baik urusan dunia maupun akhirat secara keseluruhan.” Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan, “Tawakkal yaitu memalingkan pandangan dari berbagai sebab setelah sebab disiapkan.”




Daftar Pustaka:
 Kafie, KH. Jamaluddin, Tasawuf Komtemporer. Republika. Jakarta: 2003.
 Siregar, Prof. H. A. Rivay, Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisma. RajawaliPers. Jakarta: 2002.
 Amini, Ibarahim, Risalah Tasawuf. Al-Huda. Jakarta: 2002

Tidak ada komentar: